Sudah 25 tahun gerakan reformasi berjalan, namun agenda perubahan masih menjadi pekerjaan rumah. Dibutuhkan komitmen para elite untuk terus menuntaskan amanah reformasi.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
Refleksi seperempat abad reformasi diperlukan untuk menyongsong abad kekokohan demokrasi. Bertolak dari pengunduran diri Presiden Soeharto, pergantian rezim diwarnai dengan masifnya penerbitan regulasi untuk memenuhi tuntutan reformasi. Dinamika pun tergambar lewat dialektika antara penguasa dan khalayak banyak.
”Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.” Demikian yang disampaikan Presiden Soeharto di Istana Negara dalam pidato pengunduran dirinya sebagai presiden. Seusai pidato tersebut, Wakil Presiden BJ Habibie mengambil sumpah dan dilantik oleh Hakim Agung untuk menjadi presiden.
Tentu saja, momen bersejarah tersebut dapat terwujud berkat serangkaian perjuangan hingga pertumpahan darah untuk menumbangkan rezim otoritarian yang dipimpin Jenderal Soeharto. Sejak ia ditunjuk oleh MPR sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967, maka tepat 32 tahun 2 bulan rezim Orde Baru telah berkuasa.
Setelah kejatuhan Soeharto, gerakan untuk mengawal reformasi tidak berhenti. Aksi-aksi terus muncul memperlihatkan konsistensi mahasiswa dalam menyuarakan agenda reformasi.
Agenda reformasi itu sendiri merupakan kristalisasi dari berbagai tuntutan para pendukung gerakan reformasi, yakni untuk penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan Soeharto dan kroninya, amendemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI, dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Demi menjawab tuntutan tersebut, tampak bahwa pembuatan payung hukum seperti undang-undang menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menjawab tuntutan reformasi. Penulis menemukan bahwa produk hukum berupa UU yang selaras dengan tuntutan reformasi meningkat sejak akhir 1998 hingga 2004.
Meski demikian, dinamika mewarnai implementasi UU itu sendiri. Cita-cita menciptakan masyarakat yang berkeadilan butuh langkah operasional lewat kesadaran dan sikap konstitusi yang menjunjung demokrasi. Selayang pandang masa lalu ini harapannya menjadi refleksi untuk menjejak seperempat abad kedua reformasi.
Tak berselang lama dari momentum tumbangnya Orde Baru, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum disetujui DPR dan disahkan menjadi UU pada 22 Oktober 1998.
UU ini menjadi jawaban atas tuntutan masyarakat pada komitmen negara menjamin kebebasan warga berpendapat. Walau masih menyisakan ”lubang-lubang”, UU ini dianggap lebih baik dibandingkan peraturan sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 2 Tahun 1998.
Aturan ini mengedepankan penghormatan pada hak asasi manusia dan bukan menekankan pendekatan keamanan. Lebih rinci, aturan ini tak membatasi jumlah pengunjuk rasa dan tak kenal lagi persetujuan tertulis aparat untuk sebuah penyampaian pendapat di depan umum dengan peserta lebih dari 100 orang (Kompas, 23/10/1998).
Di tahun 1999, pemerintah dan DPR semakin produktif menerbitkan UU yang selaras dengan agenda reformasi. Dari 56 aturan yang diterbitkan, lebih dari separuh didominasi oleh aturan yang memayungi pembentukan daerah otonomi baru (DOB), baik berupa provinsi, kabupaten, maupun kota.
Tingginya daerah yang memekarkan diri ini tak bisa dilepaskan dari terbitnya tiga aturan yang mendukung animo daerah untuk memiliki otonominya sendiri, yakni UU No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD; UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selain penerbitan UU untuk DOB, tercatat 10 aturan undang-undang yang menunjukkan keselarasan dengan tuntutan reformasi. Di antaranya menyoal aspek hak asasi manusia (HAM) dan tindakan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Meski demikian, perdebatan kala itu menunjukkan bahwa penerbitan undang-undang tidaklah cukup untuk menjawab tantangan Indonesia di era reformasi.
Dalam soal HAM, misalnya, Indonesia baru menjalankan 33 persen HAM, yang berarti ada 67 persen pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah selama rezim Orde Baru. Padahal, capaian HAM negara-negara ASEAN mencapai 60 persen.
Penerbitan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dianggap belum cukup mengingat pengadilan yang mengadili pelanggaran HAM baru dibentuk paling lama empat tahun setelah UU tersebut disahkan. Perlu dilakukan penegakan hukum atas terjadinya pelanggaran HAM yang justru banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri (Kompas, 1/12/1999).
Selain gejolak pemekaran daerah dan upaya meningkatkan jaminan pada hak-hak sipil, era kepemimpinan Presiden BJ Habibie yang singkat ditandai pula dengan upaya pemisahan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No 2 Tahun 1999 untuk menetapkan langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan kepolisian dari ABRI.
Upaya tersebut disambut oleh MPR dengan mengeluarkan Tap MPR No VI/MPR/2000 tentang pemisahan Polri dan TNI sesuai dengan peran dan fungsi dari tiap-tiap kelembagaan yang terpisah.
Dua tahun berselang, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terbentuk lewat UU No 2 Tahun 2002. Adapun Tentara Nasional Indonesia (TNI) terbentuk lewat payung hukum UU No 34 Tahun 2004.
Memasuki era milenium, sentimen publik pada pemerintahan baru cenderung masih negatif. Apalagi, pemerintah belum mampu menunjukkan upaya nyata untuk mengusut peristiwa di seputaran reformasi 1998, seperti insiden Trisakti dan kerusuhan Mei.
Pada Mei 2000, Litbang Kompas merekam 47 persen responden menganggap pemerintah tidak serius mengusut tuntas kerusuhan Mei 1998. Sentimen yang lebih serius tampak dari 64,5 persen responden yang tidak puas dengan usaha pemerintah menyelesaikan kasus penembakan mahasiswa Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998.
Pesimisme yang sama masih terekam satu tahun kemudian. Jajak pendapat Litbang Kompas pada April 2001 merekam 55,4 persen responden tidak yakin pemerintah mampu menyelesaikan secara tuntas kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Tiga tahun setelah petaka itu terjadi, terekam 42,7 persen responden berpendapat bahwa pengusutan pelanggaran HAM belum tuntas sama sekali.
Rangkuman data di atas menunjukkan bahwa ikhtiar untuk mewujudkan agenda demokrasi tidaklah mudah. Babak awal reformasi diwarnai tuntutan untuk mengoperasionalkan aturan sehingga mampu segera mengobati luka demokrasi. (LITBANG KOMPAS)