Ketidaksiapan Pemerintah Daerah Menghadapi Arus Migrasi
Pemerintah daerah masih gagap menghadapi kedatangan kaum migran. Belum detail mengatur serta konsep perencanaan tata ruang dan perhitungannya masih terlalu umum.
Perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain menjadi kekuatan pendorong urbanisasi dan membuka peluang untuk pembangunan berkelanjutan. Sayangnya, banyak daerah tujuan migrasi belum siap sehingga memunculkan banyak persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Berdasarkan Indeks Daerah Layak Huni hasil analisis Kompas menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki persoalan terkait pelayanan terhadap masyarakatnya. Semua kategori wilayah perkotaan dari metropolitan hingga perkotaan kecil memiliki sejumlah masalah utama dalam menjamin kehidupan layak bagi masyarakatnya. Salah satu permasalahan peliknya adalah minimnya pelayanan sosial.
Dalam Indeks Daerah Layak Huni itu, parameter pelayanan sosial tersusun dari tiga indikator, yaitu tingkat kriminalitas, rasio tenaga pendidik, dan rasio tenaga kesehatan. Ketiganya menggambarkan keberhasilan sebuah daerah dalam memenuhi standar minimal layanan sosial, yaitu menjamin keamanan warga serta ketersediaan guru dan tenaga kesehatan yang memadai.
Sayangnya, gambaran daerah perkotaan yang ideal untuk mendukung kehidupan warganya secara layak belum sepenuhnya terealisasi di Indonesia. “Belum ada kota ideal untuk dijadikan kawasan tinggal di Indonesia,” kata Denny Zulkaidi Dosen SAPPK (Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan) Institut Teknologi Bandung.
Hal senada juga disampaikan Soerjono Herlambang, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Tarumanegara terkait ketidaksiapan pembangunan daerah. “Pemerintah daerah masih gagap menghadapi kedatangan migran. Belum detail mengatur. Perencanaan tata ruang dan perhitungannya terlalu umum,” ujar Soerjono saat ditemui di Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Untuk menuju ke pembangunan daerah yang ideal, ada sejumlah contoh perkotaan di luar negeri yang dapat memberikan ide pengembangan wilayah. Kota-kota di luar negeri yang memiliki kekuatan dalam pembangunan sekaligus menjadi tujuan migrasi adalah Singapura, Bangkok, Kyoto, dan Seoul.
Jauh sebelum merdeka di tahun 1965, Singapura telah menjadi jalur perdagangan yang strategis. Hal tersebut berimbas pada tingginya arus migrasi masuk ke daerah itu dan memunculkan banyak kawasan kumuh serta perkembangan wilayah yang tak terkendali. Baru sekitar tahun 1927 dibentuk Singapore Improvement Trust yang berfokus mengatasi permasalahan permukiman.
Singapura terus berbenah dengan fokus pada pengembangan permukiman yang layak huni. Sekitar tahun 1960 kebijakan yang dipilih adalah pembangunan hunian vertikal dan fasilitas umum. Ada juga perencanaan wilayah perkotaan berbasis fungsi kawasan, yaitu pusat pemerintahan, kawasan hunian, dan kawasan industri. Sistem transportasi yang digunakan berbasis transit-oriented development sehingga memudahkan mobilitas warga.
Daerah tujuan migrasi lainnya di luar negeri yang dapat dijadikan sumber ide pengembangan wilayah di Indonesia adalah Bangkok. Sebagai kota terbesar di Thailand, daerah perkotaan tersebut berkembang pesat karena kuatnya arus migrasi yang masuk. Mengatasi persoalan itu, pemerintah setempat mengembangkan sistem transportasi publik.
Perencanaan wilayah dilakukan secara berkelanjutan mulai sekitar tahun 1975 melalui kebijakan Town Planning Act B.E. 2518. Satu aspek terpenting yang menjadi fokus pemerintah metropolitan Bangkok adalah perencanaan transportasi. Saat ini, Bangkok menjadi salah satu kota dengan opsi transportasi publik terlengkap dan menyambung hingga perbatasan.
Perkotaan lain yang berhasil berkembang dengan layak adalah Kyoto di Jepang. Daerah perkotaan Kyoto terkenal dengan harmonisasi antara konservasi alam, sejarah, dan sistem perkotaan baru. Pengembangan wilayah ini telah berjalan bahkan sejak era Taisho tahun 1914. Saat itu, wilayah dibagi ke dalam beberapa kawasan, yaitu hunian, perdagangan, industri, dan kawasan hijau.
Masih di kawasan Asia, daerah perkotaan Seoul juga memiliki banyak hal yang dapat dijadikan contoh pengembangan wilayah di Indonesia. Sejak era Joseon tahun 1394, daerah Seoul telah terbagi menjadi beberapa kawasan sesuai peruntukannya, seperti militer dan ekonomi. Era modern pengembangan daerah Seoul dimulai tahun 1934 yang menyatukan kota modern dengan kota sejarah.
Kesiapsiagaan migrasi
Agenda pembangunan daerah perkotaan erat berhubungan dengan dinamika demografi, khususnya migrasi. Arus kedatangan penduduk ke suatu daerah terbukti meningkatkan perekonomian lokal. Sayangnya, kesejahteraan ekonomi dinilai belum mampu mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan.
“Konsep pilar pembangunan berkelanjutan itu ada ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sayangnya, dua faktor terakhir sering tidak disiapkan dengan baik sehingga terlambat dan menimbulkan permasalahan kriminalitas, konflik sosial, kawasan kumuh, hingga kesemrawutan,” kata Budi Situmorang, Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian ATR/BPN.
Badan Dunia PBB untuk Migrasi juga mengatakan bahwa migrasi adalah pendorong kuat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam agenda 2030. Demi mencapai pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, maka perlu disusun kerangka kesiapsiagaan untuk migrasi.
Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) mengeluarkan dokumen Migration and Its Impact on Cities tahun 2017 yang memuat lima poin kesiapsiagaan migrasi. Lima poin tersebut adalah penerimaan, keterlibatan publik, reformasi kebijakan, perencanaan wilayah, dan kepemimpinan.
Poin penerimaan fokus pada bagaimana pembuat kebijakan di daerah mendapatkan informasi yang terpercaya dan transparan. Keterlibatan publik berperan dalam meningkatkan partisipasi pendatang dan program-program yang berorientasi pengembangan sumber daya manusia. Sementara itu, reformasi kebijakan menitikberatkan pada perlindungan dan jaminan hak sebagai warga negara meskipun mereka pendatang di suatu daerah baru.
Poin perencanaan wilayah menekankan integrasi antara arus migrasi dengan rencana pembangunan di daerah tersebut. Implikasinya, pendatang tidak akan menjadi penghambat pembangunan. Terakhir, poin kepemimpinan fokus pada membangun kepercayaan antarwarga dan kerja sama antardaerah sekitarnya.
Lantas, siapa yang harus bertanggungjawab dalam implementasi kerangka kesiapsiagaan untuk merespons gelombang migrasi ke suatu daerah? Muhammad Cholifihani Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial Kementerian PPN/Bappenas dan Budi Situmorang Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian ATR/BPN mengatakan bahwa pihak yang memiliki tanggung jawab terbesar adalah pemerintah daerah.
“Dalam menyikapi migrasi penduduk ini, pemerintah daerah perlu melakukan beberapa persiapan agar tidak menghambat pembangunan,” pungkas Cholifihani pada Jumat lalu (28/4/2023). (LITBANG KOMPAS)