Mengapa Orang Tetap Tertarik Tinggal di Jakarta?
Meski bukan lagi menjadi primadona utama kaum migran, Jakarta tetap menyimpan magnet yang menarik bagi masyarakat untuk datang dan tinggal. Apa sesungguhnya alasan orang tinggal di Jakarta?
Jakarta terus bergulat dengan permasalahan-permasalahan khas kota megapolitan dari waktu ke waktu. Namun, dalam waktu yang beriringan pula, daya pikat Jakarta tak luntur termasuk bagi para pendatang baru. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta memprediksi setelah libur Idul Fitri 2023, Ibu Kota akan kedatangan sekitar 37.000 pendatang baru. Jumlah ini meningkat dari Lebaran tahun lalu, yaitu 27.478 pendatang.
Sebagai pusat kapital di Indonesia, kota ini masih menjadi salah satu rujukan bagi orang untuk mengadu nasib. Di satu sisi, orang yang sudah tinggal di Jakarta, meski merasa sudah sumpek dengan permasalahannya, tak serta-merta pergi dari kota ini dengan mudah.
Di sisi lain, orang dari luar Jakarta masih senantiasa terpikat dengan janji-janji kehidupan yang lebih layak. Meskipun macet, banjir, dan kondisi kota yang makin tak layak huni, daya pikat keuntungan ekonomi tidak menyurutkan orang untuk tetap menguji peruntungannya di Jakarta.
Muncul pula pemaknaan, sulitnya situasi yang harus dihadapi dalam kehidupan di Jakarta menjadi semacam kawah candradimuka atau tempat penempaan yang membentuk orang lebih tangguh. Sebagaimana pula pepatah lama, tidak ada hasil tanpa usaha (no pain no gain).
Oleh karena itu, sudah menjadi persepsi umum jika keinginan orang untuk tinggal di Jakarta berbasis dorongan ekonomi. Meskipun anggapan lain juga muncul, bahwa selain ekonomi, faktor sosial juga berpengaruh. Asumsi ini menempatkan faktor sosial, seperti ikut keluarga atau orang terdekat, tak bisa dikesampingkan melatarbelakangi alasan orang tinggal di Jakarta.
Dua hipotesis ini terkonfirmasi dalam Survei Teropong Jakarta yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada Oktober 2022. Dari survei ini, terekam alasan orang tinggal di Jakarta lebih terkait faktor sosial.
Sebanyak 43,8 persen responden mengaku tinggal di Jakarta karena ikut orangtua atau keluarga. Meskipun faktor sosial ini bisa pula diperdalam, apakah iming-iming ekonomi termasuk di dalamnya, alasan ikut kerabat dekat sebagai representasi sosial masih tampak dominan. Artinya, tidak dapat dibayangkan orang tinggal di Jakarta tanpa ada relasi sosial meskipun dorongan ekonomi sudah muncul.
Faktor ekonomi secara lebih tegas diungkapkan oleh 36,8 persen responden yang menyatakan, banyaknya peluang pekerjaan dan usaha menjadi alasan tinggal di Jakarta. Dalam jawaban ini tampak bahwa relasi sosial tidak menjadi rujukan pertama, tetapi responden lebih mengamini Jakarta yang menjanjikan peluang besar untuk bekerja dan membuka usaha.
Baca juga: Jakarta Bukan Lagi Tujuan Migrasi
Apabila persentase kedua alasan ini digabungkan, angkanya sudah mencapai 80,6 persen. Artinya dua alasan ini sudah cukup mewakili gambaran umum responden tentang alasan tinggal di Jakarta.
Sekitar 20 persen responden yang lain mendasarkan alasannya pada pendidikan yang bermutu (7,7 persen), pusat modernitas (3,9 persen), tempat kelahiran (2,8 persen), aman dan nyaman (2,2 persen), akses yang mudah (1,3 persen), dan sisanya alasan lain (1,5 persen).
Berbicara soal alasan tinggal di kota ini, tentunya secara normatif publik Ibu Kota akan mendasari jawaban pada hal- hal positif. Asumsi bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama orang tinggal di Jakarta tak sepenuhnya keliru. Namun, dari data ini, dapat dilihat bahwa faktor ekonomi bukan faktor tunggal. Alasan ekonomi dapat dilengkapi faktor sosial yang mendominasi alasan mengapa orang tinggal di Jakarta.
Pemasalahan Jakarta
Berbicara soal alasan tinggal di Jakarta tentu hal ini berkaitan dengan cita-cita serta harapan yang ada di benak orang. Maka, tak mengherankan alasannya cenderung positif. Namun, idealisme tentang tinggal di Jakarta nyatanya harus diadaptasikan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Hal yang kontradiktif tampak ketika menelusuri benak responden. Tatkala ditanya top of mind atau hal yang segera muncul dalam benak ketika mendengar kata Jakarta, sisi negatif kota ini yang lebih mendominasi.
Tak kurang dari 23,6 persen responden mengaku ”kemacetan” segera muncul dalam benak ketika mendengar kata Jakarta. Kemacetan sekaligus menjadi yang tertinggi diidentikkan dengan Jakarta di antara kata yang lain. Pada posisi kedua, ”banjir” menjadi kata yang segera muncul dalam benak 11,4 persen responden ketika mendengar kata Jakarta.
Dari dua peringkat teratas ini tampak bahwa cita-cita yang bernada positif harus dihadapkan pada kenyataan yang cenderung negatif. Bukan kemajuan ekonomi atau kehidupan serba berkecukupan yang menjadi top of mind dari orang yang tinggal di Jakarta. Sebaliknya sisi menantangnya yang lebih dominan, yakni hidup dalam bayang-bayang kemacetan dan banjir.
Pada urutan berikutnya, hal yang muncul dalam benak responden cenderung bersifat netral, yakni ”Monas” sebanyak 7,6 persen dan ”Ibu Kota” sebesar 6,6 persen. Barulah pada urutan berikutnya muncul kata yang positif, yakni ”baik dan keren” sebanyak 3,4 persen, ”kota harapan” 2,6 persen, serta ”indah dan bersih” sebanyak 2,6 persen juga.
Apa yang muncul dalam benak responden ini sejalan dengan persoalan mendesak yang bagi mereka menuntut untuk segera diselesaikan. Lima problem teratas tersebut berturut-turut adalah banjir (28,8 persen), transportasi (22,9 persen), problem sosial (16,3 persen), kriminalitas (12 persen), dan polusi udara (5,5 persen). Hal-hal inilah yang menjadi problem sehari-hari yang harus dihadapi oleh masyarakat di Jakarta.
Akan tetapi, cenderung negatifnya persepsi orang Jakarta dan peliknya permasalahan yang harus dihadapi oleh kota yang ditinggalinya ini tak memadamkan api mereka untuk tetap bertahan di kota ini. Masih dari data survei yang sama, ada sebanyak 62,2 persen responden yang berniat akan menetap selamanya di Jakarta. Artinya dengan kenyataan hidup yang keras, lebih dari separuh responden tidak melihat kemungkinan bahwa dirinya akan tinggal di wilayah selain Jakarta.
Di kutub yang lain, kurang lebih 13,1 responden mengaku memiliki rencana untuk pindah dari Jakarta dalam jangka waktu lebih dari lima tahun mendatang. Untuk pindah ke luar dari Jakarta dalam jangka waktu dekat, terdapat 7,9 persen responden mempunyai niatan ini. Sementara itu, ada sekitar 15,3 persen responden yang mengaku belum merencanakan apakah akan menetap selamanya atau akan pindah ke luar dari Jakarta. Namun, yang perlu digarisbawahi, secara umum lebih banyak proporsi responden yang meniatkan diri untuk menetap di Jakarta.
Tertinggi
Tingginya jumlah responden yang masih menetapkan hati untuk tinggal di Jakarta mungkin bisa dipahami dengan fakta bahwa secara ekonomi Jakarta tetap menjadi provinsi terkuat di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, total PDRB Provinsi DKI Jakarta tahun 2022 menyentuh Rp 3.186,4 triliun sekaligus yang tertinggi di Indonesia. Jika dihitung distribusinya terhadap PDRB nasional, Jakarta menyumbang 16,64 persen. Dengan begitu, seakan-akan peliknya masalah hidup Jakarta dibayangkan oleh publik terbayar tuntas dengan perekonomian yang menjanjikan.
Apa yang tergambar dari hasil Survei Teropong Jakarta ini menunjukkan bahwa DKI Jakarta adalah surga sekaligus neraka bagi orang yang tinggal di dalamnya. Ini bukanlah fenomena baru, bahkan sebaliknya bisa dikatakan sudah problem laten. Ini bisa ditelusuri misalnya dari tajuk-tajuk Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya tahun 1972-1972 yang sudah secara dominan menegaskan kata kunci kemacetan, kekumuhan, dan problem sosial saat menulis soal Jakarta.
Dalam salah satu tajuknya tahun 1972 berjudul ”Membendung Urbanisasi”, ia menulis apa yang dikatakan oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta kala itu, Jakarta adalah neraka. Ini terutama bagi mereka yang tinggal di kota ini, tetapi luntang-lantung tanpa kepastian hidup. Namun, siapa yang tak terpesona dengan kelimpahan hidup yang dijanjikan?
Baca juga: Ekonomi, Faktor Utama Migrasi
Jakarta senantiasa akan selalu menjadi paradoks, menjanjikan sekaligus mengancam, membanggakan sekaligus memprihatinkan. Faktanya, paradoks ini sudah menjadi hegemoni. Mungkin hal ini yang perlu dikritisi. Imajinasi orang tentang Jakarta masih bisa diperkaya dengan kemungkinan-kemungkinan kota-kota lain yang merebut pesona dengan menampilkan potensi-potensinya.
Bahkan tawarannya mungkin lebih menarik, secara ekonomi hidup terpenuhi tanpa harus bersusah payah berdampingan dengan kemacetan, banjir, dan sampah. Permasalahan sosial yang menjadi ciri khas kota besar bisa perlahan-lahan dilunturkan. Jika hal ini berhasil diwujudkan oleh kota-kota lain, Jakarta bukan harga mati untuk hidup makmur. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga Kompaspedia: Urbanisasi dan Akselerasi Tumbuhnya Kota-kota