Dari 34 provinsi di Indonesia, Lampung berada pada urutan ke-31 skor integritas KPK yang diperoleh dari hasil penilaian internal aparatur negara, masyarakat, dan para ahli. Birokrasi Lampung perlu segera berbenah.
Oleh
Bestian Nainggolan
·4 menit baca
Munculnya video ”Alasan Kenapa Lampung Gak Maju-maju” yang tengah viral saat ini menarik dicermati. Setidaknya, video berdurasi 3 menit 28 detik yang dibuat Bima, kreator konten, ini menampilkan empat alasan substansial mengapa Lampung selama ini tidak maju. Keempatnya terkait dengan infrastruktur yang terbatas dan terbengkalai, persoalan kecurangan dalam penyaringan peserta didik dalam sektor pendidikan, tata kelola pemerintahan yang lemah seperti korupsi, birokrasi tidak efisien, adanya praktik suap-menyuap, dan terakhir terkait ketergantungan Lampung pada produk pertanian yang rentan.
Namun, belakangan ini pembuat video dilaporkan ke Kepolisian Daerah Lampung karena dugaan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejak pelaporan itu, sikap-sikap kontra bermunculan dan sebagian besar justru membela serta membenarkan substansi dari komentar pembuat video.
Di luar persoalan tuntutan hukum yang tengah dipersoalkan publik, sebagian besar substansi yang dikeluhkan pembuat video tampaknya terkait dengan persoalan kualitas integritas yang menjadi penghambat perkembangan Lampung. Kasus-kasus terkait integritas, seperti korupsi, suap-menyuap, birokrasi yang tidak efisien, nepotisme dalam rekrutmen (pendidikan) terungkap sebagai persoalan yang dapat menjadi penyebab ketertinggalan. Terkait persoalan ini, apakah memang sedemikian problematiknya sisi kualitas integritas yang terjadi di provinsi ini?
Menarik mencermati persoalan-persoalan yang bersinggungan dengan kualitas integritas di Lampung, berdasarkan hasil survei yang diproduksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi selama ini. Belakangan ini, terpublikasikan laporan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK yang khusus merangkum pandangan dan pengalaman dari sisi internal aparat birokrat di 640 instansi pemerintahan, baik kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota, termasuk pemerintah Provinsi Lampung. Selain dari sisi internal aparat pemerintahan, survei ini pun merangkum pandangan masyarakat serta para ahli terkait di seluruh provinsi.
Berdasarkan hasil survei, skor integritas Provinsi Lampung tahun 2022 sebesar 62,23 (dari skor tertinggi 100). Skor tersebut, jauh di bawah rata-rata nasional yang pada tahun 2022 sebesar 71,92. Dari 34 provinsi seluruh Indonesia yang disurvei, Lampung berada pada posisi ke-31 yang sekaligus menempatkan provinsi ini pada kelompok bawah kualitas integritas.
Menjadi ironis lantaran hasil survei kali ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2021, skor integritas Lampung sebesar 68,28. Dengan besaran skor tersebut, Lampung berada pada posisi ke-22 dari seluruh provinsi.
Telaah terhadap seluruh kabupaten dan kota di Lampung pun menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan. Dari 15 kabupaten dan kota di Lampung, sekitar separuh bagian wilayah yang tergolong berada di atas rata-rata skor nasional. Tiga wilayah tergolong tinggi terdapat di Kabupaten Pringsewu (75,73), Kota Metro (75,59), dan Kabupaten Way Kanan (75,53). Sebaliknya, Kabupaten Lampung Timur satu-satunya yang berada di bawah capaian Provinsi Lampung.
Jika ditelisik lebih jauh, dari hasil survei tergambarkan bagaimana problem-problem integritas masih banyak bercokol pada birokrasi dan segenap aparat di Lampung dalam praktik kerjanya. Secara khusus, kondisi demikian terekam dalam pandangan kalangan internal aparat, termasuk pegawai di lingkungan pemerintahan provinsi.
Pada tujuh aspek integritas yang dikaji dari responden berlatar belakang aparatur negara, sisi-sisi bernuansa koruptif dalam transparansi layanan, pengelolaan anggaran, pengelolaan pembelian barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, perdagangan pengaruh, sosialisasi korupsi, hingga integritas dalam pelaksanaan tugas cukup banyak diungkapkan.
Terbilang cukup mencolok, dari sisi indikator pengelolaan pembelian barang dan jasa (PBJ). Sekurangnya terdapat tiga indikator yang mengusik. Pertama, terkait dalam proses pemenangan penyediaan barang dan jasa tertentu. Pada provinsi ini sekitar sepertiga responden aparat pemerintahan di Lampung (34,1 persen) menyatakan terjadi pengaturan. Proporsi responden yang menyatakan demikian terbilang relatif tinggi, berada di atas rata-rata responden nasional (28,5 persen).
Kedua, dalam proses penyediaan barang dan jasa tertentu, sekitar 41,9 persen responden aparat pemerintahan juga menyatakan kecenderungan pemenangnya merupakan peserta yang memiliki hubungan kedekatan dengan pejabat, baik hubungan kekeluargaan, organisasi, pendukung politik, maupun tim sukses. Besaran proporsi yang terangkum di Lampung juga berada di atas rata-rata nasional (37,8 persen).
Ketiga, berkaitan dengan pemenangan paket pengadaan barang dan jasa, sebanyak sepertiga (33,1 persen) responden aparat pemerintahan mengungkapkan adanya pemberian sesuatu kepada pihak terkait, baik itu uang, barang, fasilitas, maupun sejenisnya sebagai imbal. Seperti juga pada indikator di atas, kondisi yang terjadi di Lampung berada di atas rata-rata nasional.
Selain problem-problem dalam pengadaan barang dan jasa, beberapa persoalan integritas juga menjadi perhatian. Persoalan integritas yang dimaksud terkait dengan perilaku aparat pemerintahan dalam keseharian kerja ataupun pengelolaan tugas masing-masing.
Berkaitan dengan tugas layanan, misalnya, sebagian responden aparat pemerintahan di Lampung (28,4 persen) mengaku pernah melihat ataupun mendengar jika pegawai menerima pemberian dalam bentuk uang, barang, ataupun fasilitas sebagai imbal atas layanan yang diberikan.
Pada persoalan lain, dijumpai pula persoalan berkaitan dengan nepotisme dalam promosi ataupun mutasi pegawai. Menurut hampir seperempat bagian responden aparat, mengakui jika mereka pernah melihat atau mendengar faktor nepotisme yang berperan dalam promosi dan mutasi.
Sisi integritas lainnya yang mengkhawatirkan, adanya pengakuan sekitar 40,3 persen responden yang pernah melihat ataupun mendengar adanya pegawai yang membuat kuitansi, biaya transportasi, dan biaya lain perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Begitu pula dalam konflik kepentingan dalam diri aparat. Dalam survei ini, tampak sedemikian besarnya penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Di Lampung, hasil survei menunjukkan jika lebih dari separuh bagian responden aparat (57,9 persen) mengakui adanya penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi mereka.
Semua problem integritas yang terjadi di Lampung ini berada di atas rata-rata skor nasional yang sekaligus menunjukkan sedemikian krusialnya persoalan ini. Tidak ada kata lain, saatnya Lampung perlu berbenah diri, beralih menjadi provinsi andalan di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)