Dalam gugatannya, partai yang berdiri sejak tahun 2016 lalu ini meminta KPU untuk memasukkan Partai Berkarya sebagai peserta Pemilu 2024. Partai Berkarya dinyatakan tidak lolos dalam proses verifikasi administrasi yang dilakukan KPU.
Partai Berkarya menilai KPU melakukan pelanggaran hukum perihal dengan tidak diloloskannya partai ini sebagai peserta pemilu. Pihak Partai Berkarya melakukan pembelaan bahwa selama proses pendaftaran telah mengikuti prosedur yang berlaku.
Ketua Umum Partai Berkarya Muchdi Purwoprandjono menilai pihaknya sangat layak untuk lolos ke Pemilu 2024. Menurutnya, Partai Berkarya telah melengkapi seluruh persyaratan yang berlaku, mulai dari kepengurusan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta minimal jumlah anggota partai.

Pada Pemilu 2019 sebelumnya, Partai Berkarya dapat melenggang memenuhi berbagai persyaratan hingga ikut dalam gelanggang pemilihan. Saat itu, sekalipun tak lolos parlementary threshold, Partai Berkarya telah mampu meraup lebih dari 2,9 juta suara (2,02 persen).
Berdasarkan pengalaman itu, pihak Partai Berkarya menjadi sulit untuk menerima keputusan KPU yang tidak meloloskan sebagai peserta pemilu.
Terkait dengan persyaratan yang ditentukan, Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Fauzan Rachmansyah, dalam penjelasannya menyatakan bahwa partai ini telah memiliki Dewan Pengurus Wilayah (DPW) di seluruh provinsi, kemudian Dewan Pengurus Daerah (DPD) di 86 persen wilayah kabupaten dan kota, serta Dewan Pengurus Cabang (DPC) di sekitar 80 persen kecamatan.
Artinya berdasarkan kondisi itu, persyaratan kepengurusan di daerah semestinya telah sesusai dengan ketentuan. Terlebih, partai ini juga sudah memiliki lebih dari 263 ribu anggota, melebih dari target semestinya sekitar 214 ribu anggota.
Baca juga : Akhiri Polemik Penundaan Pemilu
Penundaan Pemilu
Berdasarkan dari gugatan yang secara resmi diajukan ke PN Jakarta Pusat, ada sejumlah poin yang dilayangkan oleh Partai Berkarya kepada KPU untuk maksud utama menjadikannya sebagai peserta pemilu. Sejumlah poin gugatan yang diajukan itu menyangkut KPU yang harus menunda seluruh alur tahapan pemilu yang telah berjalan.
Di luar penundaan pemilu, Partai Berkarya juga menggugat KPU untuk membayar kerugian materiil dan immaterial. Dalam gugatan tertulis, kerugian materiil yang diderita penggugat mencapai Rp 215 miliar Adapun kerugian immaterial yang dialami Partai Berkarya mencapai Rp 25 miliar. Jika ditotal, besaran ganti rugi yang harus dibayarkan mencapai Rp 240 miliar.
Apa yang digugat oleh Partai Berkarya terkait dengan poin penundaan pemilu ini tak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Prima (Partai Rakyat Adil Makmur). Prima melakukan gugatan kepada KPU ke PN Jakarta Pusat pada awal Maret 2023 lalu.
Saat itu, KPU selaku pihak tergugat melalui Putusan Nomor 757/PDT.G/2022/PNJKT.PST diperintahkan untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan dikeluarkan, sebab dinilai telah melanggar hukum dalam proses verifikasi faktual pendaftaran Prima.
Keputusan itu sontak menimbulkan polemik berkepanjangan. Isu berkaitan dengan penundaan pemilu memang menjadi hal yang sangat sensitif dan dapat bergulir menjadi isu liar yang tak berujung. Hal yang sama kini pun dapat pula terjadi, seiring dengan telah berjalannya proses gugatan yang dilakukan oleh Partai Berkarya kepada KPU.

Langkah menggugat KPU ke PN Jakarta Pusat yang dilakukan oleh Partai Berkarya ini secara tidak langsung memang mengembalikan keadaan sama seperti gugatan yang dilakukan oleh Prima beberapa waktu lalu.
Setidaknya kasak-kusuk yang ditimbulkan dari gugatan yang diajukan akan berdampak langsung yang bahkan bisa merugikan pihak peneyelenggara Pemilu yang tengah mempersiapkan pemilihan.
Pertama, kemungkinan isu besar yang ditimbulkan dari proses gugatan tentulah akan mengganggu kerja-kerja penyelenggaraan yang tengah berjalan. Hal tersebut, bagi KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) khsususnya, hanya akan banyak menyita energi dan membelah fokus.
Kedua, jika gugatan kembali memutuskan bahwa KPU harus kembali menunda tahapan penyelenggaraan yang sudah berjalan, maka pihak penyelenggara juga menjadi yang paling dirugikan. Apalagi ruang perdebatan yang ditimbulkan pun akan alot. Dalam hal ini semestinya seluruh pihak dapat belajar dari kondisi sebelumnya saat gugatan dilayangkan oleh Prima.
Keputusan tersebut kian menyudutkan posisi penyeleggara baik KPU maupun Bawaslu. Padahal, untuk saat ini kepercayaan publik dan optimisme pada lembaga ini semestinya dapat terus terpupuk. Dukungan khalayak itu mejadi modal penting untuk menyukseskan penyelenggaraan pesta demokrasi.
Ketiga, termasuk dalam hal gugatan yang menyatakan adanya sejumlah kerugian materiil dan immaterial yang harus digantikan oleh KPU jikalau nanti terbukti dan dinilai bersalah. Penggantian sejumlah kerugian ini pun hanya akan membuka pertanyaan besar bagi di tengah masyarakat menyangkut dengan kredibilitas KPU.
Baca juga : Wacana Penundaan Pemilu Usik Publik
Preseden
Selain berbagai potensi kerugian yang dapat merugikan penyelenggara tersebut, gugatan yang dilakukan baik oleh Partai Berkarya maupun Prima sebelumnya telah meninggalkan jejak yang membentuk preseden bagi proses penyelenggaraan pemilu.
Langkah Partai Berkarya untuk mengajukan gugatan kepada PN Jakarta Pusat ini sebetulnya tidak terlepas dari apa yang sudah dilakukan Prima sebelumnya. Belakangan Partai Berkarya pun membenarkan bahwa langkahya tersebut terinspirasi dari apa yang dilakukan Prima.
Hal ini tentu akan menjadi preseden buruk di saat melakukan gugatan oleh partai politik kepada Pengadilan Negeri pada satu sisi juga dinilai tak tepat. Putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Pusat atas gugatan yang dilayangkan oleh Prima lalu memantik banyak reaksi dari berbagai pihak yang menilai hal tersebut kurang tepat.
Dalam konteks pemilu, seharusnya gugatan yang terkait pun harus diselesaikan dalam prosedur yang ditetapkan dalam penyelesaian pelanggaran, proses penyelenggaraan, maupun sengketa hasil pemilu. Belakangan, Prima akhirnya ditetapkan memenuhi syarat admistrasi dan kini sedang masuk tahapan verifikasi faktual.
Pada 21 April 2023 nanti KPU bakal melakukan rekapitulasi nasional hasil verifikasi faktual perbaikan dari Partai Prima, disusul dengan penetapan sebagai peserta pemilu, pemberian nomor urut, dan pengumuman sebagai peserta pemilu. Proses rekapitulasi ini menentukan apakah Partai Prima lolos sebagai peserta pemilu atau tidak.
Hal ini tidak lepas dari tindak dari berdasarkan putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU untuk kembali membuka kesempatan Prima melakukan verifikasi administrasi kelengkapan syarat partai politik peserta Pemilu.
Dalam hal ini, KPU memberikan kembali kesempatan kepada Prima untuk menyampaikan dokumen persyaratan perbaikan kepada terlapor berdasarkan berita acara rekapitulasi hasil verifikasi administrasi sebelumnya. Proses itu dilakukan menggunakan Sipol dalam jangka waktu maksimal 10x24 jam sejak dibukanya akses Sipol.

Pada akhirnya, langkah untuk melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri oleh Prima maupun Partai Berkarya telah memberikan satu preseden yang bukan tidak mungkin dapat diikuti oleh partai-partai lainnya yang merasakan dirugikan atas proses penyelenggaraan pemilu yang berlangsung.
Segenap upaya yang dilakukan partai untuk dapat menemukan keadilan atas proses penyelenggaraan pemilu tentu patut dihargai. Namun, alangkah baiknya memang jika upaya-upaya itu dapat dilakukan dalam koridor pemilu yang juga menggunakan prosedur penyelesaian persoalan sesuai ketentuan penyelenggaraan pemilu.
Jauh lebih penting dari itu, upaya penyelesaian secara adil yang diharapkan pun semestinya tidak harus disejalankan dengan maksud untuk menunda pelaksanaan pemilu. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jajak Pendapat ”Kompas”: Publik Berharap Pemilu Tetap Digelar 2024