Optimalkan Pengentasan Kemiskinan Wilayah Selatan DIY
Pengentasan di kantong-kantong kemiskinan menjadi solusi melepaskan label DIY sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa. Sejumlah potensi dan peluang terbuka lebar untuk mewujudkan hal tersebut.
Gunungkidul, Kulon Progo, dan Bantul menjadi kantong-kantong kemiskinan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Optimalisasi pengentasan kemiskinan di wilayah selatan tersebut bukan tidak mungkin akan melepaskan label DIY sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa.
Tingginya kemiskinan DIY sempat menimbulkan banyak pertanyaan. Tak sedikit juga yang menilainya sebagai sebuah anomali. Sebab, dalam beberapa aspek, daerah istimewa tersebut mencatatkan kinerja yang sangat mumpuni. Beberapa di antaranya Indeks Pembangunan Manusia dan angka harapan lama sekolah yang tinggi, serta tidak ada lagi desa tertinggal.
Namun, tak dapat dimungkiri bahwa secara statistik angka kemiskinan DIY memang relatif tinggi, yakni 11,49 persen pada September 2022. Salah satu faktor penyebabnya adalah masih ada sejumlah daerah di Yogyakarta memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Dari lima daerah kabupten/kota, tiga di antaranya masih memiliki persentase kemiskinan yang relatif besar. Daerah tersebut adalah Kabupaten Kulon Progo, Gunungkidul, dan Bantul.
Pada periode yang sama, persentase penduduk miskin Gunungkidul mencapai 15,9 persen dan Kulon Progo 16,4 persen. Sementara itu, data termutakhir di Kabupaten Bantul pada tahun 2021 tingkat kemiskinannya sebesar 14 persen. Angka tersebut lebih besar dari rata-rata kemiskinan Provinsi DIY dan sekitar dua kali lipatnya dari Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.
Memang, ada kecenderungan ”laku prihatin” yang diterapkan sebagian penduduk DIY dengan pola hidup hemat dan sak madyo. Bukan tidak mungkin pola yang sama juga menjadi keseharian penduduk pada ketiga daerah tersebut. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa masih ada sebagian penduduk di wilayah tersebut yang benar-benar hidup dalam kekurangan.
Baca juga: Sinyal Perbaikan di Tengah Tingginya Tingkat Kemiskinan di Provinsi DIY
Ekonomi terbatas
Terletak di wilayah pesisir selatan dengan kontur medan perbukitan membuat ketiga kabupaten di Yogyakarta itu lekat dengan gambaran ketertinggalan di masa silam. Kondisi ini mirip dengan sejumlah wilayah di Provinsi Jawa Barat. Dibandingkan kawasan Jabar Tengah dan Jabar Utara, daerah-daerah di Jabar Selatan tertinggal cukup jauh.
Ekonomi yang masih bertumpu pada sektor primer dan sekunder membuat pendapat penduduk relatif rendah dan tak menentu. Badan Pusat Statistik mencatat, ekonomi pada tiga kabupaten di pesisir selatan DIY itu masih didominasi oleh sektor pertanian, industri, dan konstruksi.
Hingga saat ini, pertanian masih menjadi sektor dengan tingkat pendapat yang rendah dan tak menentu. Sektor industri dan konstruksi yang pendapatannya relatif ajek pun belum mampu menjamin tercukupinya kebutuhan lantaran tingkat upah yang relatif rendah.
Akibatnya, pemenuhan kebutuhan pun tidak optimal. Hal tersebut tergambar dari pengeluaran per kapita yang minim, terutama di Gunungkidul dan Kulon Progo. Padahal, tingkat pengeluaran ini menjadi dasar penghitungan kemiskinan. Semakin sedikit uang yang dikeluarkan untuk belanja setiap bulan, maka kecenderungan masuk dalam kelompok miskin kian besar.
Tahun 2022, rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Gunungkidul sebesar Rp 9,8 juta per tahun, sedangkan, di Kabupaten Kulon Progo sekitar Rp 10,5 juta per kapita setahun. Angka tersebut terpaut cukup jauh dari nilai rata-rata pengeluaran Provinsi DIY per tahun yang mencapai Rp 14,5 juta per kapita. Kian jauh lagi jika dibandingkan dengan nominal belanja rata-rata masyarakat Kota Yogyakarta yang mencapai Rp 19,3 juta per orang per tahun.
Secara tidak langsung, deskripsi pengeluaran tersebut menunjukkan tingginya kesenjangan di Provinsi DIY. BPS mencatat, indeks gini ratio DIY mencapai 0,439 pada Maret 2022. Naik dari tahun sebelumnya dan tercatat sebagai yang tertinggi di seluruh Indonesia.
Baca juga: ”Kemiskinan” Yogyakarta, Hidup Prihatin untuk Masa Depan Mapan
Transformasi
Meskipun saat ini ketiga daerah di Yogyakarta itu memiliki tingkat kemiskinan yang besar, sejatinya pemerintah daerah setempat terus berupaya mengikis kemiskinan di wilayahnya. Bahkan, upaya upaya pengentasan kemiskinan tersebut sejatinya cukup membuahkan hasil positif. Kabupaten Kulon Progo, misalnya. Daerah yang kini masih mencatatkan tingkat kemiskinan tertinggi di DIY itu telah mampu menurunkan kemiskinan sekitar 8,7 persen dalam dua dekade terakhir. Angka penurunan ini lebih besar dari rata-rata Provinsi DIY yang hanya 7,7 persen pada rentang periode yang sama.
Tahun 2004, tingkat kemiskinan Kulon Progo masih 25,1 persen atau seperempat dari total jumlah penduduk Kulon Progo. Kini, tingkat kemiskinannya susut dan masih bersisa sekitar 16 persen. Kondisi serupa juga terjadi dengan Kabupaten Gunungkidul. Pada kurun waktu yang sama, daerah terluas di DIY itu mencatatkan laju penurunan tingkat kemiskinan sebesar 9,3 persen sehingga kini jumlah kemiskinannya sebesar 15,9 persen. Menyusut drastis dari dua dekade silam yang mencapai 25,2 persen. Penurunan angka kemiskinan yang cukup drastis ini patut diapresiasi lantaran Gunungkidul telah melewati berbagi kisah masa kelam.
Dulu, terutama pertengahan tahun 1990-an, daerah ini sangat memprihatinkan. Ketika musim kemarau datang, Gunungkidul dilanda kekeringan. Gagal panen di mana-mana, pendapatan berkurang, bahan pangan terbatas, dan tidak jarang berujung pada kelaparan. Kondisi tersebut berlangsung bertahun-tahun.
Bahkan, Gunungkidul sempat dikenal sebagai daerah dengan tingkat bunuh diri yang tinggi, mayoritas dengan cara gantung diri. Mengutip data yang dikumpulkan Darmaningtyas dalam bukunya berjudul Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul, terdapat lebih dari 160 kejadian bunuh diri dalam kurun waktu satu dekade (1980-1990). Setidaknya, belasan hingga puluhan kasus setiap tahunnya.
Banyak penduduk yang mengaitkan fenomena tersebut dengan mitos pulung gantung, sebuah cahaya kemerahan dari langit. Jika jatuh ke sekitar rumah warga, tidak lama kemudian salah satu anggota keluarga akan bunuh diri dengan cara gantung diri.
Kendati demikian, tidak sedikit juga yang menampik mitos tersebut. Darmaningtyas dan sejumlah literatur lainnya menyebutkan, salah satu faktor penyebab maraknya bunuh diri di Gunungkidul adalah ekonomi dan kemiskinan. Hal tersebut terindikasi dari mayoritas pelaku bunuh diri berasal dari kelompok ekonomi rendah. Mereka tidak memiliki pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Saat ini fenomena bunuh diri sudah tidak banyak ditemukan. Bisa jadi, wawasan warga sudah lebih terbuka dan kondisi ekonomi relatif lebih baik.
Susutnya kemiskinan tersebut juga terjadi di Kabupaten Bantul. Meskipun tidak drastis laju penurunannya, kondisi Bantul kini bisa dikatakan sedikit lebih baik dibandingkan dua daerah sentra kemiskinan lainnya. Dalam kurun waktu 18 tahun, persentase penduduk miskin di Bantul turun sebesar 4,5 persen, dari sebelumnya 18,6 persen dan kini menjadi sekitar 14 persen. Persentase kemiskinan ini merupakan yang terendah atau yang terbaik di antara daerah sentra kemiskinan di Yogyakarta.
Optimalkan peluang
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sejatinya kemiskinan yang tinggi dapat diatasi. Perbaikan demi perbaikan dapat dilakukan dengan menggali berbagai potensi yang dimiliki suatu daerah. Apalagi, kini ada sejumlah peluang yang sangat potensial mendorong kemajuan daerah di Yogyakarta.
Salah satunya berupa Yogyakarta International Airport (YIA) yang lokasinya dekat dengan perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Bandara yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada Agustus 2020 untuk menggantikan Bandara Adisutjipto itu sangat besar potensinya dalam membuka peluang peningkatan perekonomian sekitarnya. Kabupaten Kulon Progo sebagai lokasi bandara tersebut tentu saja akan mendapat imbas positif itu secara langsung.
Baca juga: Tantangan Berat Pengentasan Kemiskinan Dunia
Sebelum beroperasi, YIA telah berkontribusi pada perekonomian Kulon Progo dengan terserapnya tenaga kerja selama proses pembangunan. Sejak saat itu, ekonomi Kulon Progo turut terdongkrak. Pertumbuhan ekonomi naik drastis dari 5,97 persen pada 2017 menjadi 13,49 persen pada 2019. Namun, pandemi membuat ekonomi terkontraksi.
Namun, sejak 2021 ekonomi kembali tumbuh positif. Aktivitas wisata ke DIY kembali meningkat sehingga pengujung YIA pun berpotensi akan terus meningkat. Hal ini menjadi sinyal baik untuk penyerapan kembali tenaga kerja lokal demi menopang aktivitas kegiatan bandara yang kian meningkat.
Oleh sebab itu, pemerintah setempat perlu sigap dalam melihat potensi peluang. Jangan sampai peluang yang ada hanya dinikmati oleh investor dan pendatang yang membuka usaha di kawasan tersebut. Keterlibatan masyarakat setempat dapat diupayakan dengan mengoptimalkan BUMDes dan dana desa agar warga turut merasakan ”gula-gula” dari adanya YIA.
Begitu halnya dengan Gunungkidul. Daerah yang dianugerahi keindahan alam dan pantai yang membentang tersebut kini telah dikenal hingga mancanegara. Pemerintah dapat memaksimalkan potensi tersebut untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Selama ini, pariwisata telah terbukti mampu membangkitkan ekonomi Gunungkidul yang dulu dikenal sebagai daerah miskin. Pembangunan yang cukup masif di bidang pariwisata membuat Gunungkidul kebanjiran wisawatan.
Tahun 2011, baru terdapat sekitar 600.000 wisatawan yang berkunjung, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Namun, pada tahun 2019, tercatat 3,6 juta wisatawan datang ke Gunungkidul. Naik enam kali lipat.
Meski sempat tiarap akibat pandemi, kini wisatawan kembali berdatangan. Bukan tidak mungkin jumlahnya akan melampaui capaian tahun 2019. Apalagi, jalur jalan lintas selatan (JJLS) telah siap membentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Gunungkidul menjadi salah satu wilayah yang berada dalam lintasan jalur itu. Artinya, potensi masyarakat dari luar daerah yang akan melintas di Gunungkidul akan lebih banyak. Hal ini menjadi peluang besar bagi pengembangan usaha jasa-jasa pariwisata untuk ”mengundang” para pelaku perjalanan berkunjung dan singgah di Gunungkidul.
Demikian pula dengan Kabupaten Bantul juga menjadi wilayah yang dilalui JJLS. Hal ini merupakan peluang untuk meningkatkan optimisme bagi pemerataan perekonomian wilayah selatan. Besarnya potensi peluang ini sebaiknya disikapi oleh pemangku kebijakan setempat untuk mengembangkan program-program yang memberikan dampak positif yang konkret bagi warganya.
Jika hal tersebut terwujud, tingkat pendapatan masyarakat di wilayah bersangkutan akan meningkat lebih baik. Seiring dengan bertambahnya penghasilan, maka kesejahteraan masayarakat akan meningkat dan kemiskinan akan menyusut. Berkurangnya kemiskinan, terutama di tiga kabupaten di Yogyakarta itu, akan berdampak positif pada penurunan laju kemiskinan di Provinsi DIY secara keseluruhan. Bukan mustahil, label DIY sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa pun dapat dilepaskan secepatnya. (LITBANG KOMPAS)