Tantangan Berat Pengentasan Kemiskinan Dunia
Setelah menurun dalam empat dekade terakhir, kini kemiskinan kembali meningkat akibat pandemi dan konflik geopolitik. Cita-cita dunia menghapus kemiskinan pada tahun 2030 terancam gagal tercapai.
Perjalanan pengentasan kemiskinan dunia masih sangat panjang. Optimisme untuk mengakhiri kemiskinan di tahun 2030 mendatang memasuki fase pesimistis. Pandemi dan konflik geopolitik yang belum usai berdampak pada persoalan yang paling mendasar, yakni krisis pangan dan membuat angka kemiskinan justru meningkat.
Sejak PBB meresmikan Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional pada 17 Oktober 1992, tercatat adanya penurunan angka kemiskinan dunia yang cukup fantastis. Berdasarkan data yang dihimpun Bank Dunia, lebih dari sepertiga penduduk dunia masuk dalam kelompok miskin ekstrem saat itu. Namun, sejak tahun 2017, tersisa sekitar 640 juta jiwa penduduk miskin ekstrem dunia atau berada di bawah 10 persen dari populasi dunia.
Jika ditarik lebih jauh ke belakang, angka penurunannya jauh lebih besar. Sebab, empat dekade silam lebih dari dua miliar jiwa di dunia masuk dalam kelompok miskin ekstrem. Jumlahnya hampir mencapai separuh dari total penduduk dunia, yakni 43,6 persen. Merujuk definisi terbaru yang digunakan Bank Dunia, penduduk yang masuk kategori ekstrem adalah mereka yang besaran pengeluarannya kurang dari 2,15 dollar AS per orang per hari. Sebelumnya, batas garis kemiskinan ekstrem adalah 1,90 dollar AS per orang per hari.
Berdasarkan pengategorian tersebut, terpantau terjadi penurunan kemiskinan ekstrem dari tahun ke tahun. Hanya pada tahun 1998 terjadi peningkatan 0,6 persen sebagai dampak adanya krisis keuangan yang melanda Asia dan cukup memengaruhi kondisi perekonomian global.
Namun, secara keseluruhan, penurunan kemiskinan terjadi seiring dengan kian produktifnya negara-negara di dunia. Salah satunya tergambar dari nilai produk domestik bruto (PDB) secara global yang telah meningkat delapan kali lipat sepanjang empat dekade terakhir. Jika tahun 1980 PDB dunia baru menyentuh angka 11,3 triliun dollar AS, kini sudah mencapai 96,1 triliun dollar AS.
Penyumbang pertumbuhan ekonomi itu berasal dari berbagai belahan dunia. Tak hanya oleh negara-negara berpendapatan tinggi, tetapi juga atas partisipasi negara-negara kelas bawah hingga menengah. Sepanjang periode yang sama, PDB di negara berpendapatan tinggi telah meningkat 6,6 kali lipat. Sedikit lebih tinggi dari peningkatan negara berpendapatan rendah, yakni 6,3 kali lipat. Sementara itu, PDB di negara berpendapatan menengah ke bawah dan menengah ke atas telah meningkat masing-masing 12 dan 16 kali lipat.
Peningkatan perekonomian tersebut sejalan dengan masifnya industrialisasi di berbagai belahan dunia yang berdampak pada terciptanya lapangan pekerjaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan semakin banyaknya orang yang mendapat penghasilan dari pekerjaannya, membuat tingkat kemiskinan semakin rendah. Kualitas kehidupan secara umum kian membaik.
Pandemi
Hanya saja, prestasi dalam menurunkan tingkat kemiskinan dunia tersebut kini menghadapi tantangan yang kian berat. Setelah lebih dari dua dekade persentase penduduk miskin ekstrem konsisten berkurang dari waktu ke waktu, kini trennya kembali meningkat akibat pandemi.
Baca juga: Kolong Kemiskinan Jakarta Tidak Pernah Sepi
Tahun 2019, rasio penduduk miskin ekstrem dunia sebesar 8,4 persen dari total populasi dunia. Turun 0,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pandemi Covid-19 membuat penduduk miskin dunia diperkirakan bertambah 119 juta-124 juta orang pada tahun 2022. Akibatnya, rasio penduduk miskin dunia meningkat menjadi 9,5 persen dari total penduduk dunia. Artinya, terjadi peningkatan kemiskinan hingga lebih dari 1 persen atau dua kali lebih besar daripada penurunan yang terjadi di tahun sebelum wabah melanda.
Situasi tersebut berkaitan dengan banyaknya penduduk dunia yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Aktivitas penduduk dunia di luar ruangan terbatas hanya pada hal-hal bersifat vital, misalnya belanja kebutuhan pokok. Kegiatan lainnya seperti belajar-mengajar, bekerja, hingga wisata beralih ke rumah dan dilakukan secara daring.
Akibatnya, konsumsi agregat penduduk dunia berkurang sehingga sektor industri mengurangi produksinya sehingga perekonomian melambat dan bahkan lumpuh. Banyak sektor usaha di berbagai negara mengurangi beban biaya produksi dengan pengurangan jam kerja hingga pemutusan hubungan kerja.
Data Statista menyebutkan, pengangguran di dunia bertambah menjadi 223,7 juta orang pada tahun 2020. Sekitar 20 persen lebih banyak dari tahun 2019. Sementara itu, sebanyak 537 juta pekerja di dunia mengalami pengurangan jam kerja pada triwulan kedua 2020. Trennya masih terus berlanjut hingga triwulan yang sama di tahun ini.
Efek domino yang terjadi salah satunya berupa turunnya tingkat pendapatan di sejumlah negara. Misalnya India, upah pekerja turun sekitar 22,6 persen akibat pandemi. Bahkan, di negara-negara maju sekalipun turut terjadi penurunan tingkat upah. Seperti di Amerika Serikat yang mengalami penurunan tingkat upah hingga 35 persen, Inggris 30 persen, dan Jerman 20 persen.
Berkurangnya tingkat penghasilan itu berdampak pada kemiskinan kaum pekerja. Memiliki aktivitas produktif pun dalam perekonomian tidak serta-merta menjamin para pekerja hidup lebih sejahtera saat pandemi melanda. Sebelum pandemi, sekitar 6,7 persen pekerja di dunia masuk dalam kategori pekerja miskin ekstrem. Namun, pandemi membuatnya semakin bertambah menjadi 7,2 persen pada tahun 2020. Perbaikan kondisi baru tampak pada tahun 2021 dengan rasio pekerja miskin menurun menjadi 6,9 persen.
Malawi, Kongo, Madagaskar, hingga Burundi menjadi negara-negara dengan tingkat pekerja miskin ekstrem tertinggi di dunia. Rasionya bisa mencapai 65-79 persen. Begitu juga dengan Zambia, Angola, Liberia, dan negara Afrika Sub-Sahara lainnya.
Secara keseluruhan, negara-negara Afrika Sub-Sahara mendominasi penduduk miskin ekstrem di dunia, yakni mencapai dua pertiga pada tahun 2019. Jumlah dan proporsinya kian besar jika dibandingkan dengan tahun 1991 dan 2010.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan region Asia Timur dan Pasifik. Tiga dekade silam, lebih dari separuh penduduk miskin ekstrem dunia ada di kawasan ini. Namun, jumlah dan rasionya kian turun menjadi 23,2 persen pada 2010 dan 3,6 persen pada 2019. Artinya, kondisi perekonomian kawasan Asia Timur dan Pasifik semakin jauh lebih baik saat ini. Kondisi ini salah satunya didorong oleh percepatan pengentasan kemiskinan di wilayah China.
Baca juga: Kemiskinan Membayangi Kepuasan Publik
Geopolitik dan SDGs
Kondisi sebagian wilayah dunia yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi itu kini dihadapkan lagi pada situasi yang juga sangat pelik. Konflik senjata antara Rusia dan Ukraina memperkeruh situasi geopolitik dunia karena berimbas pada suplai dan distribusi energi di sejumlah negara. PBB memperkirakan, guncangan keuangan dan meningkatnya biaya hidup akibat tingginya harga minyak dan sejumlah komoditas dunia berpotensi mendorong 71 juta jiwa terseret ke dalam lubang kemiskinan.
Lonjakan harga makanan dan bahan bakar akibat konflik itu membebani anggaran individu atau rumah tangga dan juga pemerintah di seluruh negara, terutama bagi negara-negara berkembang. Geopolitik dunia dalam situasi yang tidak stabil sehingga berpotensi menimbulkan berbagai gejolak perekonomian yang berimbas secara global. Apalagi, invasi militer Rusia ke Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Belum lagi ditambah dengan munculnya berbagai ketegangan-ketegangan antarnegara, seperti China-Taiwan dan AS hingga memanasnya Korea Utara dengan Korea Selatan-Jepang-Amerika Serikat.
Selain dapat berimbas pada kondisi makro-ekonomi dunia, ketegangan geopolitik tersebut berpotensi besar akan memperparah situasi kemiskinan global. Cita-cita mengakhiri kemiskinan dunia dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pun menjadi pesimistis. Padahal, mengatasi tingkat kemiskinan dunia menjadi tujuan utama dari 17 tujuan yang disepakati dalam SDGs 2015. Target untuk mengakhiri kemiskinan dalam bentuk apa pun dan di mana pun pada tahun 2030 sepertinya akan sulit terwujud.
Secara harfiah ”mengakhiri” menjelaskan sesuatu yang selesai. Dengan kata lain, targetnya adalah tidak ada sama sekali kemiskinan di dunia. Namun, jika dilihat berdasarkan pola penurunan jumlah kemiskinan beberapa tahun terakhir, ”nol persen” kemiskinan di tahun 2030 agaknya tidak mudah tercapai.
Sebagai gambaran, persentase kemiskinan ekstrem tahun 2019 adalah 8,4 persen. Tanpa memasukkan dampak pandemi, rata-rata penurunan kemiskinan lima tahun terakhir adalah 0,6 persen setahun. Pemilihan lima tahun terakhir berdasarkan tren penurunan yang cukup konsisten sehingga tidak ada pengaruh lonjakan penurunan yang ekstrem pada satu tahun tertentu yang kurang mampu menggambarkan kondisi secara keseluruhan.
Dengan asumsi penurunan di tahun-tahun berikutnya adalah sama, yakni 0,6 persen per tahun, maka masih ada 1,8 persen penduduk miskin ekstrem di dunia pada tahun 2030. Kenyataannya, akibat wabah Covid-19, persentase kemiskinan pada tahun 2020 justru meningkat. Jika diasumsikan peningkatan berhenti di tahun tersebut dan tahun-tahun berikutnya konsisten turun dengan besaran yang sama, yakni 0,6 persen, persentase kemiskinan ekstrem dunia di tahun 2030 masih sebesar 3,5 persen.
Baca juga: Survei Litbang ”Kompas”: Bantalan Sosial dan Kemiskinan Perlu Perhatian
Angka estimasi tersebut berpotensi besar akan terus meningkat apabila konflik geopolitik terus berkepanjangan dan pandemi juga belum teratasi dengan tuntas. Bahkan, PBB memperkirakan masih akan ada 600 juta penduduk miskin pada tahun 2030. Angka perkiraan ini setara dengan 7 persen dari populasi dunia. Dengan kata lain, tujuan penghapusan kemiskinan global pada 2030 akan sulit tercapai atau bahkan tidak akan tercapai sama sekali.
Situasi global yang serba tak menentu saat ini cukup tergambarkan dengan tema ”Dignity for All in Practice” pada peringatan Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional tahun ini. Tema tersebut meneguhkan bahwa semua orang di dunia memiliki hak dan martabat yang sama dalam semua aspek kegiatan. Dalam situasi serba sulit dan tidak pasti, semua orang berhak untuk melakukan berbagai kegiatan dengan tetap menjaga martabat dirinya. Semua orang harus terus bersemangat dalam menghadapi kondisi ini.
Oleh sebab itu, setia[ negara perlu untuk menyusun kebijakan yang tepat sasaran terutama dalam hal pengentasan kemiskinan. Hal-hal mendasar harus didahulukan guna menjaga keberlangsungan hidup dan juga peningkatan kualitas kehidupan di masa depan. Jaring pengaman sosial terutama bagi masyarakat bawah menjadi alternatif kebijakan yang harus disalurkan demi mencegah meningkatnya angka kemiskinan.
Selain itu, perlu untuk terus meningkatkan perbaikan fasilitas dasar setidaknya seperti akses pangan, air bersih, kesehatan, dan pendidikan. China sebagai salah satu negara yang telah menerapkan sejumlah kebijakan tersebut terbukti cukup berhasil dalam mendorong kemajuan perekonomian dan kesejahteraan bangsanya.
Jadi, tidak ada salahnya untuk menerapkan sejumlah kebijakan serupa dengan melihat kondisi internal setiap negara. Peran PBB pun semakin diperlukan untuk melakukan pendampingan baik dari segi pendanaan ataupun saran kebijakan agar semua negara dapat menekan laju kemiskinannya sekaligus dapat melewati masa-masa sulit saat ini. (LITBANG KOMPAS)