”Kemiskinan” Yogyakarta, Hidup Prihatin untuk Masa Depan Mapan
Sebagian masyarakat Yogyakarta benar-benar memaknai falsafah Jawa, ”gemi nastiti tur ngati-ati”. Artinya, tidak mudah membelanjakan jika memang tidak diperlukan.

Warga memeriksa kandang burung dara peliharaan di perkampungan Tamansari, Keraton, Yogyakarta, Senin (23/1/2023). Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik, DI Yogyakarta menjadi daerah termiskin di Pulau Jawa. Tingkat kemiskinan DIY sebesar 11,49 persen, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 463.630.
Tingginya tingkat kemiskinan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak serta-merta menggambarkan kondisi yang tertinggal dan jauh dari sejahtera. Kebiasaan menghemat pengeluaran, termasuk belanja bahan pangan, menjadi ciri perilaku sederhana demi mempersiapkan masa depan yang lebih mapan. Bagi kultur Jawa, perilaku demikian dikenal dengan laku ”prihatin”.
”Saya kaget begitu mendengar bahwa DIY adalah provinsi termiskin. Tidak terima saya.”
Demikian ungkapan kekesalan Ana dalam sebuah diskusi pagi yang diselenggarakan Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dua pekan lalu. Rupanya, penyematan DIY sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa masih menimbulkan sejumlah perdebatan, terutama bagi para warga setempat.
Sebagai informasi, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan DIY pada September 2022 mencapai 11,49 persen atau menjadi yang tertinggi di Pulau Jawa. Penghitungan kemiskinan tersebut menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar atau total pengeluaran untuk konsumsi. Jika tingkat pengeluarannya rendah dan berada di bawah garis kemiskinan, seseorang disebut penduduk miskin.
Lantas, mengapa terganggu disebut paling miskin jika memang total pengeluarannya rendah?
Wanita paruh baya yang sudah puluhan tahun tinggal di Yogyakarta itu mengaku, hidup irit atau hemat sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Yogyakarta. Pasalnya, sejak kecil sudah diajarkan untuk harus menabung.
Gemar menabung
Kebiasaan menabung itu pun terkonfirmasi dari data yang dihimpun Bank Indonesia. Dalam Laporan Perekonomian yang dirilis November 2022, BI menyebutkan bahwa dana pihak ketiga di DIY lebih besar daripada kredit. Dana pihak ketiga ini merupakan simpanan masyarakat yang ada di perbankan dan terdiri dari tabungan, deposito, dan giro.
Pada triwulan III-2022, dana pihak ketiga atau simpanan masyarakat DIY mencapai Rp 74,9 triliun. Nominal ini mengalami peningkatan sebesar 7,92 persen dari triwulan III-2021 (yoy).
Pertumbuhan tersebut didorong oleh bertambahnya tabungan dan deposito yang mendominasi porsi simpanan di DIY. Trennya pun selalu meningkat dari tahun ke tahun, tak terkecuali ketika masa pandemi.

Baca juga: Sinyal Perbaikan di Tengah Tingginya Tingkat Kemiskinan di Provinsi DIY
Sementara itu, pada periode yang sama, kredit atau pinjaman masyarakat DIY berkisar Rp 50,2 triliun. Dengan kata lain, simpanan masyarakat lebih besar daripada pinjaman. Proporsi pinjaman pun tidak serta-merta untuk kebutuhan konsumsi. Hampir 50 persen pinjaman masyarakat DIY digunakan untuk kredit aset, seperti hunian (KPR dan KPA), kendaraan (KKB), serta ruko untuk kebutuhan usaha. Sisanya untuk kebutuhan multiguna.
Berbanding terbalik dengan tren simpanan yang kian meningkat, tren kredit masyarakat DIY justru fluktuatif dan cenderung menurun. Dengan besaran tersebut pula, rasio kredit di DIY tergolong rendah. Rasio kredit ideal adalah 80 persen hingga 90 persen. Namun, rasio kredit DIY triwulan III-2022 hanya 67 persen.
Hidup ”prihatin”
Kebiasaan menabung yang rupanya sudah membudaya itu diimbangi dengan pola hidup sederhana serta apa adanya. Salah satunya terwujud dalam pola konsumsi harian.
Selain Ana, salah seorang warga juga menyebutkan bahwa mereka terbiasa memasak dari bahan pangan yang ditanam di sekitar rumah. Mereka memanfaatkan pekarangan rumah agar tidak perlu berbelanja setiap hari.
Konsep ini pun sejalan dengan hasil survei BPS yang dirilis dalam publikasi Statistik Perumahan dan Permukiman. Laporan tersebut menyebutkan, DIY menjadi provinsi dengan persentase tertinggi rumah tangga yang memanfaatkan pekarangan rumah.
Hanya 27,84 persen rumah tangga di Yogyakarta yang pekarangan rumahnya tidak ada tanaman. Artinya, lebih dari 60 persen rumah tangga di DIY memanfaatkan lahan di sekitar rumahnya untuk bercocok tanam aneka tumbuhan.
Pada posisi kedua ditempati Provinsi Jawa Tengah dengan besaran sekitar 37 persen. Peringkat berikutnya ialah Banten dan Jakarta, yang lebih dari 50 persen rumah tangganya tidak memiliki tanaman di pekarangan.
Besarnya proporsi penggunaan lahan pekarangan di Yogyakarta mengindikasikan bahwa tingkat kepadatan penduduk di DIY belum terlalu tinggi. Dengan demikian, masyarakat berpeluang untuk memanfaatkan pekarangan rumah untuk berbagai tujuan positif. Salah satunya untuk menghasilkan bahan pangan.
Selain mengoptimalkan sumber daya yang ada di sekitar rumah, ”kesederhanaan” lain juga terlihat dari pilihan mengonsumsi jenis makanan. Masyarakat DIY cenderung lebih memilih tempe daripada daging atau ikan. Dalam sebulan, setiap orang di Yogyakarta rata-rata mengonsumsi tempe 0,85 kilogram, sedangkan konsumsi ikan dan protein hewani laut lainnya hanya 0,71 kilogram.
Kondisi tersebut tetaplah membahagiakan bagi segenap masyarakat. Indikasinya terlihat dari indeks kebahagiaan DIY yang masih di atas rata-rata nasional, setidaknya hingga tahun 2021.
Pola hidup sederhana tersebut sepertinya sudah mendarah daging dan membudaya bagi warga Yogyakarta. Tampaknya, hal ini menjadi semacam nilai-nilai kultur Jawa yang mereka anut secara turun-temurun yang mengajarkan tentang hidup atau laku ”prihatin”
Iman Budhi Santosa dalam bukunya berjudul Laku Prihatin: Seni Hidup Bahagia Orang Jawa menyebutkan, laku prihatin adalah seluruh tindak perbuatan manusia dalam rangka pengendalian diri yang berpengaruh terhadap perilaku keseharian. Laku prihatin ini bukan nuansa mistik, bukan juga sengaja menyengsarakan diri guna mendapat belas kasih dari orang lain.
Baca juga: Tantangan Berat Pengentasan Kemiskinan Dunia

Lukisan mural dengan beragam mural menghiasi sejumlah bangunan di Dusun Ngaglik, Desa Pendowoharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (18/1/2023). Sedikitnya 40 seniman mural dalam negeri dan lima seniman mural dari mancanegara, yang tergabung dalam Cosmos Street Art Studio, menggelar kegiatan melukis mural bersama di Dusun Ngaglik dalam ajang yang dinamai Mural to Kampung.
Masyarakat DIY juga benar-benar memaknai falsafah Jawa, gemi nastiti tur ngati-ati. Artinya, tidak mudah membelanjakan jika memang tidak diperlukan.
Dalam istilah modern, konsep ini sering juga disebut sebagai frugal living. Secara sederhana, frugal living adalah gaya hidup hemat terhadap pengeluaran agar dapat menabung lebih banyak. Pola tersebut perlu disertai dengan kesadaran penuh (mindful), dengan pertimbangan dan analisis yang baik, serta strategi pencapaian tujuan keuangan masa depan yang jelas.
Tetap unggul
Kendati menjalankan keseharian dengan kesederhanaan, hal itu tidak lantas membuat Provinsi DIY menjadi daerah tertinggal dan tidak sejahtera. Sejumlah catatan statistik menunjukkan bahwa DIY sering masuk dalam jajaran provinsi yang berprestasi.
Di tengah tingginya tingkat kemiskinan, DIY tercatat sebagai provinsi dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi kedua setelah DKI Jakarta. Nilainya mencapai 80,6 atau hanya terpaut 1,1 poin dari Ibu Kota dan jauh di atas rerata nasional yang sebesar 72,9.
IPM dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta hidup layak. Dalam dua dimensi pertama, DIY menduduki peringkat yang paling unggul. Dalam hal pendidikan, misalnya, angka harapan lama sekolah DIY adalah 15,7 tahun atau setara pendidikan tingkat diploma. Hal tersebut rupanya menunjukkan bahwa pendidikan menjadi salah satu hal penting yang sudah membudaya di Yogyakarta. Maka tak salah apabila provinsi ini tak hanya disebut sebagai kota wisata, tetapi juga kota pendidikan.
Begitu halnya dalam kesehatan dan umur panjang. BPS menggunakan indikator angka harapan hidup (AHH) untuk mengukur dimensi tersebut. Rata-rata AHH perempuan di DIY adalah 76,9 tahun, sedangkan AHH laki-laki-DIY adalah 73,3 tahun. Dalam dua indikator tersebut, DIY lebih unggul dari semua provinsi di Jawa, bahkan melampaui rata-rata nasional. Dua indikator ini juga menunjukkan bahwa kesederhanaan masyarakat DIY ditujukan untuk menata masa depan.
Tak hanya itu, dalam pengukuran level mikro pun DIY menjadi salah satu provinsi yang mencatatkan kinerja terbaik. Hal tersebut tecermin dari Indeks Desa Membangun yang disusun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Baca juga: Tantangan Mengatasi Kemiskinan di Ibu Kota

Lukisan mural dengan beragam mural menghiasi sejumlah bangunan di Dusun Ngaglik, Desa Pendowoharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (18/1/2023). Sedikitnya 40 seniman mural dalam negeri dan lima seniman mural dari mancanegara yang tergabung dalam Cosmos Street Art Studio menggelar kegiatan melukis mural bersama di Dusun Ngaglik dalam ajang yang dinamai Mural to Kampung. Kegiatan yang dilakukan secara swadaya tersebut menjadi sarana kontribusi para seniman mural kepada masyarakat sekaligus untuk menyuarakan gagasan mereka terhadap sejumlah permasalahan lingkungan, agama, sembari menyampaikan harapan pascapandemi.
Per tahun 2022, sudah tidak ada lagi desa di DIY yang masuk kategori tertinggal. Dari total 392 desa, hampir separuhnya masuk kategori mandiri yang menjadi tingkatan tertinggi berdasarkan klasifikasi Kemendesa PDTT. Separuh lainnya tercatat sebagai desa maju dan hanya sedikit sisanya lagi, yakni 2,8 persen yang masih dalam kelompok desa berkembang.
Capaian ini jauh melampaui empat provinsi lainnya yang ada di Jawa. Banten misalnya, provinsi yang tingkat kemiskinannya terendah kedua di Pulau Jawa ini justru 12 persen desanya masih masuk kategori tertinggal dan sangat tertinggal. Begitu pula dengan Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang sepertiga hingga setengah desanya masih berkembang.
Dari fenomena tersebut menjelaskan bahwa pola konsumsi yang rendah tidak serta merta mengindikasikan suatu daerah tertinggal dan tidak sejahtera. Lebih dari sekadar menghemat, pola hidup sederhana dipilih guna mempersiapkan masa depan yang lebih mapan. (LITBANG KOMPAS)