Sinyal Perbaikan di Tengah Tingginya Tingkat Kemiskinan di Provinsi DIY
Salah satu penyebab tingginya kemiskinan di Yogyakarta adalah pola konsumsi yang cenderung ”sederhana” dan murah. Akibatnya, total nilai konsumsinya di bawah nilai kebutuhan dasar rata-rata provinsi.
Tingkat kemiskinan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tercatat sebagai yang tertinggi di Pulau Jawa. Meskipun belum optimal, tingkat kemiskinan tersebut diupayakan untuk terus menyusut oleh pemerintah daerah setempat. Sinyal perbaikan penanganan ini terlihat dari jumlah persentase penduduk miskin yang trennya terus menurun.
Setidaknya ada dua hal menarik dari laporan Badan Pusat Statistik terkait kemiskinan Indonesia yang dirilis pada pekan lalu. Pertama, karena naiknya tingkat kemiskinan nasional dari 9,54 persen pada Maret 2022 menjadi 9,57 persen pada September 2022. Efek panjang dari pandemi ditambah dengan gejolak ekonomi global membuat kemiskinan Indonesia belum mampu pulih seperti masa sebelum pandemi.
Kedua, lantaran DIY disebut-sebut sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa. BPS mencatat, tingkat kemiskinan DIY bulan September 2022 mencapai 11,49 persen. Naik dari periode Maret 2022 yang sebesar 11,34 persen. Angka tersebut menggambarkan persentase penduduk miskin dari total populasi yang ada di seluruh Provinsi DIY.
Dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah, tingkat kemiskinan DIY lebih tinggi 0,51 persen. Sementara itu, jika dibandingkan dengan DKI Jakarta, selisihnya terpaut sangat jauh lantaran tingkat kemiskinan Ibu Kota tercatat sebesar 4,61 persen. Dengan kata lain, tingkat kemiskinan DIY nyaris 2,5 kali lipat dari kemiskinan DKI Jakarta.
Secara jumlah, penduduk miskin di DIY lebih rendah dari provinsi lainnya. Namun, total populasi yang lebih sedikit membuat persentase penduduk miskin di DIY menjadi relatif lebih tinggi. Data bulan September 2022 menunjukkan, jumlah penduduk miskin DIY sebanyak 463.630 jiwa dari total penduduk sekitar 4 juta jiwa.
Pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta adalah 494.930 jiwa. Namun, dengan total populasi DKI Jakarta yang mencapai lebih dari 10 juta orang, persentase penduduk miskin Ibu Kota jauh lebih kecil.
Baca juga: Penduduk Miskin di Indonesia Bertambah
Begitu pula dengan Jawa Timur. Jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut menjadi yang paling besar secara nasional, yakni 4,23 juta jiwa. Setara dengan jumlah penduduk DIY. Namun, dengan total populasi sekitar 41 juta jiwa, maka persentase penduduk miskin kurang dari 11 persen.
Sebenarnya, fenomena tersebut bukanlah hal yang baru saja terjadi. Merujuk catatan BPS, tingkat kemiskinan DIY selalu menjadi yang paling tinggi di antara provinsi lainnya di Pulau Jawa, bahkan sejak sebelum pandemi. Polanya pun selalu sama.
Tahun 2019, misalnya, persentase penduduk miskin DIY sebesar 11,44 persen. Urutan selanjutnya disusul oleh Jawa Tengah dengan 10,58 persen, Jawa Timur sebesar 10,20 persen, dan Jawa Barat 6,82 persen. Sementara itu, Banten dan DKI Jakarta selalu menempati posisi dua terakhir dengan tingkat kemiskinan masing-masing 4,94 persen dan 3,42 persen. Fenomena yang sama pun terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Garis kemiskinan
Kendati demikian, disebutnya DIY sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa mengundang tanya di kalangan publik. Sebab, dalam beberapa indikator, Provinsi DIY menorehkan sejumlah prestasi. Salah satunya tergambar dari nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan IPM sebesar 80,64 pada tahun 2022, DIY menduduki posisi kedua tertinggi setelah DKI Jakarta.
Bahkan, DIY menempati posisi pertama provinsi dengan angka harapan hidup (AHH) paling tinggi, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal pendidikan, DIY juga masuk jajaran sepuluh besar provinsi dengan rata-rata lama sekolah tertinggi, yakni 10,07 tahun.
Namun, dalam mengukur kemiskinan BPS tidak memperhitungkan sejumlah indikator tersebut. Untuk menghitung kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep tersebut mengacu pada ketentuan Bank Dunia yang juga digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan di dunia.
Melalui pendekatan itu, kemiskinan mengarah pada individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dari sisi ekonomi. Kebutuhan dasar yang dimaksud adalah kebutuhan dasar makanan dan kebutuhan dasar non-makanan seperti pakaian, rumah tinggal, hingga keperluan lainnya. Mereka yang total pengeluarannya untuk makanan dan non-makanan di bawah garis kemiskinan akan masuk dalam kategori penduduk miskin.
Baca juga: Tantangan Mengentaskan Penduduk Miskin di Tengah Krisis
Garis kemiskinan di provinsi DIY pada September 2022 sebesar Rp 551.342 per kapita per bulan. Artinya, terdapat 494.930 penduduk DIY yang total pengeluarannya kurang dari garis kemiskinan tersebut. Dengan kata lain, meskipun mereka bersekolah hingga lulus SMA, tetapi jika total pengeluarannya dalam satu bulan hanya Rp 500.000, maka akan masuk dalam kategori penduduk miskin.
Dibandingkan dengan periode sebelumnya (Maret 2022), garis kemiskinan DIY pada September 2022 naik Rp 29.669 sejalan dengan adanya inflasi akibat gejolak ekonomi global. Kenaikan garis kemiskinan juga akan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin jika tingkat pengeluarannya tetap.
Pola konsumsi
Bank Indonesia menyebutkan, salah satu faktor yang membuat tingkat kemiskinan DIY cukup tinggi adalah pola konsumsi masyarakat DIY yang cenderung ”sederhana” . Sederhana yang dimaksud adalah pilihan-pilihan bahan makanan yang dikonsumsi. Hal tersebut terkonfirmasi dari hasil survei BPS terkait pengeluaran konsumsi penduduk.
Merujuk hasil survei BPS pada Maret 2022, DIY menjadi provinsi dengan konsumsi tempe per kapita tertinggi dengan 0,85 kg per bulan setiap orang. Sementara, dalam mengonsumsi protein hewani khususnya yang hidup di air, DIY menjadi yang terendah dengan 0,71 kilogram per orang per bulan. Fenomena tersebut akan sangat berdampak pada besaran total pengeluaran per kapita karena nilai ekonomi tempe jauh lebih rendah atau murah daripada protein hewani.
Preferensi pola konsumsi tersebut boleh jadi terjadi karena dua faktor. Pertama, berhemat karena kebiasaan menabung yang tinggi. Bank Indonesia juga menyebutkan, penduduk DIY cenderung gemar menabung daripada konsumsi. Hal tersebut tergambar dari simpanan masyarakat di bank yang selalu lebih tinggi dari tingkat kredit. Hal tersebut pun tidak salah, hanya tingkat konsumsi masyarakat akan menjadi relatif lebih rendah.
Kedua, berhemat karena menyesuaikan dengan anggaran yang dimiliki. Bagaimanapun, untuk melakukan konsumsi dibutuhkan dana. Di tengah fenomena gemar menabung, DIY juga tercatat sebagai provinsi dengan tingkat upah minimum terendah kedua setelah Jawa Tengah. Per tahun ini, upah minimum DIY sebesar Rp 1,98 juta per bulan.
Besaran tersebut idealnya digunakan untuk satu orang, yakni pekerja yang bersangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa upah yang diterima sering kali digunakan untuk seluruh anggota keluarga. Dengan asumsi jumlah anggota keluarga ideal, yakni ayah, ibu, dan dua anak, maka setidaknya pendapatan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan empat orang.
Jika digunakan sepenuhnya untuk konsumsi, maka pengeluaran per anggota keluarga sekitar Rp 495.000 per bulan. Namun, jika sebagian disisihkan untuk menabung, total pengeluaran untuk konsumsi per anggota keluarga akan lebih kecil. Dengan garis kemiskinan sekitar Rp 550.000 per orang dalam sebulan, maka mereka pun masuk dalam kategori penduduk miskin. Jika porsi tabungan semakin besar sementara tingkat pendapatan tetap rendah, maka semakin banyak penduduk yang masuk dalam kategori miskin.
Sinyal perbaikan
Meski demikian, upaya Pemerintah Provinsi DIY dalam mengentaskan rakyat dari kemiskinan patut mendapatkan apresiasi. Jika ditarik garis waktu yang lebih panjang, tampak adanya sinyal perbaikan penanganan kemiskinan di wilayah DIY itu.
Kendati masih menjadi yang tertinggi di Pulau Jawa, tingkat kemiskinan DIY menunjukkan tren yang menurun. Jika dibandingkan dengan tahun 2017, telah terjadi penurunan tingkat kemiskinan sebesar 0,87 persen. Semenata, bila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan satu dekade silam, kemiskinan di DIY telah turun 4,39 persen. Saat itu, persentase penduduk miskin DIY menyentuh angka 15,88 persen.
Indikator berikutnya yang menunjukkan adanya perbaikan adalah penurunan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan DIY pada September 2022 sebesar 1,526 turun dari 2,014 pada Maret 2022. Nilai tersebut pun relatif lebih rendah dari tingkat nasional yang mencapai 1,562 pada September 2022.
Baca juga: Tantangan Berat Pengentasan Kemiskinan Dunia
Indeks tersebut menggambarkan rata-rata jarak pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Dengan nilai indeks yang terus turun, maka menunjukkan adanya perbaikan.
Begitu pula dengan indeks keparahan kemiskinan DIY yang kian turun dari 0,508 pada Maret 2022 menjadi 0,282 pada September 2022. Dibandingkan dengan tingkat nasional yang sebesar 0,379, indeks keparahan kemiskinan DIY pun lebih rendah. Artinya, selain mengalami perbaikan pada skala lokal, tingkat keparahan kemiskinan DIY pun sudah lebih baik dari kondisi nasional.
Perbaikan tersebut terjadi sejalan dengan kian banyaknya program pengentasan rakyat dari kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah daerah setempat. Terdapat 42 program dan 48 kegiatan yang dicanangkan Pemerintah Provinsi DIY selama tahun 2022, jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Begitu pula dengan anggaran yang dialokasikan. Tahun lalu, Pemprov DIY menggelontorkan dana Rp 283,4 triliun untuk penanganan kemiskinan dan menjadi yang terbesar setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Melihat fakta tersebut, upaya pengentasan rakyat dari kemiskinan telah membuahkan hasil yang baik. Kendati demikian, tak dapat dimungkiri bahwa secara statistik tingkat kemiskinan DIY masih tergolong tinggi dan paling tinggi di pulau di Jawa. Guna menurunkan angkanya secara statistik, pemerintah setempat perlu untuk mengupayakan agar tingkat pengeluaran masyarakat bisa lebih tinggi dari sebelumnya. Pemberian bantuan sosial kepada individu dan keluarga miskin yang selama ini dilakukan pun harus terus dilakukan. (LITBANG KOMPAS)