Analisis Litbang ”Kompas”: Dukungan Anggaran untuk Ketahanan Pangan
Di tengah ancaman krisis pangan, pemerintah bisa meningkatkan produksi pangan lokal. Dukungan pemerintah mewujudkan ketahanan pangan harus ditunjukkan melalui alokasi anggaran yang memadai.
Oleh
Gianie
·3 menit baca
Upaya mewujudkan ketahanan pangan dalam negeri menghadapi ujian bertubi-tubi. Faktor alam, pandemi, dan kondisi geopolitik dunia yang tidak stabil menjadi tantangan yang saling berkelindan.
Bukan hanya petani atau nelayan yang menerima dampaknya, daya beli masyarakat secara umum untuk produk pangan pun terancam. Dukungan pemerintah melalui alokasi anggaran akan menentukan sejauh mana fondasi ketahanan pangan menjadi kokoh.
Lapangan usaha pertanian merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, struktur perekonomian Indonesia masih ditopang oleh lapangan usaha pertanian.
Lapangan usaha pertanian, termasuk kehutanan dan perikanan, pada triwulan tiga tahun 2022 menyumbang sebesar 12,91 persen terhadap total produk domestik bruto.
Dukungan pemerintah melalui alokasi anggaran akan menentukan sejauh mana pondasi ketahanan pangan menjadi kokoh.
Kontribusi ini menurun dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 13,28 persen dari PDB. Di tahun 2021, kontribusi lapangan usaha pertanian menjadi penyumbang terbesar kedua terhadap PDB setelah industri pengolahan (19,25 persen).
Sementara per September 2022, kontribusi lapangan usaha pertanian menjadi terbesar ketiga setelah industri pengolahan (17,88 persen) serta pertambangan dan penggalian (13,47 persen).
Dari sisi ketenagakerjaan, lapangan usaha pertanian ini pun menyerap tenaga kerja yang paling banyak, yakni 38,7 juta orang atau 28,6 persen dari total penduduk bekerja (Sakernas Agustus 2022). Jumlah ini mengalahkan tenaga kerja yang berada di lapangan usaha industri pengolahan yang jumlahnya 19,1 juta orang (14,1 persen).
Dengan demikian, sektor pertanian menjadi sektor vital dalam perekonomian Indonesia. Namun, upaya pengembangan sektor pertanian untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan menghadapi ujian yang berlipat ganda.
Penyediaan pangan untuk masyarakat dihadapkan pada tantangan faktor alam, seperti kekeringan, banjir, dan serangan organisme pengganggu tanaman. Hal ini menyebabkan produktivitas tanaman menjadi turun. Selain itu, ada pula persoalan penyakit mulut dan kuku pada hewan ternak yang memengaruhi ketersediaan pangan hewani.
Tantangan juga muncul akibat pandemi Covid-19 yang mendera, yang menyebabkan pembatasan mobilitas dan melambatnya gerak perekonomian. Baik sisi produksi maupun distribusi merasakan dampaknya.
Setelah pandemi mereda, muncul kondisi geopolitik global yang menyebabkan produksi dan rantai pasok pangan terganggu. Hal ini menyebabkan tingginya harga komoditas pangan. Dunia dihadapkan pada risiko krisis pangan.
Sisi konsumsi pun tidak lebih baik. Dengan harga pangan yang tinggi, kondisi sosial masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi semakin buruk karena menurunnya daya beli masyarakat.
Akibatnya, permintaan produk pangan jadi menurun, terutama oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang cenderung mengurangi jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi.
Untuk bangkit dari persoalan yang berkelindan tersebut, dukungan pemerintah sangat diharapkan. Setiap tahun, pemerintah selalu mengalokasikan anggaran untuk penyediaan pangan yang cukup dan aman bagi seluruh penduduk. Ketahanan pangan menjadi salah satu sektor yang menjadi prioritas pembangunan.
Dalam nota keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 104,2 triliun untuk program-program ketahanan pangan. Anggaran ini naik 10,7 persen dibandingkan outlook APBN 2022.
Kenaikan anggaran ketahanan yang lebih besar pernah terjadi tahun 2021, yakni sebesar 15,4 persen. Namun, saat itu anggarannya masih di bawah Rp 100 triliun. Jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi (tahun 2019), anggaran untuk tahun ini naik 29 persen.
Dukungan anggaran dilakukan antara lain untuk memberikan bantuan sarana dan prasarana produksi pertanian dan perikanan, bantuan benih dan bibit unggul, pengairan/irigasi, pendampingan dan penyuluhan, serta upaya penanggulangan penyakit dan hama.
Semua itu bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan. Beberapa komoditas yang menjadi target output ketahanan pangan antara lain padi, jagung, kedelai, dan bawang merah.
Selain itu, ada pula anggaran untuk pengembangan smart farming dan digitalisasi pertanian (e-agriculture), penguatan food estate, dan pengembangan kawasan pertanian secara terpadu.
Anggaran ketahanan pangan tersebut tersebar pada beberapa lembaga kementerian sebagai pelaksana program. Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Bappenas menjadi lembaga yang fokus pada tugas pokok di sektor pangan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat fokus pada penyediaan infrastruktur pertanian, seperti irigasi dan waduk/bendungan. Juga ada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang juga ikut mendukung ketahanan pangan.
Di luar itu, juga ada alokasi anggaran untuk non-kementerian/lembaga terkait penyaluran subsidi pupuk, subsidi bunga kredit resi gudang, dan antisipasi stok beras pemerintah, serta untuk stabilisasi harga pangan.
Meski anggaran ketahanan pangan cenderung meningkat, terutama di masa pandemi Covid-19, besarannya masih kecil dibandingkan dengan alokasi anggaran bagi prioritas pembangunan lainnya.
Alokasi anggaran untuk pendidikan masih yang terbesar dalam APBN. Tahun ini anggaran pendidikan sebesar Rp 612,2 triliun, naik 6,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Jika diperbandingkan, anggaran ketahanan pangan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak kurang dari seperlima anggaran pendidikan.
Setelah pendidikan, prioritas anggaran terbesar adalah untuk perlindungan sosial yang besarnya Rp 476 triliun. Disusul anggaran untuk infrastruktur sebesar Rp 391,7 triliun.
Di tengah tantangan pemenuhan kebutuhan pangan yang terancam oleh kondisi alam dan ketidakpastian ekonomi global, dukungan anggaran untuk ketahanan pangan rekatif masih kecil. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam mengatasi potensi krisis pangan.
Padahal, dengan kondisi rantai pasok global yang masih tidak menentu, pemerintah memiliki kesempatan untuk meningkatkan produksi pangan dengan mendukung investasi lokal. Pemenuhan kebutuhan domestik bisa diupayakan lewat kemandirian produsen lokal. Dengan kata lain, saat ini adalah saat yang tepat untuk mengurangi ketergantungan pada impor. (LITBANG KOMPAS)