Setiap negara perlu mengambil langkah terkoordinasi demi memperkuat ketahanan pangan terhadap risiko, termasuk konflik, peristiwa cuaca ekstrem, penyakit, dan guncangan ekonomi.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Pejalan kaki memberikan uang kepada badut Mickey Mouse yang berjalan gontai di Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Rabu (8/7/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah lembaga dunia khawatir krisis pangan akut bakal terjadi sebagai buntut dari lonjakan inflasi. Kerawanan pangan akut bisa terjadi ketika tingkat keparahannya mulai mengancam kehidupan dan mata pencarian.
Krisis pangan yang terjadi saat ini merupakan kombinasi problem pada pilar ketahanan pangan, yakni ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan. Masyarakat berpenghasilan menengah bawah bahkan mulai kesulitan mengakses pangan murah lantaran pendapatannya tergerus kenaikan harga pangan dan energi.
Oleh karena itu, lima lembaga dunia sampai dua kali mengeluarkan pernyataan bersama meminta setiap negara mengambil tindakan mendesak dan terkoordinasi mengatasi krisis pangan akut pada 15 Juli 2022 dan 19 September 2022. Kelima lembaga itu adalah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), Grup Bank Dunia (WBG), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), serta Program Pangan Dunia (WFP).
Dalam pernyataan bersama pertama, mereka mendorong perlunya empat tindakan jangka pendek dan panjang untuk mengatasi persoalan itu. Tindakan yang dipandang perlu itu adalah pemberian bantuan sosial kepada yang rentan, fasilitasi perdagangan dan pasokan pangan dan pupuk, peningkatan produksi pangan, serta investasi untuk mengembangkan pertanian tahan perubahan iklim.
Pernyataan bersama kedua tak jauh beda dengan pernyataan bersama pertama. Kelima lembaga dunia itu meminta setiap negara mendukung produksi dan perdagangan pangan, benih, dan pupuk yang efisien serta meningkatkan transparansi melalui sistem stok dan pasar. Mereka juga meminta setiap negara mempercepat inovasi dan perencanaan bersama serta berinvestasi dalam transformasi sistem pangan.
Krisis pangan yang terjadi saat ini merupakan kombinasi pilar ketahanan pangan, yakni ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan. Masyarakat berpenghasilan menengah bawah bahkan mulai kesulitan mengakses pangan murah lantaran pendapatannya tergerus kenaikan harga pangan dan energi.
HERYUNANTO
Krisis Pangan
Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu, Rabu (21/9/2022), mengatakan, langkah memperkuat ketahanan sistem pangan terhadap risiko, termasuk konflik, peristiwa cuaca ekstrem, guncangan ekonomi, dan penyakit adalah kunci respons jangka panjang. Mengatasi kemacetan infrastruktur dan hambatan pasokan input, seperti pupuk dan benih, juga sangat penting untuk sistem pasokan pangan yang efisien.
”Para petani juga membutuhkan dukungan yang efektif dan berkelanjutan untuk memastikan mereka menjadi bagian dari solusi dan melokalisasi rantai pasokan,” ujarnya.
Sementara Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala menyerukan pentingnya mempertahankan perdagangan pangan, pertanian, dan energi secara terbuka. Negara-negara yang membatasi ekspor pangan dan pupuk perlu membuka restriksi tersebut.
”Krisis 2008 mengajarkan kita bahwa memberlakukan pembatasan perdagangan bakal menyebabkan kenaikan harga pangan. Menghapus pembatasan ekspor serta mengadopsi proses pemeriksaan dan perizinan yang lebih fleksibel akan membantu meminimalkan gangguan pasokan dan menurunkan harga,” katanya.
Krisis 2008 mengajarkan kita bahwa memberlakukan pembatasan perdagangan bakal menyebabkan kenaikan harga pangan.
Kelima lembaga dunia tersebut juga melihat sejumlah kemajuan besar dalam upaya mengatasi krisis pangan. Pertama, sepanjang April-September 2022, negara yang memberikan perlindungan sosial bertambah dari 37 negara menjadi 148 negara.
Kedua, koordinasi bersama lintas lembaga dan sejumlah negara melalui Black Sea Grain Initiative telah menghasilkan ekspor 3 juta ton biji-bijian, termasuk gandum, dari Ukraina. Hal itu perlu dilanjutkan dengan membuka pembatasan ekspor pupuk.
Ketiga, Bank Dunia sedang melaksanakan program mengatasi krisis pangan senilai 30 miliar dollar AS. IMF mengusulkan adanya pinjaman darurat. Adapun FAO meluncurkan program fasilitas pembiayaan impor pangan (food import financing facility/FIFF) dan peta detail nutrisi tanah di tingkat negara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk.
Di tengah ketidakpastian global, setiap negara diharapkan terus mempertahankan kinerja ekspor. Ekspor merupakan salah satu komponen pertumbuhan ekonomi yang dapat menopang cadangan devisa dan fiskal negara serta pelaku hulu-hilir industri.
Perlambatan ekonomi Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa bakal menjadi tantangan peningkatan ekspor saat normalisasi harga komoditas tengah terjadi. Bagi Indonesia, ketiga negara tersebut merupakan pasar utama ekspor.
Tangkapan layar Analis Perdagangan Badan Kebijakan Perdagangan (BKP) Kementerian Perdagangan Nur Ulfa Mutiara Sari yang tengah menjelaskan tentang potensi perdagangan Indonesia dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam acara Diseminasi Analisis Kebijakan Perdagangan yang digelar BKP secara hibrida, Kamis (22/9/2022).
Untuk itu, Indonesia berupaya mencari sejumlah peluang menjaga kinerja ekspor tetap positif. Salah satunya adalah melalui peningkatan ekspor ke negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Hal itu mengemuka dalam acara Diseminasi Analisisis Kebijakan Perdagangan yang digelar Badan Kebijakan Perdagangan (BKP) Kementerian Perdagangan secara hibrida, Kamis (22/9/2022).
Analis Perdagangan BKP Kementerian Perdagangan Nur Ulfa Mutiara Sari menuturkan, selama Januari 2017 hingga Januari-Juli 2022, neraca perdagangan Indonesia dengan OKI rata-rata surplus. Surplus terbesar terjadi pada 2021, yakni 7,8 miliar dollar AS. Hanya pada 2018 Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan OKI sebesar 1,8 miliar dollar AS.
Pada tahun itu, Indonesia mengekspor, antara lain, minyak kelapa sawit mentah dan sejumlah produk turunannya senilai 8,9 miliar dollar AS, batubara 2,4 miliar dollar AS, kendaraan bermotor 732 juta dollar AS, karet 170 juta dollar AS, dan tembaga 669 juta dollar AS. Adapun impor Indonesia dari OKI pada 2021 antara lain berupa biji kakao senilai 310 juta dollar AS, gas cair 714 juta dollar AS, dan minyak mentah 4,5 miliar dollar AS.
Indonesia, lanjut Ulfa, masih berpeluang meningkatkan ekspor ke negara-negara anggota OKI. Salah satunya melalui perjanjian tarif preferensial perdagangan dengan OKI (Trade Preferential System among the Member States of the OIC/TPS-OIC).
TPS-OIC terdiri atas tiga dokumen. Pertama, Kerangka Kerja Perjanjian yang sudah diratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2021 pada 20 Mei 2011. Kedua, Protokol Skema Tarif Prefensial (The Protocol on Preferential Tariff Scheme/Pretas) yang sudah ditandatangani pada 6 September 2011. Ketiga, Ketentuan Asal Barang (The Rules of Origin/ROO).
”Namun, hingga sekarang, Indonesia belum meratifikasi Pretas,” ujarnya.