Berapa Usia Idaman Menikah?
Survei menangkap, generasi muda lebih memilih menikah di usia 25 tahun atau 27 tahun. Kedua angka ini turut muncul sebagai usia umumnya publik menikah untuk pertama kali. Benarkah masa "quarter life" menjadi momen ?

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menemukan, empat dari 10 responden yang berusia 17-35 tahun masih berstatus lajang. Status lajang terbentang di tiap usia. Jika dikelompokkan, sebanyak 62,6 persen di antaranya berusia 17-25 tahun dan 37,4 persen berusia 26-35 tahun.
Dari kumpulan responden yang berstatus lajang, mayoritas dari mereka (83 persen) menyebut memiliki keinginan untuk menikah. Temuan ini pun sedikit banyak menganulir anggapan bahwa generasi muda masa kini enggan membangun rumah tangga.
Setidaknya hal ini diperkuat dengan apa yang pernah Badan Pusat Statistik (BPS) sebutkan, pada tahun 2020-an akan terjadi perubahan perilaku masyarakat yang condong lebih private, yakni muncul kecenderungan individu untuk tidak mau diganggu karena kesibukan dan mobilitasnya yang tinggi. Hal ini berujung pada keputusan untuk menunda menikah.
Jajak pendapat justru menunjukkan arah kecenderungan orang lebih mengatur soal kapan usia yang pas untuk memutuskan menikah. Tentu, hal ini sedikit banyak menjawab fenomena menunda menikah yang diproyeksikan oleh BPS di atas.
Mayoritas responden yang mengaku masih lajang, memiliki keinginan untuk menikah
Dari proporsi responden lajang, mayoritas ingin menikah di usia 25 tahun dan 27 tahun. Jika diakumulasikan, hampir separuh responden (48,4 persen) bercita-cita menikah pada usia 25-29 tahun. Adapun 24,4 persen responden lainnya menjatuhkan rencana pernikahan ketika menginjak usia 30 tahun atau lebih.
Usia ideal untuk menikah antar kelompok lajang maupun yang sudah berumah tangga tidak jauh berbeda. Responden yang menyebut telah memiliki pasangan menikah mengaku melaksanakan pernikahan ideal pada rentang usia 15-32 tahun. Sementara itu, ada komposisi yang besar terpusat pada usia 25 tahun dan 27 tahun.
Dari demografi tersebut, usia 25 tahun dan usia 27 tahun patut disebut sebagai usia yang paling diminati kalangan muda untuk menikah. Temuan ini menambah narasi pada kesakralan angka 25 dan 27 yang sudah sering kali dijadikan acuan dalam menata babak-babak perjalanan hidup.

Bertolak dari regulasi hukum yang ditetapkan pemerintah Indonesia, setidaknya ada 21 persen responden yang menikah di bawah ketetapan undang-undang. Kelompok ini mengaku menikah saat masih berusia di bawah 19 tahun. Jika merujuk pada UU No 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak, hasil ini menunjukkan bahwa masih ada praktik pernikahan anak di Indonesia.
Adapun aturan tentang batas usia menikah tertuang dalam UU No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 7 dalam undang-undang tersebut menyebutkan, perkawinan diizinkan apabila seseorang sudah mencapai usia 19 tahun. Aturan ini tak lagi membedakan usia boleh nikah antara laki-laki dan perempuan.
Dengan pertimbangan yang lebih kompleks, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merekomendasikan usia minimal menikah, yakni 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Standar ini bertolak dari pertimbangan seperti kematangan psikologis, mental, dan kesehatan. Jika menyandingkan hasil jajak pendapat, maka setidaknya ada 43,5 persen responden yang menikah di bawah usia 25 tahun.
Baca juga : Batas Usia Menikah Naik
Global
Demografi usia masyarakat untuk berkomitmen menjalin hubungan dalam payung pernikahan terus bergeser. Secara global, usia menikah laki-laki maupun perempuan menunjukkan kecenderungan semakin matang dari tahun ke tahun.
Di Jepang, misalnya, rerata usia menikah di tahun 1955 pada perempuan adalah 23,8 tahun dan laki–laki 26,6 tahun. Usia tersebut terus menunjukkan kencenderungan naik tiap dekade. Pada 2020, tercatat perempuan umumnya menikah di usia 29,4 tahun dan laki-laki pada umur 31 tahun. Di Jepang sendiri, aturan menikah ditentukan minimal usia 18 tahun.
Gejala yang sama juga nampak di Amerika Serikat. Rerata usia menikah di tahun 1998 pada laki-laki adalah 26,7 tahun dan perempuan 25 tahun. Pada 2020, kecenderungannya bergeser menjadi 30,6 tahun pada laki-laki dan 28,6 tahun pada perempuan.
Selain tren untuk menikah di usia yang semakin matang, data biro sensus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut memunculkan adanya gejala sosial dari perbedaan usia antar pengantin laki-laki dan perempuan.
Analisis Statista merujuk data PBB dari tahun 2015-2018 menyebutkan, rata-rata usia pernikahan di negara-negara maju cenderung lebih tinggi dibandingkan di negara-negara berkembang.

Pasangan pengantin berfoto seusai resmi menikah saat sidang isbat nikah massal di Empire Palace, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (30/8). Sebanyak 120 pasangan mengikuti kegiataan yang digelar oleh Pemkot Surabaya dengan Pengadilan Agama. Kegiatan didukung penuh oleh Gabungan Penyelenggara Pernikahan Surabaya dan melibatkan seratus penata rias. Sebagian besar peserta nikah massal merupakan pasangan yang telah menikah secara siri yang ingin pernikahannya tercatat dalam administrasi negara.
Di negara yang lebih maju, perbedaan usia pengantin perempuan dan laki-laki juga cenderung lebih kecil. Berbeda dengan negara-negara berkembang di Afrika dan Asia. Rata-rata orang menikah lebih muda dengan perbedaan usia yang sedikit lebih lebar.
Perbedaan usia yang lebih kecil dalam pernikahan berkorelasi dengan status sosial dan kelas ekonomi yang lebih tinggi. Di beberapa negara berkembang, kesenjangan usia yang besar menunjukkan realitas perjodohan terkait dengan kesejahteraan ekonomi keluarga melalui pembayaran mahar.
Keterkaitan menikah muda dengan status sosial ekonomi juga nampak di Indonesia. Sebanyak 91,8 persen responden yang menikah pada usia 15-18 tahun berstatus ekonomi menengah bawah dan 8,2 persen berasal dari kalangan bawah.
Tidak ada responden yang menikah muda ini berasal dari kalangan atas ataupun menengah atas. Kecenderungan yang berbeda nampak pada responden yang menikah di usia 30-35 tahun. Tidak ada responden yang berasal dari kalangan bawah.
Baca juga : Melindungi Anak Perempuan dari Pernikahan Dini
Quarter Life
Usia 25 dan 27 tahun yang lekat sebagai momen untuk memulai babak baru tak lepas dari masa quarter life. Dalam kajian psikologis, masa ini dimulai ketika individu memasuki usia 20-an. Pada usia ini, seseorang disebut memasuki “dunia yang sesungguhnya” dengan tanggung jawab pendidikan, pekerjaan, maupun sosial yang lebih besar.
Tak hanya itu, usia 25 tahun juga disebut sebagai momen manusia memasuki masa kedewasaan. Merujuk “Maturation of The Adolescent Brain” pada National Library of Medicine, perkembangan dan pematangan korteks prefrontal terjadi terutama selama masa remaja dan tercapai sepenuhnya pada usia 25 tahun.

Korteks prefrontal merupakan bagian otak yang membantu mencapai fungsi otak eksekutif sangat penting untuk kinerja perilaku yang kompleks. Di periode ini pula, lekat dikenal dengan fenomena quarter life crisis atau krisis seperempat abad di mana kerap dialami oleh kaum muda pada masa transisi dari remaja menuju dewasa.
Tim peneliti UGM yang dipimpin Dr.Septiana Dwiputri Maharani menemukan kekhawatiran yang dialami oleh mahasiswa adalah berupa kekhawatiran mengenai kelanjutan karier, pendidikan, percintaan, dan finansial. Munculnya kekhawatiran tersebut disebabkan karena adanya tuntutan diri maupun lingkungan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Tiada Pembenaran bagi Perkawinan Anak