Melindungi Anak Perempuan dari Pernikahan Dini
Pernikahan dini yang menimpa anak-anak perempuan menjadi problem sosial yang tak bisa dilewatkan. Pernikahan dini membuat anak-anak perempuan Indonesia mengalami kemunduran.
”Pernikahan dini, bukan cintanya yang terlarang, hanya waktu saja belum tepat, merasakan semua”. Petikan lagu berjudul ”Pernikahan Dini” yang dinyanyikan Agnes Monica ini menjadi soundtrack sinetron berjudul Pernikahan Dini yang tayang tahun 2001. Kini, fenomena pernikahan dini menjadi tantangan bagi isu perempuan, termasuk anak-anak perempuan.
Anak-anak tidak hanya harus berhadapan dengan berbagai persoalan terkait sekolah daring di masa pandemi Covid-19. Mereka juga harus berhadapan dengan pernikahan dini.
Kasus pernikahan dini terlihat lebih banyak menimpa anak perempuan dan membuat mereka harus mengalami berbagai dampak buruk terhadap kesehatan, pendidikan, maupun ekonomi.
Persoalan ekonomi keluarga, minim edukasi terkait pernikahan dini, norma agama, sosial, dan budaya setempat, menghindari kehamilan di luar nikah, serta penutupan sekolah menjadi beberapa penyebab kian maraknya pernikahan dini saat pandemi. Perlindungan negara, dukungan keluarga dan masyarakat, serta optimalisasi kapasitas anak perempuan bisa mencegah kian maraknya pernikahan dini.
Pada saat perempuan di seluruh dunia terus menyuarakan kesetaraan seperti yang disuarakan dalam Hari Perempuan Sedunia yang dikenal juga dengan International Women’s Day (IWD) 2021 dengan tema #ChooseToChallenge, di saat bersamaan kasus pernikahan dini pada anak perempuan secara global justru meningkat pada masa pandemi Covid-19.
Sebelum Covid-19, menurut The Global Girlhood Report 2020 dari Save The Children, ada sekitar 12 juta anak perempuan menikah setiap tahun di dunia. Setelah pandemi Covid-19, diperkirakan akan ada tambahan 1,8 juta hingga 2,5 juta lebih anak perempuan berisiko mengalami pernikahan dini dalam lima tahun ke depan akibat dampak ekonomi yang melanda pada masa pandemi tahun 2020. Jumlah terbesar pernikahan anak diperkirakan terdapat di Asia Selatan, diikuti oleh Afrika Barat dan Tengah serta Amerika Latin dan Karibia.
Sementara Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34.000 permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020 di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 97 persen dikabulkan dan 60 persen yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. Jumlah permohonan dispensasi kawin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 2019 yang mencapai 23.700.
Permohonan dispensasi dilakukan lantaran salah satu atau kedua calon mempelai belum masuk usia kawin berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat 3,22 persen perempuan menikah di bawah usia 15 tahun pada 2020, sedangkan hanya 0,34 persen laki-laki yang menikah di usia tersebut. Sementara 27,35 persen perempuan menikah di usia 16-18 tahun, sedangkan hanya 6,40 persen laki-laki yang menikah di kategori usia tersebut.
Padahal, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sebelum pandemi Covid-19 melanda, praktik perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan sebanyak 3,5 poin persen. Jika tidak segera ditangani secara serius, target penurunan pernikahan dini sebesar 8,74 persen pada tahun 2024 dan menjadi 6,94 persen pada tahun 2030 tidak akan dapat dicapai.
Kemunduran
Pernikahan dini sesungguhnya melanggar hak asasi anak. Parahnya lagi, maraknya pernikahan dini membuat kondisi anak perempuan di Indonesia mengalami kemunduran, baik dari sisi kesehatan fisik dan mental maupun peluang dalam ekonomi serta akses terhadap pendidikan lebih tinggi.
Laporan yang dikeluarkan pada Februari 2020 oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), BPS, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut bahwa berdasarkan populasi penduduk, Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia.
Padahal, pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun.
Beberapa faktor yang sering kali menjadi alasan pernikahan dini terjadi adalah jalan keluar dari persoalan ekonomi, pengaruh norma agama dan budaya setempat, serta minimnya edukasi terkait pernikahan dini.
Pada masa pandemi, beberapa kasus bahkan terjadi karena alasan bosan dengan sekolah daring dan kasus hamil di luar nikah.
Padahal, ketika anak, terlebih anak perempuan, memiliki pendidikan yang tidak layak, akan semakin minim pekerjaan yang bisa didapatkan. Mereka pun harus menerima kondisi hanya bisa bekerja di sektor informal. Akhirnya, rantai kemiskinan pun berlanjut.
Kesehatan sistem reproduksi anak perempuan juga menjadi terganggu akibat menikah di usia dini. Per Maret 2020, BPS mencatat 4,77 persen perempuan berusia 16-19 tahun pernah melahirkan.
Anak perempuan berisiko lima kali lebih besar mengalami kematian saat masa kehamilan akibat belum sempurnanya sistem reproduksi mereka yang menikah di usia dini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, kehamilan dan persalinan perempuan berusia 10-19 tahun juga berisiko lebih tinggi mengalami eklampsia, puerperal endometritis, dan systemic infections daripada yang berusia 20-24 tahun.
Minimnya akses dan pengetahuan anak perempuan yang menikah secara dini terhadap layanan kesehatan dan perawatan bayi setelah melahirkan juga berdampak terhadap pola pengasuhan generasi selanjutnya.
Akses terhadap pendidikan yang lebih tinggi juga menjadi terhambat akibat anak perempuan sudah harus berhadapan dengan kenyataan perannya yang baru, yakni sebagai istri dan ibu. Ketidaksiapan anak perempuan yang menikah dini terhadap berbagai kenyataan baru yang harus dihadapi akan berdampak buruk terhadap kondisi mental serta fisiknya.
Gerak cepat
Pembiaran terhadap peningkatan kasus pernikahan dini berarti abai terhadap generasi mendatang. Koordinasi dan keterlibatan berbagai pihak untuk bergerak cepat kini menjadi kunci supaya tidak bertambah korban anak perempuan yang harus mengalami dampak buruk akibat pernikahan dini.
Adanya regulasi yang mengatur usia minimum menikah untuk perempuan saja menjadikan pernikahan usia dini sebagai prioritas dalam RPJMN serta kampanye dan program seperti Kota Layak Anak, Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), dan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual belum cukup.
Pemerintah harus memastikan layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas terjangkau. Upaya ini penting untuk mencegah serta menangani pernikahan dini bagi semua anak, terutama bagi kelompok anak rentan.
Di sisi lain, upaya untuk mengatasi kemiskinan yang menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini juga harus dilakukan dengan penguatan sistem kesejahteraan anak dalam program bantuan dan perlindungan sosial.
Perubahan pola pikir mengenai kesetaraan jender, persamaan akses anak terhadap pendidikan, serta perlindungan terhadap hak kesehatan seksual dan reproduksi, terutama pada anak perempuan, harus terus diupayakan dengan melibatkan berbagai pihak, seperti tokoh agama, petugas layanan kesehatan, tokoh masyarakat, serta pendidik.
Selain itu, pendampingan terus-menerus untuk anak perempuan yang menikah dalam pengasuhan anak tidak kalah penting demi kesehatan mental mereka.
Selain itu, perlu berbagai upaya membuka jalan untuk anak perempuan yang telah menikah mengembangkan diri supaya dapat berkontribusi secara ekonomi. Terlebih lagi pada anak perempuan yang kemudian menjadi korban kasus kekerasan dalam rumah tangga. (LITBANG KOMPAS)