Berbagai dampak buruk perkawinan anak bisa terjadi. Selain menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan, hal itu mengancam kesehatan dan masa depan anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkawinan usia dini dapat berdampak buruk bagi masa depan anak. Karena itu, tidak ada alasan apa pun yang melegalkan adanya perkawinan anak. Sinergi semua pihak dibutuhkan untuk mengatasi persoalan tersebut di masyarakat.
Direktur Bina Kantor Urusan Agama (KUA) dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama Muhammad Adib Machrus menyampaikan, perkawinan anak harus dicegah secara optimal. Perkawinan anak dapat menyebabkan hilangnya hak yang seharusnya diperoleh anak.
Hal itu berarti perlindungan pada anak gagal diberikan. Dalam undang-undang pun sudah secara tegas diatur bahwa usia perkawinan, baik laki-laki maupun perempuan dibatasi minimal 19 tahun.
”Meski dalam praktiknya masih ada perkawinan di bawah usia tersebut, kita harus bekerja sama dan bersinergi untuk bisa mencegah perkawinan anak yang dapat menghambat tercapainya bonus demografi Indonesia,” ujarnya di Jakarta, Selasa (21/12/2021).
Pendiri dari Ngaji Keadilan Gender Islam yang juga menjadi dosen pascasarjana Prodi Ilmu Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, Nur Rofiah, mengatakan, perkawinan anak dilarang dalam ajaran Islam. Hasil musyawarah keagamaan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia tahun 2017 memutuskan hukum untuk mencegah anak dari perkawinan yang membahayakan adalah wajib.
Selain itu, merujuk pada lima pilar perkawinan, ajaran agama Islam melarang adanya perkawinan anak. Dalam lima pilar perkawinan, pernikahan diyakini sebagai janji yang kokoh sehingga tidak bisa dipermainkan. Suami dan istri dalam pernikahan juga merupakan pasangan sehingga saling melengkapi dan bisa bekerja sama untuk kemaslahatan.
Suami dan istri juga saling memperlakukan pasangannya secara bermartabat. Pasangan suami dan istri menjadikan musyawarah sebagai cara mengambil keputusan keluarga. Suami dan istri pun harus saling menjaga kerelaan pasangannya dalam setiap tindakan.
”Mungkinkah anak bisa menjalankan lima pilar perkawinan ini? Lima pilar perkawinan ini agak sulit jika dilakukan oleh anak. Karena itu, perkawinan anak merupakan pernikahan yang sebenarnya melemahkan pilar perkawinan yang dicita-citakan oleh Islam,” ujar Nur.
Kita harus bekerja sama dan bersinergi untuk bisa mencegah perkawinan anak yang dapat menghambat tercapainya bonus demografi Indonesia.
Tim peneliti dari Rumah KitaB, Fadilla Dwianti Putri, mengutarakan, Rumah KitaB pada 2021 melaksanakan penelitian mengenai perkawinan anak pascarevisi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di lima provinsi.
Perkawinan anak merupakan pernikahan yang sebenarnya melemahkan pilar perkawinan yang dicita-citakan oleh Islam.
Hasil studi itu menunjukkan, angka pernikahan anak tetap tinggi di semua wilayah riset, ditandai dengan naiknya permohonan dispensasi perkawinan. Pemberian dispensasi nikah pun bergantung pada pandangan dari hakim.
Hakim yang dinilai konservatif tentang norma jender memberikan dispensasi dengan memertimbangkan ada ketakutan perilaku seks di luar nikah dan keharusan perempuan menjaga martabatnya.
Pada kasus kehamilan tidak diinginkan, hakim yang progresif pun ditemukan tetap mengabulkan permohonan dispensasi nikah pada anak. Namun, pada kasus ini, calon suami harus siap untuk menjadi suami yang siaga.
Tidak tercatat
”Dari penelitian kami, angka dispensasi perkawinan meningkat di semua wilayah. Meski begitu, masih terjadi perkawinan yang tidak tercatat. Perkawinan yang tidak tercatat ini menambah kerentanan anak perempuan dan dampak kekerasan yang dialaminya,” kata Fadila.
Hakim Yustisial Mahkamah Agung, Mardi Candra, menegaskan, dispensasi kawin bisa dipertimbangkan apabila ada alasan sangat mendesak yang ditunjukkan berdasarkan fakta sosial dan bukti yang diajukan.
Hakim pun harus sudah mendengar keterangan sejumlah pihak terkait dengan kesiapan anak, pemahaman anak tentang risiko perkawinan dini. Hakim juga harus memastikan tidak ada paksaan secara fisik dan psikis terhadap anak.
Menurut dia, alasan yang biasanya menjadi penyebab terjadi perkawinan anak selama ini tidak bisa dikategorikan sebagai alasan yang mendesak. Alasan tersebut, antar lain, ialah faktor ekonomi yang menganggap perkawinan anak bisa menjadi solusi melepaskan diri dari kemiskinan.
Beberapa alasan lain pengajuan perkawinan anak ialah faktor rendahnya pendidikan akibat anak yang putus sekolah, faktor lingkungan dan tempat tinggal yang menganggap anak di perdesaan lebih mungkin menikah daripada di perkotaan, serta faktor tradisi dan pemahaman agama.
”Penetapan usia perkawinan oleh pemerintah juga tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kebijakan tersebut justru sejalan dengan tujuan syariat Islam dalam menjaga keselamatan jiwa anak, kelanjutan pendidikan anak, dan keselamatan keturunan,” ujar Mardi.