Mayoritas publik merasa Perppu Cipta Kerja lebih menguntungkan pelaku usaha dan investor, bukan pekerja. Meski demikian, publik juga masih menaruh harapan Perppu Cipta Kerja dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/ LITBANG KOMPAS
Β·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Kader dan simpatisan Partai Buruh aksi unjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Sabtu (14/1/2022). Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam orasi politiknya mengusung 10 tuntutan, antara lain penolakan terhadap Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Mayoritas publik merasa Perppu Cipta Kerja lebih menguntungkan pelaku usaha dan investor, bukan pekerja. Meski demikian, publik juga masih menaruh harapan Perppu Cipta Kerja ini dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah perlu merawat harapan itu dengan mengimplementasikan perppu dengan sebaik-baiknya.
Publik memandang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bukanlah sesuatu yang mendesak saat ini. Namun, publik juga berharap kondisi kesejahteraan masyarakat akan lebih baik lagi dengan kehadiran perppu. Harapan kesejahteraan tersebut menjadi substansi paling mendesak sekaligus ujian bagi pemerintah untuk benar-benar mengimplementasikan perppu bagi kepentingan masyarakat banyak.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu yang menunjukkan sebagian besar responden (61,3 persen) menilai lahirnya Perppu Cipta Kerja ini bukan sesuatu yang mendesak karena kondisi Indonesia saat ini relatif tidak menghadapi situasi darurat sehingga harus dibutuhkan sebuah perppu.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja sebagai jaminan kepastian hukum setelah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Penilaian publik ini cenderung tidak selaras dengan pertimbangan pemerintah dalam mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. Pemerintah memang merasa perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik kemungkinan resesi global, peningkatan inflasi, maupun ancaman stagflasi. Munculnya negara-negara berkembang yang sudah mulai meminta tambahan bantuan kepada IMF pun disebut sebagai alasan lahirnya perppu ini (Kompas, 31/12/2022).
Di sisi yang lain, pertimbangan ini juga cenderung tidak seirama dengan asumsi yang dikeluarkan pemerintah ataupun Bank Indonesia (BI). Dalam berbagai kesempatan, pemerintah justru menunjukkan seberapa resilien dan kuat perekonomian Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan latar global yang tengah berjibaku menghadapi ancaman resesi dan inflasi tinggi.
Misalnya saja, dalam pertemuan tahunan di 2022, BI melihat situasi perekonomian Indonesia pada 2023 dalam nada yang cenderung merdu. BI memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia setahun ke depan akan berada di kisaran 4,5-5,3 persen, atau sudah mulai kembali ke masa prapandemi. Bahkan, jika on track, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai angka 5,5 persen pada 2024 (Kompas, 2/1/2023).
Tak hanya dari angka pertumbuhan, resiliensi dan stabilitas perekonomian nasional ini juga diprediksi BI melalui indikator inflasi. Indeks Harga Konsumen/IHK Indonesia pada 2023 diprediksi berada di kisaran 3 persen, dengan margin sebesar 1 persen. Angka ini jauh lebih terkendali dibandingkan dengan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang angka inflasinya masih berada di atas angka 6 persen.
Tinjauan BI ini tak berbeda jauh dengan hasil tinjauan beberapa lembaga ekonomi dunia. Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia (ADB), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia (World Bank), Indonesia diproyeksikan akan memiliki pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen pada 2023. Selaras, prediksi lembaga- lembaga tersebut juga menyebutkan, tingkat inflasi tahunan akan berada di kisaran 4-5 persen pada tahun ini.
Sikap publik di jajak pendapat ini dan penilaian dari sejumlah lembaga terkait keyakinan terhadap kondisi ekonomi Indonesia ke depan justru tidak mendukung dengan pertimbangan dan kekhawatiran pemerintah yang menjadi alasan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja.
Belum terwakili
Publik melihat, sebelum lahirnya Perppu Cipta Kerja, keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga kurang mewakili aspirasi masyarakat. Sebanyak 60,5 persen responden menyatakan, UU Cipta Kerja belum mewakili aspirasi masyarakat. Bahkan, tak sampai sepertiga responden yang mengaku sudah terwakili dengan pasal-pasal yang terkandung dalam aturan tersebut.
Masih minimnya peran publik dalam proses lahirnya UU Cipta Kerja yang kemudian dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK dan direspons pemerintah dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja semakin menegaskan minimnya aspirasi masyarakat dalam proses pembentukan regulasi tersebut. Apalagi, jauh sebelum UU Cipta Kerja disahkan, reaksi publik cenderung menolak dengan munculnya demonstrasi, terutama dari kalangan buruh dan pekerja.
Minimnya transparansi dan keterlibatan publik ini juga menjadi salah satu catatan yang disampaikan MK dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Cipta Kerja. Saat itu, mahkamah mengharuskan materi perubahan UU agar bisa dengan mudah diakses publik. Tidak heran jika kemudian sejumlah elemen masyarakat sipil bersiap menyoal Perppu Cipta Kerja ke MK.
Jajak pendapat juga menangkap penilaian publik bahwa lahirnya Perppu Cipta Kerja ini cenderung lebih menguntungkan para pelaku usaha dan investor. Setidaknya hampir separuh responden menyatakan hal tersebut. Sebanyak 25,3 persen responden menilai lebih menguntungkan pebisnis/pengusaha, sebagian yang lain menyebut menguntungkan investor atau pemilik modal.
Tak banyak dari responden yang merasa bahwa Perppu Cipta Kerja ini menguntungkan para pekerja. Hanya sekitar 16,6 persen responden yang merasa kehadiran Perppu Cipta Kerja dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Bahkan, bagi pekerja kerah biru dan sektor informal, keyakinan atas perppu ini juga rendah. Hanya sekitar 12 persen dari responden yang merasa Perppu Cipta Kerja bisa membawa perubahan positif bagi para buruh.
Bagaimanapun, keberpihakan terhadap pekerja menjadi salah satu benang merah dari keresahan publik soal Perppu Cipta Kerja. Jajak pendapat menunjukkan, alasan penolakan terhadap lahirnya UU Cipta Kerja, yang kemudian diubah menjadi Perppu Cipta Kerja ini, sebagian besar (48,2 persen) karena dianggap tidak berpihak kepada pekerja. Alasan penolakan lainnya adalah karena aturan dalam perundang-undangan ini dikhawatirkan akan digunakan perusahaan agar lebih mudah menekan, bahkan memecat buruh.
Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa dasar. Pasalnya, Perppu Cipta Kerja masih belum menyelesaikan persoalan terkait dengan pekerja yang menjadi ganjalan pada UU Cipta Kerja sebelumnya. Beberapa hal seperti soal ketidakpastian hukum terkait sistem kerja kontrak dan praktik outsourcing masih tak tersentuh dalam perppu tersebut.
Harapan
Tak heran, kekhawatiran publik terhadap dampak yang ditimbulkan dari UU Cipta Kerja yang kemudian diikuti dengan hadirnya perppu ini cukup tinggi. Jajak pendapat menangkap, hampir 70 persen responden mengaku khawatir dengan dampak dari aturan ini. Bahkan, sebagian di antaranya mengaku sangat mengkhawatirkannya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Kader dan simpatisan Partai Buruh aksi unjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Sabtu (14/1/2022). Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam orasi politiknya mengusung 10 tuntutan, antara lain penolakan terhadap Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Meskipun demikian, masyarakat sebetulnya tidak sepenuhnya antipati dengan kehadiran Perppu Cipta Kerja. Hal ini terlihat dengan sikap dari separuh lebih responden yang masih menaruh harapan yang terekam dari tingkat keyakinan mereka terhadap penerapan Perppu Cipta Kerja ini bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat umum. Tentu, keyakinan publik ini semestinya menjadi modal sosial bagi pemerintah untuk mengimplementasikan kehadiran perppu dengan sebaik-baiknya.
Modal sosial ini perlu diimbangi dengan pembuktian dari pemerintah bahwa hadirnya Perppu Cipta Kerja ini benar- benar akan membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia, terutama kesejahteraan bagi para pekerja yang selama ini menjadi isu yang mewarnai polemik hadirnya perppu ini.
Di tengah kekhawatiran akan lahirnya Perppu Cipta Kerja, merawat harapan publik dengan membuktikan bahwa peraturan ini lahir sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat menjadi sebuah keniscayaan.