Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Masyarakat Desa Lebih Pesimistis Hadapi Ancaman Perlambatan Ekonomi
Selama pandemi, desa berkontribusi sebagai penyokong ekonomi nasional. Meski demikian, masyarakat perdesaan merasa kondisi ekonomi rumah tangganya kian buruk dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Hunian warga di Desa Wargajaya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/5/2022).
Kondisi perekonomian yang stagnan, atau bahkan lebih buruk, berpotensi besar membuat masyarakat desa kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbagai program pemulihan ekonomi memang cukup membantu warga desa, tetapi belum sepenuhnya membuat perekonomian desa bangkit. Masyarakat desa cenderung lebih pesimistis menghadapi ancaman perlambatan ekonomi di tahun ini dibandingkan warga kota.
Saat rapat terbatas pada akhir September 2020, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa desa menjadi penyangga jika terjadi krisis ekonomi, terutama krisis di wilayah perkotaan. Pernyataan itu merujuk pada salah satu fenomena tentang ruralisasi yang terjadi pada masa-masa awal pandemi. Saat itu, sebagian perantau akhirnya pulang ke kampung atau daerah asalnya karena dampak pandemi di kawasan perkotaan.
Mereka yang terkena PHK ataupun yang usahanya tutup atau bangkrut karena dampak pembatasan aktivitas memilih untuk pulang kampung sementara waktu. Harapannya, di daerah asalnya masih ada keluarga yang bisa membantu mereka bertahan hidup.
Selain itu, di desa, setidaknya mereka bisa mengambil hasil alam untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Langkah ini ditempuh untuk meminimalkan biaya hidup karena pengeluaran yang dibelanjakan di perkotaan tetap tinggi meskipun pendapatan berkurang drastis akibat pandemi.
Oleh sebab itu, kembali ke desa menjadi salah satu pilihan terbaik untuk bertahan hidup bagi mereka yang perekonomiannya terdampak pandemi. Apalagi, dari pengalaman krisis-krisis sebelumnya, desa telah membuktikan ketangguhannya menghadapi berbagai masalah ekonomi. Tingginya tingkat ketahanan desa tersebut salah satunya didorong oleh produktifnya sektor pertanian meski dihantam krisis ekonomi sekalipun.
Sebagai contoh, pada krisis ekonomi 1998, sektor pertanian masih bertahan dengan pertumbuhan tahunan sebesar 0,26 persen. Selanjutnya, pada krisis 2008, pertanian tetap mampu tumbuh hampir mencapai 5 persen.
Kondisi tersebut tidak jauh berbeda saat pandemi mulai melanda pada 2020, yang memperlihatkan sektor pertanian tetap mampu tumbuh 1,77 persen sepanjang tahun itu. Hal ini menunjukkan ketahanan sektor agraris tergolong sangat tinggi karena di saat bersamaan sebagian besar sektor ekonomi tumbuh negatif dan menanggung kerugian.
Sebut saja sektor transportasi dan pergudangan yang mengalami kontraksi hingga minus 15,1 persen, industri pengolahan nonmigas minus 2,52 persen, dan sektor akomodasi-makan minum anjlok hingga negatif 10,26 persen.
Ketahanan sektor pertanian menghadapi deraan resesi dan perlambatan ekonomi itu kembali teruji pada tahun-tahun berikutnya. Meskipun tidak terlalu signifikan, sektor pangan ini tetap terus tumbuh pada masa pandemi 2021 hingga sebesar 1,84 persen.
Hal ini juga terus terjadi pada masa 2022 saat pandemi mulai mereda. Walaupun tidak besar, sektor agraris hingga triwulan III-2022 memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1,42 persen.

Baca juga: Dana Desa 2023 Didorong untuk Turunkan Kemiskinan Ekstrem
Hal itu menunjukkan bahwa sektor agraris memiliki daya tahan yang relatif kuat dalam melewati masa-masa sulit perekonomian nasional. Secara tidak langsung juga mengisyaratkan besarnya kontribusi desa sebagai daerah sentra pertanian dalam menopang kemajuan ekonomi di masa-masa resesi.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menyebutkan, desa mampu menjadi penyangga ekonomi nasional sepanjang dua tahun pandemi. Sejumlah data juga menunjukkan bahwa dampak pandemi terhadap desa tidak separah di wilayah perkotaan.
Pendapatan warga desa tetap meningkat dari Rp 882.829 per kapita per bulan menjadi Rp 971.445 per kapita per bulan. Tingkat pengangguran di desa tetap rendah meskipun naik dari 3,92 persen menjadi 4,71 persen. Sementara itu, di kawasan perkotaan, tingkat pengangguran terbuka naik dari 6,29 persen menjadi 8,98 persen.
Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya mendorong transformasi ekonomi perdesaan guna mengantisipasi terpuruknya kondisi ekonomi nasional. Berbagai program telah dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi desa.
Program dimaksud, antara lain, anggaran Dana Desa difokuskan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi desa. Program lain ialah menjalankan program Padat Karya Tunai Desa untuk menyerap tenaga kerja di desa. Hal tersebut relatif berhasil membuat desa bertahan selama pandemi.
Menurun
Hanya saja, sejumlah indikator makroekonomi tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi riil seluruh kawasan perdesaan di Indonesia. Tidak semua desa memiliki kemampuan ketahanan ekonomi yang seragam dalam melewati masa resesi akibat pandemi. Bahkan, sebagian masyarakat desa turut terdampak efek pandemi itu sehingga kondisinya juga menjadi serba sulit.
Fenomena itu terjaring dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada November 2022. Dari sisi pendapatan, sekitar 36 persen responden yang tinggal di perdesaan menyatakan kondisi tahun 2022 lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.
Hanya saja, besaran kepuasan ini tidak berbeda jauh dengan pengakuan responden yang merasa tingkat pendapatannya pada tahun 2022 lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya. Ada sekitar 33 persen responden yang mengakui turunnya pendapatan itu.
Kondisi itu berdampak pada kemampuan masyarakat desa dalam membelanjakan atau menggunakan uangnya. Dengan pendapatan yang tidak lebih baik dari tahun lalu, sebisa mungkin mereka membatasi pengeluarannya. Mayoritas responden yang tinggal di desa menyebutkan kemampuan mereka untuk berbelanja lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya.
Tiga dari sepuluh responden warga desa merasa kemampuan berbelanja bahan pokok pada tahun 2022 lebih buruk daripada tahun 2021. Dalam proporsi yang sama, mereka juga merasa kemampuan untuk menabung lebih rendah.
Sebanyak 32,2 persen responden desa merasa kemampuan membeli barang investasi juga kian berkurang. Selain itu, kurang dari seperempat responden merasa kemampuan untuk membeli barang gaya hidup atau hobi juga jauh lebih sedikit dari masa sebelumnya.
Baca juga: Jajak Pendapat Litbang “Kompas”: Publik Membangun Optimisme pada Tahun 2023

Buruh tani memanen padi di lahan sawah yang terendam banjir di kawasan Rorotan, Jakarta Utara, Rabu (4/1/2023). Agar tidak terendam, padi yang telah dipotong diletakkan di dalam terpal yang telah dibentuk menyerupai perahu.
Meskipun demikian, tidak sepenuhnya kondisi perekonomian rumah tangga perdesaan tersebut memburuk. Setidaknya dari segi penawaran barang dan jasa, perekonomian di perdesaan masih memberikan kontribusi positif bagi pendapatan warga setempat.
Hampir 40 persen responden menyatakan kegiatan usaha, ketersediaan lapangan kerja, dan pekerjaan mereka di desa lebih baik dari tahun sebelumnya. Hanya kurang dari seperempat responden yang merasa ketiga sektor penawaran ekonomi itu kondisinya lebih buruk untuk saat-saat sekarang.
Temuan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi responden yang tinggal di perkotaan. Proporsi responden yang merasa kondisi ekonominya membaik saat ini lebih banyak dibandingkan responden di desa. Sebaliknya, responden warga kota yang merasa kondisinya lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya lebih sedikit dibandingkan responden masyarakat desa.
Perbaikan yang dirasakan publik perkotaan itu relevan dengan pulihnya aktivitas masyarakat di kawasan urban. Dengan longgarnya pembatasan aktivitas dan mobilitas, perekonomian pelan-pelan mulai bangkit. Perekonomian akan bergerak secara akseleratif seiring dengan dicabutnya aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) secara nasional pada akhir 2022.
Geliat perekonomian semakian tampak dalam keseharian warga kota saat ini. Pusat perbelanjaan, kawasan bisnis dan perdagangan, restoran, jasa hotel dan penginapan, tempat hiburan, kawasan wisata, serta sentra-sentra ekonomi lainnya meningkat pesat skala kunjungannya. Jalan raya, stasiun, bandara, dan moda transportasi lainnya juga tampak penuh oleh aktivitas manusia.
Kondisi tersebut mengindikasikan perekonomian perkotaan perlahan mulai bangkit. Satu indikasinya terlihat dari kontribusi sejumlah sektor usaha yang tampak terus meningkat.
Sektor perdagangan, misalnya, naik secara year on year sebesar 5,35 persen, transportasi tumbuh 25,81 persen, dan jasa akomodasi-makan minum meningkat 17,83 persen pada triwulan III-2022. Bukan mustahil, pada laporan akhir 2022 nanti, ketiga sektor usaha dan sejumlah sektor lain akan mengalami tren peningkatan yang terus membesar seiring dengan masifnya aktivitas perekonomian.
Ancaman krisis
Berbeda dengan di kota, kebangkitan perekonomian di wilayah perdesaan tidak sepesat itu. Pada triwulan III-2022, sektor pertanian yang menjadi basis ekonomi desa hanya tumbuh 1,42 persen dari tahun sebelumnya. Di saat bersamaan, pada tahun 2022 terjadi lonjakan sejumlah sarana produksi pertanian akibat lonjakan harga energi karena berkurangnya subsidi dari pemerintah.
Harga jual produk pertanian yang meningkat pun ternyata tidak banyak mengubah pendapatan petani secara umum. Petani tetap berada pada posisi yang kurang menguntungkan dan selalu mendapatkan margin keuntungan yang relatif kecil.
Akibatnya, masyarakat desa tetap rentan untuk terpuruk pada jurang kemiskinan. Tanpa adanya krisis atau pandemi, tingkat kemiskinan di desa lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Per Maret 2022, terdapat 12,29 persen penduduk desa yang tergolong miskin. Sementara itu, di wilayah kota hanya 7,50 persen dari total penduduknya.

Pencari pakan ternak melintas di tepi Waduk Sermo di Desa Hargowilis, Kokap, Kulon Progo, DI Yogyakarta, Kamis (5/1/2023). Warga lansia di tepi waduk yang dibangun tahun 1994 itu sebagian besar masih berprofesi sebagai peternak dan petani.
Baca juga: Jajak Pendapat Litbang "Kompas": Generasi Muda Yakin Kondisi 2023 Akan Lebih Baik
Gejolak perekonomian global yang menyebabkan harga bahan bakar dan pangan meningkat berpengaruh besar terhadap masyarakat desa. Pengeluaran kebutuhan hidup yang kian meningkat dan tidak sebanding dengan nilai jual produk pertaniannya membuat kehidupan masyarakat desa kian sulit. Sebagian besar responden penduduk desa merasakan bahwa kondisi saat ini lebih buruk daripada tahun-tahun sebelumnya.
Berbagai program pemerintah yang hadir di desa selama pandemi memang cukup membantu warga desa. Dana Desa yang kemudian disalurkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai Dana Desa, Padat Karya Tunai Desa, Desa Tanggap Covid-19 cukup efektif menyokong perekonomian masyarakat desa.
Hanya saja, seperti tecermin dalam hasil Jajak Pendapat Kompas, kesulitan ekonomi masih menjadi keresahan warga desa pada akhir tahun 2022. Hal ini turut memengaruhi tingkat keyakinan warga desa untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi di tahun-tahun berikutnya.
Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas, terlihat bahwa masyarakat desa yang merasa tidak yakin mampu menghadapi perlambatan ekonomi di tahun 2023 ini lebih tinggi dibandingkan masyarakat kota. Setidaknya 20 persen responden yang tinggal di desa merasakan ketidakyakinan tersebut. Sementara itu, untuk responden dari wilayah perkotaan, hanya sebesar 13,4 persen yang merasa tidak yakin dapat melalui masa-masa sulit perekonomian di tahun ini.
Kondisi lebih buruk yang dirasakan warga desa tahun ini, serta adanya ketidakyakinan terhadap kemampuan menghadapi ancaman perlambatan ekonomi itu, patut menjadi perhatian pemerintah.
Klaim bahwa desa menjadi bantalan ekonomi nasional ketika krisis ekonomi perlu diimbangi dengan sejumlah program lanjutan guna menghidupkan perekonomian desa secara berkesinambungan. Jadi, program penyelamatan ekonomi desa tidak hanya hadir saat krisis ekonomi tiba. (LITBANG KOMPAS)