Rusia yang Terdesak dan Ancaman Perang Nuklir (II-Habis)
Perang Ukraina terindikasi mulai mengarah ke provokasi penggunaan senjata pemusnah massal. Jika ketegangan tidak mereda, perang nuklir bisa terjadi dan membawa efek berbahaya bagi seluruh dunia.
Sejak era perang dingin, politik diplomasi Rusia dan Amerika Serikat cenderung bernada moderat dalam hal kontestasi senjata pemusnah massal. Namun, sejak perang Rusia-Ukraina terjadi, ketegangan diplomasi dan langkah-langkah yang mendekatkan kemungkinan penggunaan nuklir taktis justru makin terlihat dan terindikasi sangat membahayakan.
Indikasi mengerasnya diplomasi tersebut terlihat dari unjuk latihan nuklir yang dilakukan baik oleh AS maupun Rusia. Yang terbaru, dalam situasi perang yang berkecamuk sengit di sisi timur Ukraina, NATO tetap menggelar latihan rutin nuklir bertajuk ”Steadfast Noon” yang dilakukan pada 17-30 Oktober 2022 di kawasan Belgia, Laut Utara, dan Inggris Raya.
Lokasi latihan itu cukup jauh dari Rusia, sekitar 1.000 km di barat laut Eropa. Namun, hal itu cukup relevan dengan ancaman bencana nuklir yang pernah dinyatakan presenter televisi Rusia, Dmitry Kiselyov, tentang dampak ledakan torpedo Poseidon di Laut Utara yang bisa menciptakan tsunami raksasa untuk melenyapkan kepulauan Inggris Raya dalam lautan radioaktif.
Rusia merespons latihan nuklir NATO itu menggelar latihan nuklir serupa bertajuk ”Grom” disertai peluncuran rudal balistik antarbenua Yars yang mampu membawa hulu ledak nuklir pada 26 Oktober 2022. Pada 3 November 2022, latihan yang diawasi langsung Presiden Putin ini juga meluncurkan rudal balistik antarbenua Bulava dari kapal selam di Laut Barents.
Sebelumnya, pada Maret 2022, Rusia juga menampilkan torpedo pamungkas Poseidon yang disebut sebut memiliki daya serang tak tertahankan oleh senjata penangkis negara-negara Barat. Torpedo besar ini diklaim menyelam tiga kali lebih dalam dan lebih cepat dari kapal selam milik Barat. Dengan daya hancur hingga 100 megaton, alias dua kali lipat daya ledak Tsar Bomba yang pernah diuji Rusia pada 30 Oktober 1961, tak terbayangkan kekuatannya.
Meski torpedo Poseidon itu dalam kenyataannya belum ada, dengan melihat gambaran saling gertak antara kedua poros nuklir dunia, sulit menghilangkan kesimpulan bahwa keamanan dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Apalagi, jika senjata pemusnah massal yang saat ini sudah bersiaga turut digunakan oleh AS dan Rusia di medan perang.
Keunggulan teknologi
Amerika Serikat kerap dikritik oleh para analis militer karena dianggap tertinggal dalam lomba penguasaan teknologi sejumlah komponen roket hipersonik, baik dari Rusia maupun China. Dengan kemampuan hipersonik tersebut, rudal Rusia bakal tetap mampu menembus semua penangkal AS dan NATO yang dimiliki saat ini.
Militer dan pengembang senjata di AS dinilai terlalu asyik mengembangkan teknologi stealth, pesawat jet, dan sensor radar yang semula diyakini bakal menjadi penentu dalam perang di masa depan. Faktanya, perang Rusia-Ukraina menunjukkan variasi-variasi keunggulan senjata canggih maupun lawas dengan perannya masing-masing. Namun, tak semua yang canggih menjadi penentu medan perang, bahkan ruang udara Ukraina tak mampu sepenuhnya dikuasai Rusia hingga hari ini.
Secara faktual, pentingnya penguasaan hulu ledak nuklir menjadi semakin samar batas-batasnya karena pengembangan teknologi medium pembawa hulu ledak sudah melewati tingkat yang sangat tinggi sebagaimana hulu ledak nuklir itu sendiri.
Dalam dimensi ruang udara, misalnya, medium itu berupa rudal-rudal berkecepatan hipersonik seperti dari jenis Kinzhal yang mampu melesat di atas hingga 12 kali kecepatan suara dengan ketinggian terbang (ceiling) hingga 20 km dan jangkauan operasional 2.000 km. Hingga saat ini terbukti rudal Kinzhal yang ditembakkan Rusia tak mampu dicegat dengan semua sistem pertahanan udara milik Ukraina termasuk bantuan dari negara Barat.
Dalam dimensi perairan, Rusia sudah lama menemukan metode gelembung udara (bubble) yang melindungi torpedo Shkval berkecepatan tinggi sehingga alih-alih membelah air, torpedo ibarat meluncur di ruang gelembung hampa udara sehingga mampu mencapai kecepatan 350 km/jam. Dengan kecepatan seperti itu, sangat sulit menahan laju torpedo sejenis jika ditembakkan kepada kapal yang bergerak rata-rata 30 knot.
Faktanya bagi Rusia dan Amerika adalah perang di Ukraina membuat mereka semakin efektif menguji efektivitas dan daya hancur energi kinetik senjata-senjata unggulan mereka. Dan, hasilnya ialah hancurnya wilayah Ukraina, termasuk juga angkatan perang Rusia dan Ukraina.
Nuklir taktis
Memang, dalam perang Rusia-Ukraina bukan nuklir jenis strategis yang dikhawatirkan bakal digunakan oleh Rusia. Nuklir strategis/antarbenua/balistik sebagaimana yang diangkut oleh rudal Sarmat, Satan, Bulava, atau torpedo Poseidon membawa hulu ledak berkapasitas ukuran megaton TNT, yang mampu melenyapkan beberapa kota sekaligus.
Namun, yang dikhawatirkan ialah jika Rusia menggunakan jenis nuklir taktis yang memiliki yield atau daya ledak di bawah 1 kiloton TNT. Jenis hulu ledak ini bisa lebih mudah dipasang pada rudal jarak pendek-menengah berukuran di atas 220 mm seperti jenis rudal Kaliber atau rudal Iskander sehingga lebih fleksibel.
Dengan daya ledak yang lebih rendah, sasaran yang dihancurkan juga lebih presisi, hanya menyasar target utama, seperti pangkalan militer dan menghindari collateral damage atau dampak meluas bagi warga sipil lainnya.
Dalam sebuah simulasi nuklir taktis, dengan yield 1-2 kiloton, kehancuran total target sasaran mencakup kawasan berdiameter sekitar 1,5-3 km. Adapun dampak getaran, panas, dan radioaktif masih merambat pada diameter luasan beberapa kali lipat.
Menurut Nuclear Notebook Otoritatif dalam Buletin Ilmuwan Atom oleh Hans M. Kristensen dan Matt Korda, Rusia saat ini ditengarai memiliki 1.912 senjata nuklir taktis atau nonstrategis yang dirancang untuk diluncurkan dari darat, pesawat terbang, atau kapal laut. Jumlah ini termasuk hulu ledak yang sudah pensiun atau menunggu pembongkaran sehingga kekuatan sebenarnya mungkin lebih kecil.
Masalahnya, tidak ada perjanjian yang pernah membatasi senjata jenis ini meskipun pada tahun 1991 Presiden George HW Bush dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev setuju untuk secara sukarela menarik kembali senjata jenis ini ke gudang.
Pada awal 2022, Rusia diperkirakan memiliki total persediaan 4.477 hulu ledak nuklir yang terdiri dari 2.565 hulu ledak strategis untuk digunakan oleh peluncur strategis jarak jauh dan 1912 nonstrategis oleh pasukan nuklir taktis jarak pendek.
Rinciannya, sebanyak 812 hulu ledak dikerahkan pada rudal balistik darat, sekitar 576 pada rudal balistik kapal selam, dan 200 unit di pangkalan jet pengebom berat. Sekitar 977 hulu ledak strategis lainnya disimpan bersama dengan sekitar 1.912 hulu ledak nonstrategis.
Selain itu, sekitar 1.500 hulu ledak yang sudah pensiun, tetapi sebagian besar masih utuh menunggu pembongkaran, dengan total inventaris sekitar 5.977 hulu ledak. (Hans M. Kristensen & Matt Korda, 2022, Bulletin of the Atomic Scientists)
Saat ini hulu ledak nuklir taktis Rusia ditempatkan di gudang-gudang bawah tanah terpisah dari kendaraan pengangkutnya. Berbeda dengan nuklir strategis yang sudah terpasang di kendaraan pengangkut. Untungnya, hingga hari ini analis militer Barat belum melihat indikasi bahwa Rusia telah mengerahkan senjata nuklir taktis atau unit penjagaan nuklir bersama dengan kendaraan pengiriman tersebut.
Perang doktrin
Program modernisasi nuklir Rusia dimotivasi oleh keinginan kuat Kremlin mempertahankan kesetaraan kemampuan dengan Amerika Serikat dan prestise nasional, tetapi juga keyakinan pemimpin Rusia bahwa sistem pertahanan rudal balistik AS merupakan risiko bagi masa depan Rusia.
Kondisi tak percaya pada pihak lawan ini juga menghinggapi para pemikir strategis AS. Mantan Kepala Komando Strategis AS Jenderal John Hyten, misalnya, bereaksi negatif terhadap doktrin destabilisasi Rusia yang oleh beberapa orang disebut meningkat menjadi deeskalasi (Hyten, 2017).
Rusia mengisyaratkan kesediaan untuk menggunakan senjata nuklir bahkan sebelum musuh melancarkan serangan konvensional ke Rusia. Implikasinya adalah bahwa Rusia berpotensi menggunakan senjata nuklir terlebih dahulu untuk menakut-nakuti musuh agar tidak membela diri. Istilahnya, eskalasi untuk deeskalasi.
Inilah logika Rusia yang dikhawatirkan tidak pernah bertemu dengan logika nuklir AS dalam kondisi tertentu. Jika Rusia mengira penggunaan ibaratnya satu kali serangan nuklir akan bisa menyelesaikan perang sebagaimana PD II karena musuh takut, kini hal itu justru bakal memicu pembalasan nuklir dari Barat.
Tengok saja deklarasi kebijakan nuklir AS sebagaimana dimuat dalam US Nuclear Deterrence Strategy US Defence di mana doktrin AS menyebutkan, ”Setiap penggunaan senjata nuklir oleh musuh pada dasarnya akan mengubah sifat konflik, oleh karena itu AS harus mampu mencegah serangan nuklir baik skala besar maupun terbatas dari musuh”. Artinya, jika Rusia menggunakan nuklir, pembalasan dari AS dan sekutunya pasti akan terjadi.
Hal itu karena selama senjata nuklir masih ada, peran dari senjata nuklir AS adalah untuk mencegah serangan nuklir di Amerika Serikat, sekutu, dan mitra. Menurut doktrin tersebut, AS hanya akan mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir dalam keadaan ekstrem untuk membela kepentingan Amerika Serikat atau sekutunya.
Efek penggentar
Pada Juni 2020, Presiden Putin menyetujui pembaruan ”Prinsip Dasar Kebijakan Negara Federasi Rusia tentang Pencegahan Nuklir,” yang mencatat bahwa Federasi Rusia menganggap senjata nuklir secara eksklusif sebagai alat pencegahan. Kebijakan tersebut menjabarkan empat kondisi di mana Rusia dapat meluncurkan senjata nuklir.
Pertama, ada data peluncuran rudal balistik yang menyerang wilayah Federasi Rusia atau sekutunya. Berikutnya, penggunaan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya terhadap Federasi Rusia dan sekutunya; serangan oleh musuh terhadap situs pemerintah atau militer penting dari Federasi Rusia, yang akan merusak kekuatan nuklir Rusia; serta agresi terhadap Federasi Rusia dengan penggunaan senjata konvensional sehingga negara dalam bahaya.
Dari keempat doktrin itu, langkah Ukraina dan Barat jelas tak ingin mengambil langkah secara ceroboh dengan ”menginjak” ranjau nuklir yang dipasang oleh Vladimir Putin. Meski demikian, dengan aras doktrin pencegahan yang kuat, pihak AS tentu melakukan segala hal untuk mencegah letupan pertama nuklir oleh siapa pun.
Tak heran AS sejak lama menempatkan hulu ledak nuklir taktisnya di sejumlah negara NATO. Bom nuklir taktis B61, misalnya, disimpan di pangkalan udara NATO yang terletak di Belanda, Belgia, Jerman, Italia, dan Turki sejak tahun 1991.
Bom B61 di pangkalan tersebut adalah dari varian Mod 3 dan Mod 4, dirancang pada 1970-an dan diproduksi pada 1979-1982. Bom B61 adalah senjata nuklir taktis dengan kemampuan 0,3 kiloton, 1,5 kiloton, 10 kiloton, hingga 45 kiloton. Yang terbaru, bom gravitasi yang dijatuhkan dari udara jenis B61-12 bahkan cukup diangkut dengan pesawat F-15E atau F-35 yang telah diprogram secara khusus.
Keberadaan armada nuklir Barat di dekat wilayahnya telah membuat Rusia gundah. Berulang kali Rusia sudah memprotes keberadaan bom nuklir taktis yang mengepung Rusia di berbagai pangkalan NATO di Eropa, sedangkan semua hulu ledak nuklir Rusia diklaim berada di tanah Rusia sendiri.
Baca juga: Rusia yang Terdesak dan Ancaman Perang Nuklir (I)
Bagaimanapun, cara Barat mengepung Rusia dengan senjata nuklir turut menghadirkan mimpi buruk bagi Presiden Vladimir Putin. Harapannya, semoga Rusia tidak mudah terprovokasi dengan menganggap nuklir NATO itu akan ditembakkan dan mengambil kesimpulan lebih baik mendahului atau menakuti NATO.
Karena seperti peringatan keras yang dinyatakan Presiden AS Joe Biden, jangan sampai Rusia mengambil langkah nuklir taktis pertama yang akan menyebabkan kesalahan yang sangat serius bagi Rusia dan tentunya membahayakan nasib seluruh umat manusia di bumi ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Rusia Ingatkan soal Ancaman Konflik Nuklir di Ukraina
Baca juga: Warisan Perang Dingin di Ukraina