Analisis Litbang ”Kompas”: Problem Ketenagakerjaan, Tantangan bagi Pemuda
Pemuda yang terjun dalam dunia wirausaha menjadi tantangan sekaligus jawaban dari problem masalah ketenagakerjaan saat ini, terutama untuk mengurangi potensi pengganguran.
Kontribusi pemuda dalam pembangunan masih menghadapi sejumlah tantangan, khususnya problem ketenagakerjaan. Wirausaha sebagai salah satu upaya mengatasi pengangguran masih perlu mendapat dukungan pemerintah.
Peran pemuda sering dikaitkan dengan kemajuan suatu bangsa. Fisik yang kuat, pengetahuan baru, kreativitas, dan semangat yang masih menggelora, menjadikan pemuda aset bangsa yang sangat berharga. Oleh karena itu, pemuda menjadi generasi yang memikul tanggung jawab besar atas perannya sebagai agen perubahan, pembangunan, dan pembaruan.
Hal ini tak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang telah membuktikan peran pemuda dalam perjuangan bangsa melalui deklarasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang menjadi momentum bersatunya kekuatan pemuda.
Wirausaha menjadi salah satu upaya mengatasi pengangguran
Peran kunci pemuda sebagai generasi penerus bangsa juga tertangkap dalam jajak pendapat Litbang Kompas Oktober 2022 lalu, yang dinyatakan oleh sepertiga responden. Harapan besar kemajuan bangsa berada di pundak para pemuda.
Tak dapat dimungkiri, pemuda yang menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan adalah penduduk berusia 16-30 tahun, pada saat Indonesia mencapai usia emas pada tahun 2045 nanti merekalah yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang memajukan negara.
Oleh sebab itu, membentuk sumber daya manusia Indonesia yang unggul, berkualitas, dan memiliki karakter menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus dipersiapkan jauh-jauh hari.
Terutama mempersiapkan pemuda untuk mumpuni di bidang ekonomi agar mempunyai daya saing yang tangguh. Apalagi, cita-cita Indonesia emas 2045 adalah mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dan bermartabat.
Di sisi lain, penduduk kategori pemuda yang jumlahnya saat ini berdasarkan Susenas 2021 sebanyak 64,92 juta jiwa atau seperempat jumlah penduduk (23,90 persen), separuhnya adalah pemuda yang masih berusia sekolah.
Separuhnya lagi adalah usia yang baru pada tahap awal memasuki dunia kerja. Dengan demikian beban ekonomi pada pemuda sebagai bagian dari penduduk usia produktif tentulah semakin berat.
Potret pemuda dalam perannya bagi pembangunan ekonomi negara tergambar pada Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) yang menjadi indikator penting untuk mengetahui sejauh mana pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Baca juga: Wapres: Bangun Dialog Sosial untuk Pecahkan Masalah Ketenagakerjaan di Masa Krisis
Problem ketenagakerjaan
Sejak 2015, Indeks Pembangunan Pemuda Indonesia di kisaran angka 50 dari capaian tertinggi 100. Setelah trennya bergerak positif hingga tahun 2019, IPP mengalami penurunan tahun 2020 menjadi 51,00 dari sebelumnya 52,67. Faktor pandemi Covid-19 sangat memengaruhi penurunan capaian tahun 2020. Namun di tahun 2021 tren kembali positif dengan meningkat sebesar 3 poin menjadi 54,00.
Capaian IPP tersebut juga belum merata di seluruh wilayah. Hanya 10 provinsi yang mencatatkan capaian IPP di atas capaian nasional, tertinggi Provinsi Di Yogyakarta (73,67), diikuti Bali (60,00), dan Kepulauan Riau di urutan ketiga (57,83). Artinya, masih ada 24 provinsi yang Indeks Pembangunan Pemudanya masih di bawah capaian nasional. Tiga provinsi dengan capaian terendah adalah Sulawesi Barat (46,50), Kalimantan Barat (46,67), dan Sumatera Selatan (47,67).
Dari lima aspek atau domain IPP, indikator lapangan dan kesempatan kerja pemuda tercatat memiliki capaian terendah, yaitu di angka 40,00 dan stagnan dari tahun sebelumnya termasuk capaiannya pada 2018. Bahkan capaian aspek ini merupakan yang terendah sejak pengukuran tahun 2015.
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ketenagakerjaan masih menjadi tantangan pembangunan pemuda. Sementara pemuda diharapkan semakin produktif mengingat produktivitas pemuda turut menyumbang kemajuan ekonomi bangsa. Partisipasi pemuda dalam aspek ketenagakerjaan akan memberikan gambaran sejauh mana kontribusi pemuda dalam aktivitas ekonomi.
Potret aspek ketenagakerjaan pemuda Indonesia tergambar dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2021 yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh pemuda bekerja, sisanya sekolah dan mengurus rumah tangga. Namun, potret ketenagakerjaan pemuda masih dihadapkan pada persoalan pengangguran, yakni sekitar 9 persen pemuda mencari kerja atau menganggur.
Merujuk hasil Sakernas Agustus 2021, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda sekitar 14,42 persen. Artinya, 14 dari 100 angkatan kerja pemuda tidak terserap dalam pasar kerja.
Mengatasi pengangguran pemuda ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk segera mencari solusinya, mengingat tingkat pengangguran terbuka pemuda dalam periode tujuh tahun terakhir angkanya lebih tinggi dari angka nasional (6,49 persen). Artinya, tingkat pengangguran pemuda lebih tinggi dibanding tingkat pengangguran dari kelompok umur lainnya.
Di samping itu, masalah produktivitas pemuda juga dihadapkan pada persoalan fenomena NEET (not in employment, education and training), yaitu pemuda yang tidak berada dalam dunia pendidikan (sekolah/kursus) ataupun tidak terserap pasar kerja.
Berdasarkan laporan Bappenas, 2021, fenomena ini terpotret mengalami peningkatan, dari 21,77 persen tahun 2019 menjadi 24,28 tahun 2020, kemudian meningkat lagi menjadi 26,64 tahun 2021. Artinya, satu dari empat pemuda tidak bekerja, tidak pergi ke sekolah, ataupun tidak sedang mengikuti kursus.
Baca juga : Sarjana Baru Hadapi Tantangan Ganda
Kewirausahaan
Kontribusi pemuda terhadap angka pengangguran yang cukup besar tentu akan berdampak pada pembangunan ekonomi. Bahkan, partisipasi kerja pemuda pun tidak cukup untuk mendongkrak pembangunan ekonomi, dikarenakan tidak semua pekerjaan memberikan output dan nilai tambah ekonomi yang tinggi.
Tercatat sekitar delapan persen pemuda bekerja merupakan pekerja tidak tetap. Hal ini juga perlu mendapat perhatian serius pemerintah karena kondisi tersebut rentan terhadap jerat kemiskinan.
Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan ini ialah dengan mengembangkan wirausaha. Pemerintah telah mendukung dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional tahun 2021-2024, serta Perpres Nomor 43 Tahun 2022 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan yang memberikan terobosan baru untuk mewujudkan pemuda yang berkualitas dan berdaya saing.
Terobosan tersebut semakin menguatkan cita-cita pemuda Indonesia yang tinggi untuk menjadi wirausaha. Beberapa survei menguatkan hal tersebut.
Jajak pendapat Litbang Kompas November 2019 kepada 542 anak muda di 34 provinsi mendapati empat dari 10 anak muda tersebut ingin menjadi wirausaha. Antusiasme pemuda ini lebih tinggi dibanding keinginan menjadi karyawan swasta atau pegawai negeri sipil (PNS).
Laporan World Economic Forum (WEF) ASEAN Youth Survey 2019 juga menyebutkan persentase pemuda Indonesia yang ingin menjadi wiraswasta adalah yang tertinggi (35,5 persen) di antara enam negara ASEAN yang disurvei.
Meski demikian, potret wirausaha muda Indonesia saat ini juga masih menghadapi sejumlah tantangan. Hasil Sakernas Agustus 2021 menunjukkan, dari 18 persen pemuda bekerja yang berstatus wirausaha, mayoritas adalah pemuda yang berusaha sendiri (69,14 persen). Hanya sebagian kecil pemuda wirausaha yang berstatus berusaha dengan dibantu buruh tetap/dibayar.
Hal ini menunjukkan kewirausahaan pemuda cenderung berada dalam skala kecil dengan mengandalkan tenaga sendiri atau pekerja tidak dibayar. Selain itu, minat lulusan sarjana menjadi wirausaha juga masih rendah sehingga masih didominasi wirausahawan dengan pendidikan SMP ke bawah.
Selaras, wirausaha kerah putih (white collar), yaitu jenis jabatan yang membutuhkan skill dan kompetensi yang tinggi, seperti tenaga profesional, teknisi, kepemimpinan, atau ketatalaksanaan, belum terlalu banyak keberadaannya.
Meski demikian, wirausaha kerah putih yang mencerminkan pekerja yang berkualitas atau memiliki latar belakang pendidikan yang baik, trennya menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Minat lulusan sarjana menjadi wirausaha masih rendah sehingga masih didominasi wirausaha dengan pendidikan SMP ke bawah.
Indikator persentase pemuda wirausaha kerah putih secara konsisten meningkat pada periode 2015-2021. Proporsi pada 2021 meningkat 0,13 poin atau naik sebesar 46 persen dari nilai tahun 2015.
Hal ini menjadi penanda positif mengingat wirausaha kerah putih juga menjadi indikator yang diukur untuk aspek lapangan dan kesempatan kerja dalam Indeks Pembangunan Pemuda.
Jika iklim berwirausaha ini bisa terus dikembangkan dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah, wirausaha kerah putih juga berpotensi mengurangi pengangguran dan meningkatkan sumbangsih pemuda dalam pembangunan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Perubahan Lanskap Pasar Tenaga Kerja Berisiko Tingkatkan Pengangguran