Industri Kain Sasirangan Bangkit Kembali
Pandemi Covid-19 memutar balik roda ekonomi di sentra industri kain khas sarisangan di Kota Banjarmasin. Inovasi menjadi kunci untuk pengembangan kain tradisional ini di tengah kehidupan ekonomi yang kembali bangkit.
Suatu hari jelang sore di awal bulan Oktober 2022, Kampung Sasirangan, tepatnya di Jalan Seberang Mesjid, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tampak lengang. Hampir tidak terlihat lalu lalang wisatawan atau pembeli yang menghampiri toko-toko kain sasirangan di sepanjang jalan itu. Bahkan beberapa dari belasan toko yang ada terlihat tutup.
Pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 memutar balik roda ekonomi di sentra industri kain khas Banjarmasin tersebut. Bahkan ketika wilayah itu masuk zona hitam, perajin kain sasirangan terpaksa menutup toko hingga beberapa bulan dan menghentikan produksi.
Padahal, sebelum pandemi, Kampung Sasirangan ini terkenal menjadi rujukan jika ingin membeli produk sasirangan, baik satuan maupun skala besar, dan sekaligus menjadi tujuan wisatawan membeli oleh-oleh.
Apalagi, sebelum pandemi ada perhelatan akbar, seperti peringatan Hari Pangan Nasional, yang dipusatkan di Kota Banjarmasin tahun 2018 dan Haul Guru Sekumpul yang diselenggarakan di Martapura dan mendatangkan tamu dari mancanegara.
Momentum-momentum tersebut menjadi kesempatan bagi perajin meraup keuntungan besar. Namun, kesempatan seperti itu lenyap dengan datangnya gelombang pandemi.
Kini, setelah pandemi Covid-19 melandai, perlahan industri kain khas dengan belasan motif yang sudah dipatenkan ini kembali bangkit. Peran pemerintah daerah yang kembali menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti Banjarmasin Sasirangan Festival dan MTQ, menjadi penyemangat para perajin untuk kembali produktif menyirang (menjelujur) benang-benang untuk menghasilkan kain dengan motif yang indah dan khas.
Baca juga : Panggung Baru Kreativitas Wastra Sasirangan
Dampak pandemi
Hantaman badai pandemi Covid-19 sangat dirasakan para perajin kain sasirangan. Salah satunya Siti Maimunah (53), pemilik toko Amay Sasirangan, yang merasakan anjloknya penjualan hingga lebih dari 50 persen. Siti bahkan sempat beralih usaha dengan membuka katering untuk menyiasati usaha kain sasirangan yang tengah meredup.
Sebelum pandemi, dalam sehari 50-an lembar kain bisa terjual dengan omzet Rp 5 juta sampai Rp 10 juta per hari dari harga seratus ribuan hingga jutaan rupiah. Bahkan, kain sasirangan berbahan sutra dan tenun seharga Rp 1 juta sampai Rp 5 juta dengan mudah bisa terjual. Demikian disampaikan perajin yang turut merintis berkembangnya sentra kerajinan kain sasirangan di lokasi tersebut.
Usaha kain sasirangan Amay Sasirangan berawal ketika sekitar tahun 1990an, Siti yang kala itu masih menjadi pelajar SMA mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Banjarmasin.
Awalnya kain sasirangan hasil karya beberapa perajin dititipkan untuk dijual di Toko Citra, salah satu toko besar di Banjarmasin. Kemudian, usaha itu berkembang dengan dibangunnya toko-toko kain sasirangan di sepanjang Jalan Seberang Mesjid hingga dikenal menjadi Kampung Sasirangan dan menjadi destinasi wisata.
Kain sasirangan juga semakin mendunia dengan keikutsertaan perajin dalam pameran di luar negeri. Pada tahun 2018, Siti sempat mengikuti pameran di Vietnam dan mendapat pesanan kain pantai dalam jumlah besar. Sayangnya, rencana pameran di Belanda terpaksa dibatalkan karena pandemi.
Saat pandemi, kendala juga dialami dalam mendapatkan bahan baku kain yang dipesan dari Solo, Jawa Tengah, yang juga mengalami kendala produksi. Akibatnya, terjadinya kelangkaan bahan baku sehingga harus dilakukan inden dengan waktu yang cukup lama.
Perajin lain yang juga terpukul dengan kondisi pandemi Covid-19 adalah Farida (52). Penerus usaha ibunya, Rusmiati (alm), dengan merek Rose Sasirangan ini mengeluhkan susahnya menjual kain-kain sasirangan produksinya.
Untuk mendapatkan pembeli 1-2 lembar kain saja, perajin yang sudah belajar membuat kain sasirangan dari ibunya sejak di bangku SMP itu harus sabar menunggu berjam-jam.
Sambil menunjukkan pada Kompas hasil menyirang kain yang dibuatnya dan menjelaskan tahapan pembuatan kain sasirangan, Farida mengatakan selama pandemi sudah mengurangi jumlah pekerja dan mengerjakan sendiri proses menyirang di sela-sela waktu menunggu tamu di toko.
Kain sasirangan adalah salah satu wastra (kain tradisional) Nusantara yang berasal dari kata sirang, artinya jelujur atau menjahit jarang-jarang yang merupakan teknik pembuatan kain ini.
Tahapannya dimulai dari pembuatan motif pada kain, kemudian dijelujur, diikat dengan tali, dan dicelupkan ke bahan pewarna. Setelah itu, ikatan dan jahitan dilepas, dicuci, lalu dikeringkan sampai menjadi kain yang siap dijual. Prosesnya lebih kurang satu minggu.
Tak dapat dimungkiri, pandemi sangat memukul pelaku UMKM, termasuk perajin kain sasirangan. Keterbatasan aktivitas masyarakat di luar rumah dan pemberlakuan pembelajaran daring serta bekerja dari rumah berimbas pada menurunnya permintaan seragam dari kain sasirangan yang biasanya dalam jumlah besar.
Selain itu, jumlah wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang menurun akibat pembatasan penerbangan juga membuat Kampung Sasirangan sepi pengunjung.
Data Kota Banjarmasin dalam Angka menunjukkan, jumlah tamu mancanegara yang menginap di hotel berbintang turun drastis hingga 94 persen, yakni dari 4.350 tamu pada tahun 2019 sebelum pandemi menjadi hanya 251 tamu di tahun 2020. Jumlah tamu domestik juga turun 83 persen dari 627.604 tamu di tahun 2019 menjadi hanya 109.853 tamu di tahun pertama pandemi.
Baca juga : Animo Tinggi Merajut Sasirangan
Bangkit kembali
Seperti judul lagu ”Badai Pasti Berlalu”, kondisi pandemi yang semakin membaik menjadi momentum bagi pelaku industri kecil kain sasirangan untuk bangkit kembali.
Mulai meningkatnya jumlah wisatawan domestik dan mancanegara yang datang di ”Kota Seribu Sungai” tahun 2021 dan 2022 membuat geliat kriya wastra ini semakin kuat. ”Meski harus memulai lagi dari nol dan masih melakukan penghematan biaya produksi,” ungkap Siti Maimunah.
Upaya penghematan yang dilakukan antara lain tidak lagi mempekerjakan tenaga untuk mewarnai dan memilih mengerjakan sendiri. Hal itu bisa menghemat biaya sekitar Rp 400.000 per hari untuk membayar dua tenaga dalam proses pewarnaan.
Namun, proses menyirang masih dilakukan sekitar 50 pekerja. Farida juga memilih menyirang sendiri dan mengurangi sebagian pekerjanya karena upah untuk menyirang pun meningkat dari Rp 3.000 menjadi Rp 5.000 per kain.
Bangkitnya industri kecil kain sasirangan juga tak lepas dari dukungan dan peran serta pemerintah daerah.
Bangkitnya industri kecil kain sasirangan juga tak lepas dari dukungan dan peran serta pemerintah daerah. Sejumlah kegiatan yang mendatangkan banyak pengunjung dari luar daerah membuat industri ini semakin bergairah.
Banjarmasin Sasirangan Festival (BSF) ke-6, agenda rutin tahunan yang baru saja ditutup pada 1 Oktober lalu, bahkan dikabarkan mencapai total transaksi Rp 831 juta lebih atau meningkat dibandingkan dengan acara sebelumnya.
Sebagai warisan budaya Banjar, eksistensi kain sasirangan harus terus dipertahakan dan diangkat menjadi kebanggaan baik di tingkat lokal maupun nasional. Apalagi, sasirangan memiliki nilai sejarah tinggi terkait Kerajaan Banjar.
Sasirangan yang dikenal luas saat ini merupakan modifikasi dari kain pamintaan (permintaan), yaitu kain khas suku Banjar yang harus dipesan terlebih dahulu dan digunakan untuk pengobatan atau penolak bala secara tradisional atau batatamba (penyembuhan). Kain tersebut merupakan kain sakral warisan abad ke-12 saat Lambung Mangkurat menjadi Patih Negara Dipa atau cikal bakal Kerajaan Banjar.
Sasirangan setidaknya mengenal 19 motif yang telah dipatenkan, di antaranya sarigading, ombak sinapur karang (ombak menerjang batu karang), hiris pudak (irisan daun pudak), bayam raja (daun bayam), kambang kacang (bunga kacang panjang), naga balimbur (ular naga), daun jeruju (daun tanaman jeruju), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), dan kulat karikit (jamur kecil).
Ada juga motif gigi haruan (gigi ikan gabus), turun dayang (garis-garis), kangkung kaombakan (daun kangkung), jajumputan (jumputan), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), dara manginang (remaja makan daun sirih), putri manangis (putri menangis), kambang cengkeh (bunga cengkeh), awan beriring (awan sedang diterpa angin), dan benawati (warna pelangi).
Dalam perkembangannya, kain sasirangan pun berinovasi, tak hanya diperjualbelikan dalam bentuk kain, tetapi juga dijahit menjadi kemeja, gaun, kerudung, topi, selendang, tas, dan aksesori lain. Untuk itu, eksistensi kain sasirangan harus terus dipertahankan dan didukung untuk bangkit kembali.
Perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran Nasional XXIX tahun 2022 di Kalimantan Selatan pada 10-18 Oktober ini diharapkan akan membuat ekonomi lokal semakin bergairah dan menjadi pemantik kebangkitan ekonomi yang lebih baik bagi perajin sasirangan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Berburu Wastra Banjar di Kampung Sasirangan