Pelatihan membuat wastra sasirangan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, banjir peminat. Keterampilan membuat sasirangan dianggap penting dan menjadi kunci untuk melestarikan sasirangan dari generasi ke generasi.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Bukan hanya orang tua, anak muda pun menggandrungi sasirangan. Ada kebanggaan yang tersirat ketika mereka bisa membuat kain tersebut dan memakainya.
Sekitar 40 orang memadati tempat lokakarya Rumah Kreatif dan Pintar di Kelurahan Basirih Selatan, Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (17/9/2022). Mereka begitu antusias mengikuti pelatihan membuat sasirangan dan ecoprint dengan bahan pewarna alami dan sintetis.
Rizwan Alfahresy (20), salah satu peserta pelatihan, terlihat serius menjelujur benang pada pola yang sudah dibuat di kaus putih polos. Dengan sangat hati-hati, ia menusuk jarum pada pola, lalu menarik benangnya sehingga menutupi pola berbentuk daun.
”Ternyata membuat sasirangan tidak semudah yang dikira. Lumayan rumit juga,” ujar mahasiswa semester lima Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Banjarmasin (Poliban) itu.
Rizwan baru pertama kali mengikuti pelatihan membuat sasirangan. Sebelumnya, ia sempat satu kali mencoba membuat sasirangan dengan belajar dari Youtube. Namun, gagal total. ”Waktu itu, bingung juga di mana salahnya, padahal sudah mengikuti tutorial,” ceritanya.
Karena itu, begitu mendapat informasi pelatihan membuat sasirangan dan ecoprint gratis dari Yayasan Rumah Kreatif dan Pintar, Rizwan pun tancap gas untuk mendaftar.
Selain penasaran dengan cara membuat sasirangan, ia merasa mahasiswa juga wajib memiliki keterampilan khusus agar bisa bersaing di dunia kerja ataupun membuka lapangan kerja sendiri.
”Saya menganggap keterampilan membuat sasirangan itu wajib dikuasai anak muda karena ini adalah kain khas Banjar yang harus tetap dilestarikan. Jangan sampai kita lebih familier dengan produk luar daripada produk lokal dari daerah sendiri,” katanya.
Kain sasirangan adalah kain yang dibuat dengan teknik tusuk jelujur. Sasirangan sendiri berasal dari kata menyirang, yang berarti menjelujur atau menjahit jarang-jarang. Pembuatannya dimulai dari pembuatan motif pada kain, kemudian dijelujur, diikat dengan tali, dan dicelupkan ke bahan pewarna. Setelah itu, ikatan dan jahitan dilepas, dicuci, lalu dikeringkan dan disetrika.
Sasirangan bisa dikatakan sebagai modifikasi dari kain pamintan yang merupakan kain khas suku Banjar untuk pengobatan secara tradisional atau batatamba. Kain tersebut merupakan kain sakral warisan abad ke-12 saat Lambung Mangkurat menjadi Patih Negara Dipa atau cikal bakal Kerajaan Banjar. Namun, penggunaan sasirangan kemudian meluas dan banyak digunakan sebagai bahan baku busana.
Jika Rizwan merasa perlu memiliki keterampilan membuat sasirangan, apalagi Sri Mahriani (50), yang berprofesi sebagai penjahit. Selama ini, ia kerap menjahit baju ataupun pakaian berbahan sasirangan. Namun, kain sasirangan itu didapatkan dari perajin lain.
”Ini pelatihan pembuatan sasirangan pertama yang ulun (saya) ikuti. Ulun ikut pelatihan karena ingin bisa bikin sasirangan. Nanti, kalau ada orang mau jahit baju sasirangan, ulun sudah punya bahan sendiri,” katanya.
Menurut Sri, teori dan praktik pembuatan sasirangan yang diajarkan oleh para mentor di Rumah Kreatif dan Pintar cukup mudah dipahami. Dalam lokakarya itu, ia berhasil membuat baju kaus sasirangan dari bahan baju kaus putih polos.
”Alhamdulillah, akhirnya bisa bikin baju kaus sasirangan. Hasilnya juga sudah lumayan bagus. Nanti, mau coba lagi bikin sendiri di rumah supaya semakin terampil membuat sasirangan dengan kualitas baik,” ujarnya.
Jehan Aprilia Rahmah (19), mahasiswi Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjari, bersyukur masih bisa belajar membuat sasirangan dan ecoprint. Teori dan praktik yang didapatkan menjadi pengetahuan dan keterampilan baru baginya, yang belum pernah mengikuti pelatihan semacam itu.
”Dalam pelatihan kali ini, saya dapat kesempatan praktik membuat ecoprint. Kalau ada pelatihan lagi, saya mau praktik membuat sasirangan. Saya memang bertekad untuk bisa membuat keduanya,” kata mahasiswi semester tiga jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi itu.
Di Banjarmasin yang menjadi pusat sasirangan, pelatihan membuat sasirangan masih langka didapat seusai pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, pelatihan serupa juga pernah diadakan koperasi ataupun pemerintah daerah.
Pada 2020, misalnya, Koperasi Barakat Amanah Sejahtera menggelar pelatihan sasirangan dan ecoprint di Rumah Sasirangan Kreatif, Banjarmasin. Pelatihan tersebut diikuti 22 orang. Peserta membayar Rp 150.000 untuk dapat mengikuti pelatihan. Namun, selama pandemi, berbagai pelatihan yang sering kali digelar oleh komunitas dan pemda praktis terhenti.
Rumah Kreatif dan Pintar kini mulai mengawali lagi pelatihan gratis sasirangan untuk warga seusai vakum lama. Pelatihan yang sudah dinanti warga ini pun disambut antusias.
Jehan beruntung mendapatkan kesempatan belajar. Rekannya banyak yang berminat, tetapi mereka tak tertampung karena kuota telah penuh. Menurut Jehan, malam ia masih bisa mendaftar, tetapi paginya telah ditutup karena kuota telah penuh.
Ketua Yayasan Rumah Kreatif dan Pintar Muhammad Aripin tidak menyangka tingginya animo masyarakat untuk mengikuti lokakarya pembuatan sasirangan dan ecoprint. Kegiatan tersebut terakhir kali diadakan pada akhir tahun 2019 dan terhenti karena pandemi.
Menurut Aripin, Rumah Kreatif dan Pintar sebetulnya hanya membuka kelas pelatihan untuk 30 orang karena kapasitas tempat lokakarya yang terbatas. Namun, karena yang mendaftar lebih dari 80 orang, kuota peserta dinaikkan menjadi 40 orang. ”Dengan sangat terpaksa, para pendaftar pun harus kami seleksi,” ujarnya.
Aripin mengatakan, sasaran pelatihan memang masyarakat umum. Namun, yang diprioritaskan adalah mereka yang kurang mampu secara ekonomi sehingga perekonomiannya perlu disokong. Kemudian, mahasiswa dengan tujuan untuk membangun karakter kewirausahawan serta para pengelola panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA).
”Sasirangan dan ecoprint adalah dua produk UMKM yang banyak peminatnya di pasar modern saat ini. Kami sendiri sudah kewalahan untuk memenuhi permintaan pasar sehingga memang harus dimunculkan perajin-perajin baru,” katanya.
Dengan berbagi ilmu diharapkan akan muncul perajin-perajin, desainer, bahkan seniman baru sasirangan. Dengan cara itu, kain kebanggaan masyarakat Banjar ini tidak hanya lestari, tetapi juga menghidupi.