Anak-anak muda Banjarmasin memanggungkan ikon budaya sendiri, yakni Sasirangan. Kain yang awalnya untuk pengobatan berkembang menjadi tren mode kekinian.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Pengunjung kawasan Bandarmasih Tempo Doeloe bersorak dan bertepuk tangan saat peragawati dan peragawan berlenggak-lenggok di Jalan Simpang Hasanuddin HM, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (18/9/2022) malam. Dengan penuh percaya diri, kawula muda itu memperagakan berbagai model busana sasirangan yang kini jadi identitas kebanggaan mereka.
Jalan Simpang Hasanuddin HM pada Minggu malam berubah menjadi catwalk. Di tengah jalan buntu dengan kafe dan resto di kiri kanannya itu diberi garis putih dan lampu bercahaya kuning. Beberapa boks diletakkan di catwalk dengan jarak yang sudah diatur. Dengan iringan musik, satu per satu anak muda berbusana sasirangan berjalan di tengah kerumunan pengunjung kafe dan resto.
Para pengunjung yang berjubel di kiri dan kanan garis catwalk berlomba-lomba mengabadikan momen peragaan busana itu. Dengan menggunakan telepon genggam masing-masing, mereka memotret serta memvideo para model yang berlenggak-lenggok dengan sangat energik dan kerap menebarkan senyuman.
Kegiatan peragaan busana sasirangan pada malam itu merupakan ajang DekraShow III yang diadakan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Banjarmasin. Ajang tersebut termasuk dalam rangkaian acara Banjarmasin Sasirangan Festival (BSF) Ke-6, yang akan diselenggarakan pada akhir September 2022.
Peragawati dan peragawan yang menampilkan sasirangan pada malam itu tidak hanya dari kalangan model lokal, tetapi juga dari anak-anak, pengelola kafe dan resto di kawasan Bandarmasih Tempo Doeloe, hingga para pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Banjarmasin.
Muhammad Syamsuddin (27), salah satu pengunjung kafe, menyatakan kagum dan bangga menyaksikan acara fashion show sasirangan di kawasan Bandarmasih Tempo Doeloe, yang juga dikenal sebagai kawasan kota lama. ”Kalau saja tahu ada acara seperti ini di kota lama, mungkin saya juga akan pakai baju sasirangan,” katanya sambil tertawa.
Pemuda yang akrab dipanggil Sem itu juga mengapresiasi berbagai model busana sasirangan yang diperagakan, mulai dari baju kaus, kemeja, jaket, rompi, gaun, rok, syal, hingga topi dan tas. ”Semuanya keren dan mantap. Mudah-mudahan sasirangan bisa mendunia dan jadi kebanggaan sehingga Kota Banjarmasin juga lebih terkenal,” ujarnya.
Rizki Amelia (23), pengunjung lainnya, juga kagum dengan busana sasirangan yang semakin beragam modelnya. Busana sasirangan terlihat manis dan elegan saat dikenakan anak-anak, orang muda, hingga orang tua.
”Model busananya bagus-bagus dan sesuai dengan fashion anak muda zaman sekarang. Saya sangat tertarik dan juga lebih suka sasirangan kombinasi, misalnya kain hitam polos dikombinasikan dengan sasirangan berwarna ungu atau hijau. Jadi tidak full sasirangan,” tutur Amel.
Mudah-mudahan sasirangan bisa mendunia dan jadi kebanggaan sehingga Kota Banjarmasin juga lebih terkenal.
Kain sasirangan adalah kain yang dibuat dengan teknik tusuk jelujur. Sasirangan berasal dari kata menyirang, yang berarti menjelujur atau menjahit jarang-jarang. Proses pembuatannya dimulai dari pembuatan motif pada kain, kemudian dijelujur, diikat dengan tali, dan dicelupkan ke bahan pewarna. Setelah itu, ikatan dan jahitan dilepas, dicuci, lalu dikeringkan dan disetrika.
Sasirangan bisa dikatakan sebagai modifikasi dari kain pamintan, yang merupakan kain khas suku Banjar untuk pengobatan secara tradisional atau batatamba. Kain tersebut merupakan kain sakral warisan abad ke-12 saat Lambung Mangkurat menjadi Patih Negara Dipa. Namun, penggunaan sasirangan kemudian meluas dan banyak digunakan sebagai bahan baku busana.
Rabiatul Adawiyah, salah satu desainer busana sasirangan di Banjarmasin, menuturkan, kain sasirangan terus berkembang dan berinovasi, terutama dalam motif dan warna. Motif sasirangan di zaman sekarang tidak selalu mempertahankan motif pakem, seperti gigi haruan, naga belimbur, bayam raja, dan ular lidi. Akan tetapi, sudah cukup banyak motif baru yang diciptakan perajin sesuai kreativitas masing-masing, misalnya bunga tulip, bunga matahari, dan daun kelakai.
Begitu pula halnya warna kain sasirangan, yang sebelumnya lebih banyak berwarna cerah atau ngejreng, kini lebih banyak yang berwarna kalem atau soft. ”Kalau ingin menyasar kalangan muda, kami lebih sering menggunakan kain sasirangan dengan motif yang tidak terlalu ramai dan warna-warna kalem,” ujarnya.
Di samping motif dan warna, menurut Suraida Mahda Yanti, desainer muda Banjarmasin, model busana sasirangan juga sangat menentukan selera anak muda. ”Kalau targetnya adalah anak muda, saya kerap bikin model pakaian casual (santai). Pakaian model itu biasanya mengombinasikan kain sasirangan dengan bahan polos,” katanya.
Suraida yang berkesempatan menampilkan tiga busananya dalam acara DekraShow III mengatakan, sasirangan selama ini lekat dengan kesan baju formal untuk kerja ataupun untuk acara-acara resmi. Padahal, sasirangan juga bisa dipakai kapan pun, di mana pun, dan oleh siapa pun. Tentu saja, itu sangat bergantung pada model pakaiannya.
”Sebagai desainer, kami memang lebih fokus menciptakan model-model baju yang sesuai dengan selera anak muda. Namun, kami tetap berkolaborasi dengan perajin agar mereka juga membuat sasirangan yang cocok untuk anak muda,” tuturnya.
Ruang promosi
Kain sasirangan tak hanya menjadi ikon Banjarmasin, tetapi juga sudah menjadi ikon Kalsel. Untuk memopulerkan kain sasirangan, Pemerintah Kota Banjarmasin sejak 2016 menggelar Banjarmasin Sasirangan Festival (BSF). Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina menetapkan BSF sebagai salah satu agenda dalam kalender wisata Kota Banjarmasin.
Ketua Dekranasda Kota Banjarmasin Siti Wasilah mengatakan, kegiatan DekraShow melibatkan desainer senior yang tergabung dalam Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) serta desainer muda yang dibina sejak ajang dekrashow pertama. Para desainer muda itu juga telah mengikuti pelatihan yang diadakan Dekranasda bersama Kementerian Perindustrian.
”Dekrashow ini menjadi ruang promosi atau panggung bagi para desainer Banjarmasin untuk menampilkan busana sasirangan dan memperkenalkan karya mereka kepada masyarakat,” ujarnya.
Menurut Siti Wasilah, BSF bertujuan untuk mendorong perajin kain sasirangan agar lebih maju, kreatif, dan berdaya secara ekonomi. Dalam kegiatan BSF terdapat unsur edukasi (melalui lokakarya), unsur pembinaan (melalui forum diskusi sasirangan serta lomba desain dan motif sasirangan), serta unsur pemasaran (melalui pameran dan festival).
Pada ajang Dekrashow tahun ini, Wasilah mengatakan, pihaknya memilih kawasan kota lama dengan maksud untuk mendekatkan sasirangan hasil kreasi para desainer muda kepada anak muda. ”Kami berharap anak muda di Banjarmasin bangga memakai sasirangan,” katanya.
Wasilah memastikan, peragaan busana sasirangan tidak hanya terbatas di Banjarmasin. Dalam berbagai kesempatan pameran tingkat nasional, sasirangan selalu ditampilkan. Sasirangan dari Banjarmasin bahkan sudah sampai ke Belanda melalui jaringan kota pusaka.
Sasirangan yang berawal dari kain pengobatan kini menjelma menjadi tren mode di kota sendiri. Kain ini menjadi identitas diri di tengah gempuran budaya asing.