Analisis Litbang "Kompas": Sikap Politik Kelas Menengah yang Ambigu di Pemilu 2024
Sikap politik kelas menengah turut menentukan corak perpolitikan Indonesia. Temuan survei Litbang “Kompas” memotret sikap politik kelas menengah di Indonesia yang masih ambigu.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·6 menit baca
Laporan Bank Dunia 2020 bertajuk “Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class” menunjukkansudah ada 52 juta orang di Indonesia yang masuk kategori kelas menengah.Status sosial ekonomi ini dilihat dari kondisi seseorang yang aman secara ekonomi dengan sedikit kemungkinan jatuh ke dalam kemiskinan. Dalam kalkulasi penghasilan, kondisi aman ini menurut Bank Dunia mensyaratkan memiliki pendapatan antara Rp 1,2 juta dan Rp 6 juta per orang per bulan.
Bank Dunia juga melihat peningkatan potensi jumlah kelas menengah Indonesia. Penghitungan ini didasarkan fakta bahwa ada 45 persen populasi atau sekitar 115 juta orang yang menuju status kelas menengah. Mereka sudah bebas dari kemiskinan, tetapi belum mencapai gaya hidup kelas menengah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dengan demikian kelas menengah akan menjadi salah satu ceruk pemilih yang ikut menentukan dalam pemilu 2024 nanti. Oleh karena itu, mencermati bagaimana sikap politik kelas menengah akan mempertajam peta percaturan politik di Indonesia.
Survei Litbang Kompas Juni 2022 merekam corak kelas menengah dalam menentukan pilihan kepada partai politik. Pengelompokkan kelas menengah yang digunakan dilihat dari pengeluaran keluarga per bulan dan daya listrik di rumah.
Hasil survei menunjukkan kelas menengah bawah maupun menengah atas menjadi kelompok yang paling banyak sudah menentukan pilihan partainya dibandingkan kelompok kelas sosial lainnya. Hanya sekitar 14,2 persen kelompok kelas menengah bawah dan 16,6 persen kelas menengah atas saja yang belum menentukan pilihan partai politik.
Sementara masih ada sekitar 17,3 persen responden kelas sosial bawah dan 17,8 persen responden kelas sosial atas yang belum menentukan pilihan partainya. Data ini paling tidak menegaskan sebuah poin penting. Kelas menengah menjadi kelompok yang masih menunjukkan harapan besar terhadap politik dengan indikasi motif mempertahankan posisi kelas maupun menaikkan tingkat kelas sosialnya. Mereka berharap bahwa partai politik yang dipilih bisa menjadi tumpuan harapan tersebut.
Makin menarik lagi jika mencermati partai-partai mana saja yang sementara ini menjadi pilihan kelas menengah tersebut. Untuk mempermudah pencermatan sikap politik kedua kelas ini, bisa dipilah dua poros besar haluan politik partai-partai di Indonesia. Meskipun menganut sistem multipartai, namun dua poros besar yang bertarung dalam kancah politik Indonesia sejauh ini adalah partai-partai yang diidentikkan berbasis ideologi nasionalis dan partai-partai dengan basis agama Islam.
Dalam pilihan partai berhaluan nasionalis, sekaligus juga yang tinggi elektabilitasnya, baik kelas menengah bawah maupun kelas menengah atas punya kecenderungan yang sama. PDI-P dipilih oleh 23,7 persen kelas menengah bawah dan 21,3 persen kelas menengah atas.
Sementara 11,9 persen kelas menengah bawah dan 11,2 persen kelas menengah atas menjatuhkan pilihannya kepada Gerindra. Berikutnya Golkar dilipih oleh 11,4 persen kelas menengah bawah dan 11,2 persen kelas menengah atas. Dari sini nampak bahwa tak ada perbedaan signifikan dalam dua kelas menengah ini dalam hal pilihan yang nasionalis.
Hal yang berbeda muncul tatkala melihat pilihan dua kelas menengah ini untuk partai yang berprinsip agamis. PKS, PKB dan PAN merupakan tiga partai berbasis Islam namun dengan haluannya masing-masing. Dalam pilihannya di ketiga partai ini nampak perbedaan dalam kedua kelas ini. Akan tetapi, terlihat fenomena yang menarik untuk dicermati.
Kelas menengah bawah menjatuhkan pilihannya kepada PKB, PKS dan PAN secara merata. Sebanyak 5,6 persen responden kelas menengah bawah menjatuhkan pilihan politiknya kepada PKB. Sementara PKS dipilih oleh 4,7 persen responden. Berikutnya PAN dipilih oleh 5 persen responden kelas menengah bawah. Tidak ada perbedaan yang signifikan pilihan kelas menengah bawah dalam tiga partai tersebut.
Berbeda dengan kelas menengah bawah, kelas menengah atas menjatuhkan pilihannya lebih besar kepada PKS dibandingkan kepada PKB maupun PAN. Perbedaannya cukup signifikan. Tak kurang dari 10,1 persen responden kelas menengah atas menjatuhkan pilihannya kepada PKS. Sementara hanya 2,4 persen untuk PAN dan sekitar 1,8 persen saja untuk PKB yang menjadi pilihan kelas menengah atas.
Kontras
Dari dua pilihan yang kontras ini, nampak bahwa kelas menengah bawah tidak menunjukkan preferensi ideologis khusus untuk partai-partai Islam. Baik partai berhaluan Islam moderat maupun konservatif mendapatkan porsi yang sama di mata kelas menengah bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa kelas menengah tidak melihat adanya perbedaan partai Islam yang secara khusus dipandang akan berdampak pada kelas sosialnya.
Cara pandang yang berbeda ditunjukkan oleh kelas menengah atas. Kelas sosial ini memberi tempat khusus bagi PKS. Partai berideologi yang cenderung menunjukkan ciri konservatif ini nampaknya menjadi haluan politik Islami yang paling sesuai dengan kelas menengah atas. Porsi untuk PKS di mata kelas menengah atas sama dengan partai bercorak nasionalis seperti Gerindra dan Golkar. Hal ini mencerminkan kelas sosial menengah atas yang cenderung bersikap konservatif dalam politik.
Dua hal kontras ini juga memperlihatkan sikap politik yang ambigu di kedua kelas ini. Kedua kelas ini sepakat partai bercorak nasionalis yang paling sesuai dengan cita-cita politiknya. Namun bicara dalam tataran partai berideologi agama, sikap ambigu kelas menengah bawah ditunjukkan dengan tidak adanya preferensi seperti apa yang dianut.
Sementara dalam kelas sosial menengah atas, ambiguitas nampak dari pilihan partai nasionalis yang kuat, namun pilihan partai Islam yang konservatif juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Secara hati-hati, ambiguitas ini juga bisa dimaknai dari sisi karakter kelas sosial menengah yang cenderung oportunis dalam usahanya menaikkan kelasnya yang sudah lumayan menjadi makin nyaman.
Menyoal sikap konservatif, jika ditarik ke belakang, fenomena sikap politik kelas menengah yang cenderung konservatif ini sudah muncul sekitar 10 tahun yang lalu. Survei Litbang Kompas mencatat adanya kecenderungan kelas menengah mengandalkan negara untuk menjaga stabilitas demokrasi. Ketika ada pandangan yang mempertentangkan nilai-nilai konservatisme dan kebebasan, ideologi konservatif dipilih sebagai sandaran (Kompas, 8/6/2012).
Kembali pada soal ambiguitas, bagaimana sikap abu-abu kelas menengah juga nampak dari alasan mereka memilih partai. Kedua kelas ini, sebagaimana juga terjadi di kelompok strata sosial yang lain, memandang tokoh berpengaruh dalam partai sebagai alasan terpenting menjatuhkan pilihan partai. Tokoh berpengaruh menjadi alasan memilih partai bagi 27,8 persen kelas menengah bawah dan 26,2 persen kelas menengah atas.
Nampak di sini bahwa alasan utamanya adalah hal yang kurang rasional. Namun, untuk alasan visi misi partai, alasan yang cenderung rasional, kedua kelas ini memberikan porsi lebih besar dibandingkan kelas bawah dan kelas atas. Tak kurang dari 13,4 persen masyarakat menengah bawah melandasi alasan memilih partai berdasarkan visi misi. Sementara itu 17 persen responden kelas menengah atas sepakat dengan alasan itu.
Ambigu
Dari sini nampak kelas menengah mencoba menunjukkan sikap politik yang cenderung rasional dalam memilih partai. Namun, sikap ini masih dibayangi alasan yang kurang rasional, yakni tokoh berpengaruh dalam partai. Perlu dicatat bahwa menonjolkan sosok yang berpengaruh menjadi cara paling konvensional partai politik dalam menjaring pemilih. Sekali lagi, kelas menengah masih menunjukkan sikap politik yang ambigu di sini.
Ambiguitas kelas menengah ini bisa dimaknai dari dua sisi. Di satu sisi, kelas menengah ini diisi oleh kaum pekerja menengah maupun pengusaha skala kecil hingga menengah. Dalam posisi ini kebijakan-kebijakan politis pemerintah menjadi salah satu faktor penting yang menjamin “kenyamanan” mereka berada di kelas ini.
Di sisi lain, sikap yang ambigu ini sangat mungkin juga dipengaruhi corak politik partai-partai politik di Indonesia yang masih cenderung oportunis. Ideologi partai kadang menjadi kabur arahnya ketika dari pemilu ke pemilu publik dipertontonkan bongkar pasang koalisi yang secara ideologis sejatinya tidak mungkin.
Dalam konteks ini bagaimana partai politik menentukan arah ideologis partai menjadi vital untuk membangun kedewasaan politik publik, terutama kelas menengah. Perpolitikan di Indonesia akan menjadi lebih menarik ketika partai-partai politik secara konsisten memperjuangkan ideologi politiknya, tidak hanya transaksional. Dalam nuasna politik yang idealis tersebut, kelas menengah yang mendominasi masyarakat Indonesia pun akan makin mantap dengan preferensi politiknya. (LITBANG KOMPAS)