Analisis Litbang "Kompas": Mencermati Preferensi Politik Publik Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berbagai faktor bisa memengaruhi kencederungan politik seseorang, salah satunya ialah tingkat pendidikan. Karenanya, memahami latar belakang pendidikan publik bisa menjadi upaya menyusun strategi kampanye yang relevan.
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·5 menit baca
Dalam model pemilihan umum langsung, berlaku sistem one man one vote. Artinya satu pemilih memiliki satu suara yang sama kekuatannya dengan pemilih lain. Dalam konteks ini, keberagaman latar belakang pemilih tidak memengaruhi kekuatan suaranya. Artinya apakah seorang dengan status majikan atau pekerja, pemilik bisnis besar maupun pengusaha kecil, rakyat jelata maupun birokrat memiliki bobot suara yang sama. Saat dia memakai hak pilih, satu pilihannya sah menjadi satu suara.
Akan tetapi, tidak berarti mengenali latar belakang calon pemilih menjadi tidak penting. Dalam tahun-tahun politik menjelang pemilu, mengenal secara lebih dalam publik yang akan menjatuhkan pilihannya justru menjadi modal krusial bagi partai politik untuk mengatur strategi elektoral. Semakin lengkap dan dalam pengenalan kecenderungan pilihan politik publik berdasarkan latar belakang keseharian mereka, semakin besar pula potensi keuntungan suara didapat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Preferensi politik publik setidaknya bisa dicermati lewat alasan mereka menjatuhkan pilihan politik. Survei Litbang Kompas pada Juni 2022 lalu mencatat, keberadaan tokoh berpengaruh menjadi alasan paling banyak publik menjatuhkan pilihan partai politik. Angkanya mencapai 27,6 persen. Alasan keberadaan tokoh sebagai dasar pilihan parpol diikuti alasan program kerja partai sebesar 13,5 persen dan visi misi partai 13 persen. Berada di bawah tiga alasan teratas tersebut, popularitas partai sebesar 12,6 persen dan ideologi partai sebanyak 9 persen.
Gambaran secara umum ini dapat dicermati dari dua sudut pandang. Di satu sisi, karakter publik dalam menjatuhkan pilihan partai masih cenderung dipengaruhi alasan yang relatif kurang rasional. Ketokohan atau sosok masih menjadi pegangan publik menjatuhkan pilihan partai.
Bahkan jika ketokohan partai digabungkan dengan alasan yang juga kurang rasional, hasilnya masih akan lebih besar dibandingkan dengan alasan yang relatif lebih rasional. Dalam hal ini dicontohkan faktor ketokohan digabung dengan faktor popularitas partai. Gabungan jawaban kedua faktor tersebut hasilnya masih lebih besar dibandingkan dengan alasan memilih berdasarkanpertimbangan rasional seperti visi misi, program kerja, maupun ideologi partai.
Aspek kedua yang dapat dilihat dari preferensi politik publik ini adalah munculnya ceruk suara. Dominannya pilihan publik yang melihat faktor ketokohan menjadi faktor ikatan psikologis dengan parpol. Dalam bahasa strategi elektoral parpol, mengidentifikasi sebuah partai dengan sosok tertentu, masih menjadi cara yang ampuh untuk mendulang suara.
Sosok
Fenomena ini semakin terlihat jika melihat kondisi partai-partai yang ada saat ini. Parpol papan atas seperti PDI-P, Gerindra, Nasdem, hingga Demokrat identik dengan sosok-sosok yang melekat pada parpol tersebut. Ketokohan Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Surya Paloh, hingga Susilo Bambang Yudhoyono menjadi daya tarik tersendiri bagi pendukung masing-masing parpol.
Sementara di partai papan menengah, identifikasi sosok relatif kurang kuat. Meski demikian partai-partai menengah ini masih memiliki faktor popularitas yang berasal dari dari corak partai. Corak yang cenderung agamis di tubuh PKB, PAN, PPP, hingga PKS sejauh ini mampu memberi pamor popularitas di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Faktor popularitas ini masih menjadi sandaran parpol papan tengah untuk menarik simpati publik.
Dari pencermatan dua faktor ini, ketokohan dan popularitas masih menjadi daya tarik yang paling dominan bagi publik dalam memilih parpol. Akibatnya, partai-partai yang tidak kuat dalam dua hal ini akan kesulitan untuk menaikkan dukungan suara.
Kembali pada alasan publik memilih partai yang direkam dalam survei, menjadi lebih menarik lagi ketika data ini dikupas berdasarkan tingkat pendidikan. Nampak ada perbedaan titik berat alasan memilih partai berdasarkan level pendidikan responden.
Responden dengan tingkat pendidikan dasar dan menengah menitikberatkan alasannya memilih parpol berdasarkan tokoh berpengaruh dalam partai. Tak kurang dari 30,1 persen responden berpendidikan dasar menyatakan alasan memilih partai karena sosok tokohnya. Selanjutnya, 25,4 persen responden tingkat pendidikan menengah beralasan sama. Sementara hanya 18 persen responden tingkat pendidikan tinggi yang mendasarkan pilihan partainya karena tokoh.
Responden yang mengenyam pendidikan minimal SMA ini lebih menitikberatkan alasan memilih partai karena visi dan misi. Sebanyak 22 persen responden berpendidikan tinggi memilih partai berlandaskan visi dan misi parpol. Dalam alasan ini, hanya 16,7 persen responden pendidikan menengah dan 9,4 persen responden pendidikan dasar saja yang sependapat.
Data ini memperdalam gambaran umum pada bagian sebelumnya. Artinya, perlu komunikasi politik yang harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan publik. Mengangkat tokoh yang kuat dalam partai akan lebih relevan jika berhadapan dengan publik yang tingkat pendidikannya cenderung lebih rendah. Sementara soal visi dan misi bisa menjadi jalan masuk untuk mengambil hati calon pemilih dengan latar belakang pendidikan lebih tinggi.
Dari perbandingan alasan tokoh dan visi misi ini pula tercermin bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden, preferensi politiknya cenderung lebih rasional. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan responden maka akan cenderung semakin kurang rasional preferensi politiknya.
Tak hanya kurang rasional, semakin rendah tingkat pendidikan, nampak semakin konservatif pula preferensi politik responden. Hal ini bisa dicermati tatkala melihat alasan memilih partai sebab memang “sudah suka dengan partai tertentu dari dulu”. Sebanyak 4,8 persen responden berpendidikan dasar mengaku hal tersebut menjadi alasan memilih partai. Sementara hanya 1,7 persen responden tingkat pendidikan menengah dan 1 persen responden berpendidikan tinggi menyatakan alasan yang sama.
Dari sini tergambar bahwa mengubah pilihan partai khalayak dengan pendidikan dasar nampaknya memerlukan perjuangan lebih gigih dibandingkan menawarkan alternatif pilihan pada calon pemilih berpendidikan menengah maupun tinggi. Sebab semakin rendah tingkat pendidikannya, semakin sulit kecenderungannya untuk berpindah pilihan partai.
Apa yang terlihat dari fenomena di atas makin menantang, sebab data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS Februari 2022 menunjukkan penduduk berusia 15 ke atas dengan pendidikan dasar mendominasi komposisi penduduk Indonesia. Dari total penduduk berusia 15 tahun ke atas, sekitar 58,5 persennya berpendidikan dasar yakni tidak bersekolah, tamatan SD dan tamatan SLTP. Sementara 30,7 persennya berpendidikan menengah, yakni lulusan SMA/SMK. Hanya sekitar 10,8 persen saja yang merupakan lulusan perguruan tinggi.
Fakta ini semakin menjelaskan secara gamblang mengapa preferensi publik secara umum soal pilihan partainya dilatarbelakangi alasan-alasan cenderung kurang rasional, yakni ketokohan, popularitas, maupun soal suka atau tidak suka. Dengan begitu, corak politik Indonesia beberapa tahun ke depan masih sangat mungkin bergerak dalam area ini.
Cara pandang
Salah satu yang pasti dalam pemilu adalah perebutan suara. Kekuasaan politik secara legal diraih dengan menjaring makin banyak pemilih. Dalam situasi ini, bisa terjadi dua paradigma sikap para peserta yang bertanding dalam kontestasi politik dalam memandang publik.
Pertama, peserta pemilu baik partai maupun calon pemimpin politik memandang publik sebagai komoditas. Dalam cara pandang ini, relasi para peserta pemilu dengan pemilihnya adalah transaksi jangka pendek. Artinya agenda utama adalah memenangkan kontestasi, setelahnya relasi itu putus.
Kedua, rakyat yang punya hak pilih dipandang sebagai partner politik. Dalam cara pandang ini ada sebuah kepentingan serasi antara pemilih dan yang dipilih untuk mencapai hidup bernegara sesuai dengan idealismenya. Dengan begitu, relasinya terbentuk dalam kurun waktu panjang.
Relasi antara parpol dan calon pemilihnya bisa dimulai dengan pendekatan politik dengan cara yang kontekstual. Faktanya, saat ini preferensi politik publik masih cenderung berkutat pada emosi dibandingkan rasionalitas. Meski demikian, fenomena tingkat pendidikan makin tinggi yang nyatanya menarik preferensi politik makin rasional, menunjukkan proses menuju politik yang makin dewasa.
Sinyal positif ini harus terus dijaga agar pesta demokrasi dalam pemilu tak hanya jadi ajang mengeruk suara, namun idealisme bernegara yang adil harus senantiasa diperjuangkan. Hanya saja, tujuan ideal berpolitik ini pasti akan menghadapi dinamika dan tarik-menarik kepentingan partai politik. Pragmatisme mengeruk sebanyak-banyaknya suara demi sebuah kemenangan politik akan terus berkelindan dalam idealisme untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)