Mengapa Publik Menolak Kompor Listrik?
Kritik dan apresiasi mewarnai rencana program peralihan kompor elpiji ke kompor induksi. Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang sudah batal ini agar publik bersedia mendukung program tersebut di masa mendatang.
Rencana pengalihan kompor elpiji menjadi kompor induksi sempat menuai pro dan kontra sebelum akhirnya dibatalkan. Penambahan daya listrik menjadi alasan utama penolakan publik terhadap rencana kebijakan itu. Dengan memahami alasan penolakan publik, masih ada peluang program tersebut dapat dijalankan secara bertahap dengan sasaran yang tepat.
Baru dua minggu informasinya bergulir kencang di kalangan masyarakat, PT PLN akhirnya memutuskan untuk membatalkan program konversi kompor elpiji 3 kilogram ke kompor induksi pada 27 September 2022. Langkah tersebut diambil guna menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat yang tengah beranjak pulih dari pandemi Covid-19.
Keputusan tersebut senada dengan suara masyarakat yang masih keberatan dengan rencana konversi kompor elpiji ke kompor induksi. Jajak pendapat Kompas 26-28 September lalu menemukan, enam dari sepuluh responden mengaku tidak setuju dengan rencana peralihan tersebut.
Nada penolakan datang dari semua kelompok masyarakat, terutama kaum ”emak-emak” yang umumnya lebih paham persoalan dapur. Sekitar 70 persen dari mereka dengan tegas menolak penggunaan kompor induksi.
Masyarakat dari semua kelompok status sosial ekonomi (SSE) pun serentak menolak program tersebut. Enam dari 10 responden kelompok SSE bawah dan menengah bawah mengaku tidak setuju. Hal yang cukup mengherankan adalah porsi penolakan dari masyarakat kelas atas justru paling tinggi, yakni 71,4 persen. Hanya kelompok SSE menengah atas yang menunjukkan tingkat penolakan sedikit lebih rendah, yakni 57 persen.
Jika ditilik lebih dalam secara regional, masyarakat di Sulawesi dan Jawa dengan tegas menolak program tersebut. Berbeda dengan masyarakat di Sumatera dan Kalimantan yang cukup terbelah merespons rencana tersebut. Lain halnya dengan di Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua yang dua pertiga respondennya menyatakannya setuju. Uniknya, sebagian besar dari mereka yang mengaku pernah menggunakan kompor induksi pun menyatakan tidak setuju dengan program tersebut.
Baca juga : Jalan Panjang Konversi LPG ke Kompor Induksi
Penambahan daya
Ragam alasan mewarnai penolakan tersebut. Namun, sekitar dua pertiga responden secara tegas menyatakan potensi naiknya beban listrik rumah tangga menjadi alasan mereka enggan memasak menggunakan kompor listrik.
Rupanya, iming-iming lebih hemat yang ditawarkan PLN sebagai penyedia listrik Tanah Air tak serta-merta ”meluluhkan hati” masyarakat. Dalam rapat dengar pendapat PLN bersama komisi VII DPR tanggal 14 September 2022 lalu, PLN menyebutkan bahwa penggunaan kompor induksi mampu menghemat pengeluaran rumah tangga sebesar 10-15 persen. Pihak PLN pun dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada penambahan daya. Tarif reguler tetap tidak mengalami kenaikan dengan jaminan biaya memasak lebih murah.
PLN juga sempat menampilkan hitung-hitungan perbandingan biaya memasak dengan kompor elpiji dan kompor induksi. Dalam sebuah simulasi tampak bahwa pelanggan yang menggunakan sekitar dua setengah tabung elpiji berukuran 3 kg (setara 7 kg elpiji) untuk memasak harus mengeluarkan biaya Rp 43.450 dalam sebulan. Dengan frekuensi memasak yang sama menggunakan kompor induksi, pengeluaran tersebut setara dengan konsumsi 57 kWh listrik yang hanya memerlukan biaya Rp 23.655 saja. Dengan kata lain, hanya separuh dari biaya penggunaan kompor elpiji.
Kendati demikian, kekhawatiran tersebut agaknya menjadi cukup wajar lantaran program bantuan tidak menyasar seluruh masyarakat. Sasaran utama program tersebut adalah rumah tangga PLN yang menerima subsidi listrik dengan daya 450 volt ampere(VA) dan 900 VA. Merujuk data yang dihimpun PLN, terdapat lebih dari 57 juta pelanggan PLN dengan daya listrik tersebut. Sebanyak 32,7 juta rumah tangga di antaranya merupakan pelanggan 450 VA dan 900 VA subsidi, sisanya adalah pelanggan 900 VA nonsubsidi.
Sementara itu, PLN menargetkan jumlah keluarga yang akan menerima manfaat program tersebut sebanyak 15,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) hingga tahun 2030 mendatang. Rencana awalnya, akan dibagikan kompor listrik beserta dua panci masak khusus kompor induksi kepada 300.000 KPM tahun ini. Selanjutnya, bertambah 5 juta KPM setiap tahun hingga 2025, dan kemudian jumlahnya diasumsikan konstan hingga tahun 2030.
Para penerima manfaat tidak hanya menerima seperangkat alat masak. PLN juga akan memasang miniature circuit breaker (MCB) atau jalur khusus untuk kompor induksi. Tujuannya, penerima manfaat tidak perlu menaikkan daya listrik. Penerima manfaat juga akan bisa mengetahui langsung berapa besaran biaya yang digunakan untuk memasak dengan jalur khusus tersebut.
Hanya, keterbatasan sasaran KPM pada pelanggan PLN 450 VA dan 900 VA membuat program kompor induksi itu menjadi sangat terbatas untuk sementara ini. Hanya sekitar seperempatnya yang menerima manfaat dari program tersebut. Sisanya belum mendapat kepastian atau bahkan kemungkinan besar harus mempersiapkan kompor listrik beserta alat memasaknya secara mandiri. Hal ini kemungkinan besar membuat sebagian pelanggan PLN 450 VA dan 900 VA keberatan untuk beralih.
Baca juga : Analisis Litbang ”Kompas”: Kebijakan Transisi Energi Belum Mendapat Dukungan Publik
Keengganan itu kian diperberat dengan peningkatan biaya listrik yang relatif besar. Daya yang dibutuhkan untuk kompor listrik cukup boros, yakni lebih dari 1.000 watt sehingga daya listrik di bawah 1.300 VA tidak akan mampu menampungnya. Belum lagi jika mereka juga bukan penerima subsidi listrik. Tarif listrik pun bukan tidak mungkin akan mengalami kenaikan di kemudian hari. Artinya, jika konversi dilakukan menyeluruh, hal itu berpotensi menambah beban pengeluaran cukup signifikan.
Oleh karena itu, tak heran jika responden dari semua kelompok daya listrik enggan beralih dari kompor elpiji ke kompor induksi. Bahkan, porsi penolakan responden yang menggunakan daya listrik lebih dari 1.300 VA lebih besar, mencapai 80 persen. Hal tersebut senada dengan kekhawatiran kelompok SSE atas dan menengah atas yang khawatir harus menaikkan daya listrik saat menggunakan kompor induksi.
Sebaliknya, proporsi kekhawatiran kenaikan daya listrik kelompok SSE menengah bawah relatif lebih kecil. Kelompok ini justru cukup mempertimbangkan tidak fleksibelnya kompor listrik untuk dibawa ke mana-mana, terutama untuk berdagang keliling. Mengingat sebagian di antara mereka berwirausaha atau berdagang sehingga membutuhkan alat masak yang dapat digunakan secara portabel.
Sementara itu, penolakan program tersebut bagi kelompok sosial ekonomi bawah lebih disebabkan ketidaktahuan cara penggunaan kompor induksi. Listrik padam juga menjadi persoalan dan kerepotan tersendiri saat menggunakan kompor listrik sehingga sebagian besar responden menolak rencana peralihan penggunaan energi untuk memasak itu.
Masih berpeluang
Kendati demikian, di tengah derasnya penolakan dari sebagian besar responden, masih ada nada optimisme untuk merealisasikan program tersebut. Sekitar empat dari 10 responden menyatakan setuju dengan peralihan kompor elpiji ke kompor induksi. Nada optimisme ini salah satunya datang dari kelompok centenial yang notabene adalah generasi muda berusia kurang dari 20 tahun.
Enam dari 10 responden centenial dengan yakin menyatakan setuju akan konversi kompor elpiji ke kompor listrik. Bisa jadi keyakinan ini muncul karena sebagain besar di antara mereka belum memahami betul persoalan dapur. Meskipun demikian, hal ini tetap saja menjadi peluang akan keberlanjutan program transisi energi itu.
Secara umum, kelompok centenial itu merupakan generasi yang belum banyak memanfaatkan kompor elpiji untuk keperluan pribadi secara mandiri. Sebagin besar masih bergantung dan tinggal bersama orangtua. Kondisi ini menjadi peluang untuk menawarkan kompor induksi kepada kelompok centenial ini ketika hendak memasuki dunia rumah tangga. Pasalnya, telanjur nyaman dengan kompor elpiji menjadi salah satu alasan masyarakat enggan beralih ke kompor induksi. Ini seperti dinyatakan 6,5 persen responden jajak pendapat.
Peluang kedua tampak dari optimisme masyarakat, terutama dari kawasani timur Indonesia, yakni Bali-Nusra dan Maluku-Papua. Sekitar dua pertiga responden di sana menyatakan setuju dengan penggunaan kompor listrik. Keyakinan masyarakat di Bali boleh dikatakan cukup valid lantaran di sanalah lokasi uji coba pertama kali penggunaan kompor induksi oleh PLN. Sejumlah alasan diutarakan oleh responden terkait dukungannya terhadap penggunaan kompor listrik.
Selain hemat, kompor induksi juga lebih mempertimbangkan kebersihan dan kesehatan lingkungan. Dengan kompor listrik, polusi udara akibat asap dapur dapat dikurangi. Hal serupa juga dinyatakan oleh responden di Bali-Nusra dan Maluku-Papua.
Meskipun demikian, pengembangan kompor induksi di Indonesia timur memiliki tantangan tersendiri, yakni pasokan listrik yang belum stabil. Namun, peluang tersebut masih dapat diupayakan mengingat konversi ke kompor induksi masih berlangsung dalam tempo relatif lama. Cukup bagi wilayah dengan tingkat elektrifikasi masih relatif rendah di Indonesia timur untuk meningkatkan lagi kapasitas pasokan listriknya kepada pelanggan.
Baca juga : Sensitivitas Publik dan Problem Konversi Kompor Gas ke Induksi
Peluang berikutnya datang dari sebagian kelompok yang bersedia beralih ketika mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mereka lebih banyak datang dari kelompok SSE bawah dan menengah bawah.
Muncul juga peluang lain dari masyarakat kelompok sosial ekonomi atas dan menengah atas yang menyatakan siap jika memang harus beralih ke kompor induksi. Bahkan, mereka bersedia meskipun harus membeli sendiri kompor dan peralatan masaknya. Dengan kata lain, cukup ada kesadaran akan kemampuan finansial dari mereka.
Besarnya peluang keberlanjutan program itu juga tersirat dari ”kesanggupan” dari sebagian besar responden untuk menyesuaikan dengan kebijakan yang diterapkan. Ketika simulasi konversi terpaksa harus dilakukan, lebih dari 60 responden menyatakan bersedia untuk beralih menggunakan kompor induksi. Namun, sebagian besar dari mereka tetap akan berjaga-jaga dengan menyediakan kompor elpiji. Responden yang menyatakan akan sepenuhnya menggunakan kompor induksi relatif sangat minim, yakni hanya sekitar 10 persen.
Dari gambaran riset tersebut, tersirat bahwa masih ada peluang program konversi itu tetap dapat dijalankan secara bertahap. Namun, baik pemerintah maupun PLN perlu merumuskan siapa saja yang bisa menjadi target konversi ketika program tidak bisa direalisasikan secara menyeluruh.
Pemerintah dan PLN pun masih perlu mengkaji ulang dan merinci secara lebih detail perbandingan biaya yang harus ditanggung masyarakat nantinya. Kekhawatiran akan penambahan daya perlu dijawab dengan kejelasan skema yang akan berlaku jika konversi benar-benar dilakukan.
Sosialisasi pun perlu diperluas dan dapat melibatkan pemerintah daerah agar informasi tersalurkan dengan tepat. Apalagi, masih cukup banyak warga masyarakat yang belum mengetahui program tersebut. Bagaimanapun, program ini memiliki manfaat yang sangat besar. Mungkin berat untuk diterapkan saat ini, tetapi akan memiliki manfaat yang besar di masa depan. Tidak hanya meringankan beban subsidi energi negara, tetapi juga turut mereduksi emisi karbon sehingga berkontribusi pada lingkungan yang lebih bersih dan sehat. (LITBANG KOMPAS)