Jalan Panjang Konversi LPG ke Kompor Induksi
Konversi LPG ke kompor induksi mampu mengurangi beban subsidi keuangan negara sekaligus mereduksi ketergantungan impor LPG asing. Selain itu, lingkungan lebih terjaga karena minim emisi karbon.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F02%2F24%2F96cf473f-4572-49c8-b4fe-54e729ae2e3e_jpg.jpg)
Andi, pedagang, menggunakan kompor induksi untuk berjualan di Kuliner Pintar Taman Blambangan, Banyuwangi, Selasa (24/2/2021). Pemanfaatan kompor induksi membuat pedagang bisa menghemat hingga 50 persen dibanding menggunakan kompor berbahan gas.
Peralihan LPG ke kompor induksi digadang-gadang mampu menurunkan emisi karbon serta mengurangi beban subsidi dan ketergantungan impor. Kendati demikian, uji coba program tersebut masih harus disertai evaluasi dan antisipasi yang lebih matang agar nantinya dapat diterima baik oleh masyarakat luas.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero) terus mendorong penggunaan kompor induksi di tingkat masyarakat. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya mendukung prioritas G20 dalam mewujudkan transisi energi.
Sejauh ini, langkah konkret yang dilakukan adalah uji coba pelaksanaan program kompor induksi di Denpasar dan Solo oleh PLN. Sebelumnya, PLN telah mencanangkan Program 1 Juta Kompor Listrik sejak 2021.
Untuk uji coba di dua kota tersebut, PLN menargetkan 2.000 keluarga penerima manfaat (KPM) dengan sasaran 950 rumah tangga kecil dan 50 usaha mikro pada masing-masing kota. Setiap KPM menerima satu kompor induksi dua tungku dengan daya 1.800 watt, panci dan penggorengan khusus kompor induksi, serta alat pembaca konsumsi listrik.
Sepanjang tahun ini, target kumulatif penerima manfaat sebanyak 0,3 juta KPM. Jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya hingga mencapai 15,3 juta KPM pada lima tahun mendatang.
Kompor induksi dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan asap atau sisa pembakaran yang menjadi salah satu sumber polusi udara. Bahkan, penelitian di Universitas Sheffield, Inggris, menemukan bahwa polusi udara dari dapur jauh lebih membahayakan daripada asap jalanan. Dengan tidak munculnya api lantaran menggunakan metode magnetik, kompor induksi juga tergolong lebih aman karena dapat mengurangi potensi kebakaran.
Bagi rumah tangga, memasak dengan kompor induksi juga lebih hemat jika dibandingkan dengan penggunaan LPG. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, pihak PLN menjelaskan bahwa penggunaan kompor induksi mampu menghemat pengeluaran memasak hingga 15 persen.
Hal ini menjadi angin segar, baik bagi masyarakat maupun pemerintah, di tengah konsumsi LPG dalam negeri yang dilematis. Kenaikan minyak dunia turut berdampak pada kenaikan harga LPG. Fluktuasi harga LPG yang cenderung terus meningkat akan menekan keuangan negara. Pasalnya, selama ini beban negara untuk membiayai subsidi energi cukup besar. Bahkan, dalam APBN 2022, besaran subsidi LPG lebih tinggi dari subsidi untuk listrik dan BBM tertentu.
Baca juga: Memacu Popularitas Gaya Hidup Berbasis Listrik

Subsidi dan impor
Menurut catatan Kementerian Keuangan, anggaran subsidi LPG tahun ini mencapai Rp 66,30 triliun atau naik 33 persen dibandingkan tahun lalu. Dalam tujuh tahun terakhir, tren subsidi LPG pun cenderung meningkat. Jika dibiarkan terus menerus, akan semakin menggerogoti keuangan negara. Apalagi, konsumsi LPG subsidi mendominasi total konsumsi LPG nasional, yakni hingga 87 persen.
Apabila keuangan negara tak lagi mampu menopang, bukan tidak mungkin subsidi akan dikurangi. Dampaknya dapat menjadi efek kejut bagi masyarakat dan memengaruhi daya beli masyarakat lantaran harga LPG yang melonjak, seperti halnya kenaikan harga BBM subsidi untuk kendaraan.
Beberapa waktu terakhir, kenaikan harga LPG pun sudah dirasakan masyarakat di sejumlah daerah, khususnya LPG nonsubsidi. Di Merauke, Papua, misalnya. Harga gas LPG 5,5 kg (bright gas) naik dari Rp 145.000 menjadi Rp 162.000 per tabung. Hal serupa terjadi di Madiun dengan kenaikan rata-rata per tabung mencapai Rp 20.000 (Kompas, 14/7/2022).
Oleh sebab itu, untuk mengurangi ketidakpastian harga LPG akibat tingginya ketergantungan pada komoditas impor maka reduksi LPG ke sumber energi lain menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan. Konversi LPG ke kompor induksi listrik merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan pada LPG impor itu. Dengan cara ini, secara tidak langsung turut menjaga stabilitas neraca perdagangan negara.
Pasalnya, selama ini impor LPG Indonesia cukup tinggi. Merujuk catatan terbaru Kementerian ESDM dalam Statistik Energi dan Ekonomi 2021, volume impor LPG Indonesia tahun 2021 mencapai 6,34 juta metrik ton. Sepanjang satu dekade terakhir, rata-rata peningkatan impor LPG Indonesia mencapai 12,74 persen. Peningkatan terbesar pernah terjadi pada tahun 2012 sebesar 29 persen.
Baca juga: Dilema Menaikkan Harga LPG Bersubsidi

Harga LPG Nonsubsidi Naik, LPG Subsidi Diserbu.
Selama ini, impor LPG Indonesia kian mendominasi kebutuhan LPG nasional dengan proporsi hampir mencapai 80 persen. Proporsi tersebut hampir dua kali lipat dari tahun 2011 yang baru mencukupi 48 persen pada total konsumsi LPG nasional. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan kian meningkatnya permintaan LPG oleh masyarakat terutama untuk jenis LPG subsidi 3 kilogram.
Tahun 2021, total konsumsi LPG rumah tangga Indonesia mencapai 8,2 juta ton. Dibandingkan dengan tahun 2011, terjadi peningkatan dua kali lipat di mana kala itu konsumsi rumah tangga untuk LPG baru sebesar 4,1 juta ton.
Peningkatan permintaan LPG juga tergambar dari semakin tingginya rasio penggunaan gas LPG. Tahun 2021, rasio penggunaan gas LPG rumah tangga mencapai 83,36 persen. Capaian itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, jika dibandingkan dengan tahun 2001, meningkat 10 kali lipat.
Kala itu, penggunaan gas LPG belum masif. Kampanye penggunaan LPG baru ramai di tahun 2007 dan disambut antusias oleh masyarakat sehingga permintaan terus meningkat. Penggunaan LPG menggeser dominasi minyak tanah sebagai bahan bakar dalam rumah tangga yang ketersediaannya kian menipis.
Sayangnya, kini penggunaan LPG pun menemukan persoalan yang sama. Permintaan yang tinggi tidak diimbangi dengan suplai produksi yang memadai. Tahun lalu, Indonesia hanya mampu memproduksi 1,90 juta ton LPG, turun 2 persen dari tahun sebelumnya. Padahal, tahun 2011 masih mampu memproduksi 2,28 juta ton LPG.
Ironis, ketika produksi justru kian menipis di saat yang sama permintaan naik hampir dua kali lipat. Alhasil, impor LPG pun kian mendominasi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh sebab itu, konversi menuju kompor induksi berpotensi mengalihkan permintaan rumah tangga dari LPG ke kompor induksi. Bila hal ini terwujud, ketergantungan impor LPG akan dapat terkikis.
Jalan panjang
Kendati demikian, upaya transisi tersebut masih harus menempuh perjalanan yang cukup panjang. Saat ini, mayoritas rumah tangga di Indonesia sudah lekat dengan penggunaan LPG untuk keperluan memasak. Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada Maret 2021, penggunaan LPG sebagai sumber bahan bakar utama untuk memasak masih mendominasi (83 persen). Sementara itu, baru sekitar 0,76 persen rumah tangga yang menggunakan listrik induksi untuk keperluan memasak.
Baca juga: Program 1 Juta Kompor Induksi Diluncurkan

Kelompok ibu-ibu penerima kompor induksi sedang mencoba memasak dengan kompor induksi PLN.
Tampaknya untuk mengubah pola kebiasaan tersebut tidaklah mudah. Apalagi, peralihan dari LPG menuju kompor induksi tidak hanya perlu menyediakan media kompor. Dengan sistem magnetik, panci induksi hanya berfungsi jika menggunakan panci atau wajan feromagnetik. Artinya, harus disertai alokasi biaya baru untuk penyediaan peralatan memasak yang sesuai peruntukannya dengan kompor listrik.
Padahal, untuk sementara ini, pembagian satu panci dan penggorengan untuk setiap KPM belum tentu mampu mencukupi kebutuhan memasak rumah tangga. Artinya, rumah tangga harus mengeluarkan dana untuk pengadaan alat masak yang sesuai dengan kompor induksi. Di sisi lainnya, harga perlengkapan kompor induksi saat ini masih cukup mahal. Jika pengadaan kompor induksi dengan segala perlengkapnnya menjadi tanggung jawab pemerintah sekalipun, tetap perlu dikaji lebih lanjut apakah negara mampu membiayai lebih dari 15 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Hal lain yang perlu dipersiapkan dan diantisipasi adalah saat terjadi pemadaman listrik. Penggunaan kompor induksi sangat bergantung pada arus listrik sehingga jika listrik padam, aktivitas masak akan terganggu. Belum lagi, masih terdapat sejumlah daerah yang belum mendapatkan akses listrik. Rasio elektrifikasi Indonesia pada tahun 2021 sudah mencapai 99,45 persen, tinggal menyisakan sekitar 0,55 persen yang belum teraliri listrik. Meskipun jumlahnya minim, tetap saja pemerintah harus memikirkan sekitar dari 412.000 keluarga yang belum teraliri listrik itu.
Dengan demikian, upaya konversi yang dinilai mampu menghadirkan sejumlah dampak baik tersebut harus dikaji dan dipersiapkan lebih matang lagi agar dapat diterima masyarakat luas dengan baik. Pemerintah harus menghitung segala proyeksi-proyeksi terkait transisi energi itu disertai dengan segala antisipasinya agar tidak menimbulkan kegaduhan di kemudian hari. (LITBANG KOMPAS)