Analisis Litbang "Kompas": Kebijakan Transisi Energi Belum Mendapat Dukungan Publik
Kebijakan transisi energi untuk mengalihkan penggunaan kompor gas LPG 3 kilogram menjadi kompor listrik belum siap diterima oleh masyarakat.
Pemerintah melalui PT PLN (Persero) membatalkan program konversi kompor listrik. Alternatif kebijakan untuk menekan beban subsidi LPG harus kembali dirumuskan sekaligus menyasar target program karbon netral tahun 2060.
Pembatalan program konversi kompor induksi diumumkan PT PLN (Persero) pada 27 September 2022. Langkah ini diambil untuk menjaga kenyamanan masyarakat dan stabilitas ekonomi dalam masa pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19.
Pembatalan program pengalihan kompor induksi itu bisa dikatakan relatif tepat untuk kondisi saat ini. Alasan pemerintah untuk menjaga keamanan dan stabilitas ekonomi dalam masa pemulihan ekonomi ini sejalan dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 26-28 September 2022. Sebagian besar responden (62 persen) menyatakan tidak setuju dengan rencana peralihan ke kompor listrik induksi itu.
Sejumlah alasan dikemukakan terkait penolakan itu. Di antaranya seperti menambah beban biaya listrik rumah tangga, tidak fleksibel terutama bagi pedagang, harus memiliki peralatan masak yang sesuai kompor listrik, repot bila mati listrik, serta sudah nyaman dengan kompor LPG saat ini.
Kondisi tersebut patut menjadi perhatian bagi pemerintah terutama terkait kendala-kendala yang menjadi kekhawatiran masyarakat. Pemerintah perlu menyiapkan berbagai strategi mitigasi agar kebijakan itu dapat dilaksanakan kembali di masa mendatang. Pasalnya, dalam rencana peta jalan menuju karbon netral Indonesia 2060, kompor induksi akan menjadi prioritas penggunaan sehari-hari.
Dalam roadmap transisi energi menuju karbon netral tahun 2060 yang disusun Kementerian ESDM, terlihat sejumlah tahapan yang berkaitan dengan reduksi penggunaan LPG di Indonesia. Pada tahun 2022 ini, pemerintah mulai menargetkan penggunaan kompor listrik untuk 2 juta rumah tangga. Rencananya, ditargetkan setiap tahun berikutnya juga terjadi peralihan pengguna kompor listrik hingga sebanyak 2 juta rumah tangga.
Bila rencana itu berhasil, nanti pada 2060 diperkirakan sekitar 52 juta rumah tangga di Indonesia sudah beralih menggunakan kompor listrik induksi. Konsumsi listrik per kapita pada tahun 2060 diperkirakan akan melonjak drastis hingga sekitar 5.300 kWh. Nilai konsumsi ini terpaut sangat jauh dengan nilai konsumsi listrik saat ini yang masih berkisar 1.090 kWh/kapita.
Baca juga: Jalan Panjang Konversi LPG ke Kompor Induksi
Konsumsi listrik masyarakat yang kian tinggi itu sejalan dengan rencana pemerintah untuk menyediakan sumber pembangkitan energi listrik yang juga kian membesar. Diperkirakan pada tahun 2060 nanti jumlah kapasitas pembangkit listrik di Indonesia mencapai kisaran 700 gigawatt (GW). Artinya, hampir 100 persen sumber pembangkit itu nantinya bersumber dari energi baru terbarukan (EBT).
Kondisi tersebut sekaligus menjadi harapan realisasi reduksi emisi karbon karena sumber pembangkit energi dan juga cara mengkonsumsinya relatif sudah ramah lingkungan. Bersumber dari pembangkitan EBT dan dikonsumsi dengan cara elektrifikasi sehingga efek pembuangan emisi karbonnya sangat minim.
Selain ramah terhadap lingkungan, program kompor listrik yang ditopang dengan pembangkitan energi dari EBT ini juga berperan penting dalam mereduksi konsumsi LPG. Bahkan, turut mengurangi beban keuangan negara karena besarnya subsidi dari konsumsi LPG nasional.
Impor mendominasi
Berdasarkan data Handbook of Energy Economic Statistic of Indonesia (HEESI) 2021, Kementerian ESDM, konsumsi LPG secara nasional terus meningkat setiap tahunnya rata-rata sekitar 400 ribu metrik ton (MT) sehingga pada 2021 jumlah konsumsi LPG mencapai 8,55 juta MT. Sayangnya, tingginya konsumsi LPG ini tidak ditopang oleh produksi LPG yang juga tinggi. Setiap tahun, produksi LPG domestik hanya berkisar 2,1 juta MT.
Itupun output-nya terus menyusut sekitaran 1,5 persen setahun. Alhasil, impor kian mendominasi sehingga ketergantungan Indonesia terhadap LPG impor sangat tinggi. Pada 2011, impor LPG masih sebesar 1,99 juta MT atau sekitar 45 dari proporsi konsumi LPG tahunan. Namun, pada tahun 2021, impor LPG telah melonjak menjadi 6,34 juta MT atau menguasai sekitar 74 persen dari konsumsi nasional.
Ketergantungan impor yang kian besar tersebut kian membebani keuangan negara. Pasalnya, konsumsi sebagian besar terserap untuk memenuhi kebutuhan LPG subsidi 3 kilogram. Bahkan, besaran konsumsi LPG jenis ini terus meningkat setiap saat. Pada 2012, konsumsi LPG subsidi sebesar 3,9 juta MT atau sekitar 77 persen dari total penjualan domestik. Sekitar satu dekade kemudian, pada 2021, jumlah konsumsi LPG 3 kilogram meningkat hampir dua kali lipatnya menjadi 7,5 juta MT atau sekitar 87 persen dari seluruh konsumsi LPG.
Baca juga: Dilema Menaikkan Harga LPG Bersubsidi
Kondisi tersebut membuat beban subsidi yang dialokasi kian besar. Pada tahun 2021, beban subsidi yang ditanggung negara pada komoditas LPG 3 kilogram hampir mencapai Rp 50 trilun. Nominal ini telah meningkat lebih dari 3 kali lipatnya dari nilai subsidi LPG tahun 2010 yang masih kurang dari Rp 15 triliun setahun.
Pada RAPBN 2023, pemerintah menganggarkan subsidi LPG 3 kilogram hingga sebesar Rp 117 triliun. Nominal yang sangat besar dan mengalahkan nilai subsidi untuk BBM jenis tertentu dan juga subsidi listrik. Dalam konteks ini, penundaan program kompor listrik sebenarnya merupakan langkah mundur bagi sebuah proses pelonggaran beban subsidi negara.
Alternatif kebijakan
Dengan pembatalan program kompor listrik itu, pemerintah kini mendorong sejumlah alternatif kebijakan lainnya demi optimalisasi diversifikasi energi sekaligus menurunkan beban subsidi. Di antaranya dengan kembali mendorong program jaringan gas (jargas) dan juga hilirisasi batubara berupadimetil eter (DME).
Peralihan program kegiatan tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah tampaknya memang belum sepenuhnya siap untuk melakukan sejumlah agenda transisi energi. Program yang belum tersosialisasi dengan baik tiba-tiba diumumkan akan diimplementasikan. Tak lama kemudian dianulir, dibatalkan, dan segera dicari alternatif penggantinya.
Uniknya, alternatif pengganti kebijakan itu pun juga tidak mudah untuk terapkan secara masif pada masyarakat. Bahkan, membutuhkan konsekuensi anggaran yang mungkin jauh lebih besar dari program transisi kompor induksi. Misalnya saja, program jargas atau gas kota untuk rumah tangga yang hingga saat ini tren pertumbuhannya sangatlah kecil.
Gas bumi yang didistribusikan lewat jalur pipa pada tahun 2020 baru mencapai 673.222 sambungan rumah tangga. Konsumsi gas alam yang terserap lewat jargas ini hanya kurang dari satu persen dari total konsumsi nasional.
Minimnya capaian tersebut dikarenakan banyaknya hambatan pada program jargas. Di antaranya, harga gas hulu yang cukup tinggi, terbatasnya infrastruktur pendistribusian gas, terbatasnya penyaluran alat konverter gas pada konsumen, serta investasi dalam membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang kurang menarik dan tidak ekonomis bagi investor.
Baca juga: Kemandirian Energi Melalui Hilirisasi Batubara
Kendala tersebut juga dihadapi pada program DME yang merupakan proses gasifikasi batubara atau biomassa untuk menjadi syngas guna diproses lebih lanjut sebagai bahan baku LPG. Investasi yang diperlukan dalam proses ini relatif sangat mahal dan tidak ekonomis apabila produk LPG dari proses DME tertuju untuk kepentingan subsidi.
Oleh sebab itu, demi semangat reduksi emisi karbon dan sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional, pemerintah harus berbenah dalam hal riset dan juga bersosialisasi kepada masyarakat. Dengan kajian yang terukur serta disampaikan secara jelas dan berkesinambungan maka informasi terkait transisi energi akan semakin baik dipahami oleh publik.
Apalagi, disertai dengan sejumlah insentif dari negara maka bukan mustahil dukungan masyarakat dalam kebijakan transisi energi akan semakin besar. Bukan tidak mungkin, penggunaan kompor induksi, konsumsi LPG DME, dan juga penggunaan jargas akan menjadi komoditas yang sangat didukung dan dibutuhkan masyarakat suatu saat nanti. (LITBANG KOMPAS)