Nomor Urut Parpol Tidak Berpengaruh di Pemilu
Nomor urut partai politik tidak lepas dari syarat administrasi. Secara elektoral, nomor urut partai kurang berdampak karena elektabilitasnya lebih banyak bertumpu pada gambar dan sosok calon legislatif yang diusung.

Contoh surat suara dengan desain yang disederhanakan saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Nomor urut partai politik sebenarnya tidak memiliki pengaruh kuat terhadap pemilih. Di mata pemilih, identifikasi partai politik lebih banyak bertumpu pada logo atau gambar partai di Pemilu serta sosok calon legislatif yang diusungnya di pemilu.
Kecenderungan ini terbaca dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan September lalu. Ketika ditanya apa yang paling diingat pemilih saat mencoblos di surat suara di tempat pemungutan suara, nama calon legislatif paling banyak disebutkan.
Lebih dari sepertiga responden (33.4 persen) menyebutkan caleg menjadi faktor yang paling banyak memengaruhi pilihan mereka terhadap partai politik.
Nomor urut partai politik sebenarnya tidak memiliki pengaruh kuat terhadap pemilih
Faktor caleg menjadi penting ini terutama sejak diterapkan sistem pemilu proporsional terbuka di tahun 2004, meskipun saat itu mekanisme terpilihnya caleg tetap bertumpu pada nomor urut caleg. Namun, sejak Pemilu 2009 dengan sistem suara terbanyak, caleg dengan suara terbanyak berhak menduduki kursi yang diraih oleh partai politik.
Sejak itulah sampai pemilu-pemilu berikutnya, ada perubahan perilaku pemilih, dari sebelumnya hanya menekankan pada partai politik, sedikit bergeser pada sosok calon legislatif yang diusung partai.
Meskipun demikian, faktor logo atau gambar partai tetap menjadi pengaruh bagi pemilih menentukan pilihannya. Hampir sepertiga responden dalam jajak pendapat ini menjawab, gambar partai politik tetap menjadi hal yang mereka perhatikan.

Pengalaman pemilu di era Orde Baru sampai Pemilu 1999 yang masih menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup alias hanya mencoblos gambar partai, sedikit banyak masih melekat kuat dalam memori pemilih.
Sementara faktor nomor urut partai bukan menjadi sesuatu yang berpengaruh bagi partai politik itu sendiri. Hanya 10 persen responden yang menyatakan nomor urut partai politik turut memengaruhi pilihan mereka terhadap partai politik.
Jika ditelusuri dalam tahapan pemilu, nomor urut partai adalah produk dari proses undian yang dilakukan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Nomor urut partai tak ubahnya sebagai proses administrasi yang mau tidak mau harus diikuti oleh semua partai politik yang sudah diresmikan sebagai peserta pemilu.
Hal ini tertuang di Pasal 179 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan, penetapan nomor urut partai politik sebagai peserta pemilu dilakukan secara undian yang dilakukan dalam sidang pleno KPU yang terbuka dengan dihadiri wakil partai politik peserta pemilu. Jadi jelas, nomor urut partai politik cenderung sebagai identifikasi administrasi peserta pemilu.
Jadi, jika kembali pada usulan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu soal perlunya nomor urut partai tetap menggunakan yang lama, semestinya tidak perlu menjadi persoalan.
Usulan ini lebih mempertimbangkan kemudahan sosialisasi dan tentu lebih hemat dari sisi anggaran untuk belanja alat peraga kampanye. Jika dari pertimbangan ini sah-sah saja dilakukan, bahkan sebagian besar responden setuju jika partai politik menggunakan nomor urut yang sama dengan pemilu sebelumnya.

Suasana bekerja para petugas KPU melakukan verifikasi admisnistrasi dokumen persyaratan partai politik calon peserta Pemilu 2024 di Hotel Borobudur, Jakarta, Minggu (7/8/2022).
Namun, tentu usulan ini terbentur dengan ketentuan undang-undang di atas bahwa semua partai politik peserta pemilu penetapannya diikuti dengan pengundian nomor urut peserta pemilu.
Apalagi jika dikaitkan dengan efisiensi anggaran karena dengan berubahnya nomor urut, undang-undang juga sudah mengakomodir bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu berkewajiban menyediakan alat peraga untuk keperluan sosialisasi.
Menarik mengutip tanggapan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati yang mengingatkan soal pentingnya perlakuan adil ke semua parpol, baik partai yang pernah menjadi peserta Pemilu 2019 maupun partai yang baru pertama berlaga di Pemilu 2024.
Menurut Khoirunnisa, jika nomor urut tidak diundi, parpol baru tidak mendapatkan perlakuan yang sama karena mereka hanya mendapatkan nomor urut sisa yang tidak digunakan parpol lama (Kompas, 17/9/2022).
Baca juga : Tekan Ongkos Politik, Megawati Usulkan Nomor Urut Parpol Tak Diubah
Dampak elektoral
Secara elektoral, nomor urut partai politik juga tidak berdampak signifikan terhadap potensi elektoral partai politik. Selama lima kali pemilu digelar sejak era reformasi, hampir semua partai politik peserta pemilu memiliki nomor urut yang berbeda di setiap pemilu.
Tercatat hanya dua partai politik yang pernah mendapatkan nomor urut yang sama di pemilu berbeda. Keduanya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pernah mendapatkan nomor 8 di Pemilu 2009 dan 2019. Kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di nomor urut 9 pada Pemilu 1999 dan 2014.
Bukti empiris tidak berdampaknya nomor urut dengan potensi elektoral bisa dilihat dari komposisi partai politik. Di papan atas, misalnya, dengan perolehan suara di atas 10 persen, cenderung didominasi oleh partai-partai yang sama. Sebut saja seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Gerindra.
Ketiga partai politik ini nomor urutnya selalu berubah-ubah di lima pemilu selama era reformasi. Namun, ketiganya, setidaknya sampai Pemilu 2019 lalu, masih menjadi tiga partai politik papan atas dari hasil pemilu.

Kondisi serupa juga terjadi di partai politik papan menengah, seperti Partai Demokrat, PKB, Nasdem, dan termasuk PKS. Ketiga partai yang disebutkan di awal juga tercatat mendapatkan nomor urut yang berubah-ubah di lima pemilu terakhir.
Meskipun tidak berdampak secara elektoral, nomor urut kadang juga dimaknai sebagai peruntungan bagi partai politik. Selain itu, nomor urut tidak jarang juga menjadi bagian dari strategi kampanye partai politik.
Sebut saja Partai Golkar, misalnya, saat Pemilu 2004 mendapatkan nomor urut 20 dengan membranding bahwa nomor urut tersebut lebih mudah disosialisasikan karena di era Orde Baru nomor urut tetap dari partai ini juga identik dengan angka 2.
Sebut juga Partai Demokrat di Pemilu 2004 saat awal mengikuti pemilu, mendapatkan nomor urut 9. Nomor ini identik hari lahir SBY pada 9 September (bulan ke-9) dan sekaligus hari lahir dari Partai Demokrat.
Selain nomor urut partai yang berubah-ubah di tiap pemilu dan tidak berdampak secara elektoral, sebagian besar pemilih sebenarnya juga cenderung mengabaikan nomor urut partai politik ini.
Hasil jajak pendapat merekam, separuh lebih responden (63,6 persen) tidak ingat dengan nomor urut partai politik pilihannya di Pemilu 2019 lalu. Hanya 9 persen responden yang mengaku ingat, itu pun salah dalam menyebutkan nomor urut partai politik yang ia ingat tersebut.
Baca juga : Parpol Baru: Usulan Penghapusan Undian Nomor Urut Parpol Diskriminatif
Elektoral caleg
Lalu, pertanyaannya kemudian, apakah nomor urut tidak memiliki insentif terhadap elektoral? Jawabannya tentu sudah jelas jika mengacu rekam jejak hasil pemilu sebelumnya, nomor urut yang berubah-ubah tidak memengaruhi potensi elektoral partai politik. Namun, tidak jarang nomor urut partai lebih berdampak secara elektoral bagi calon legislatif.
Pengalaman di Pemilu 2009 ketika Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu dengan nomor urut 31, berdampak besar pada tingkat keterpilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memiliki nomor urut yang sama dengan Partai Demokrat ketika itu.
Dalam catatan Litbang Kompas, nomor 31 menjadi nomor favorit di Pemilu 2009. Para calon DPD yang memiliki nomor urut 31 sebagian besar terpilih masuk Senayan, meski namanya tidak populer.
Hal ini karena dalam memori pemilih, siapapun yang memiliki nomor 31 diidentifikasi dengan Partai Demokrat yang ketika itu memang popularitasnya menanjak, terutama jelang periode kedua pemerintahan SBY.

Spanduk dengan gambar partai politik dipasang di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Serang di Serang, Banten, Jumat (5/4/2019).
Terlepas dari nomor urut partai politik, sebenarnya nomor urut caleg dalam daftar calon legislatif di surat suara lebih berdampak elektoral.
Hal ini tidak lepas dari “pragmatisme” dan pertimbangan teknis pemilih yang lebih mudah mencoblos caleg-caleg di urutan nomor paling atas yang lebih banyak terjadi. Kondisi ini terbukti dengan banyaknya caleg DPR terpilih dari pemilik nomor urut teratas, yakni antara nomor urut 1 dan 2.
Hasil kajian Litbang Kompas mencatat, sebanyak 364 kursi DPR berhasil direbut oleh caleg yang memiliki nomor urut satu dari daftar caleg yang diajukan partai politik.
Jumlah ini setara dengan 63,3 persen dari total 575 kursi DPR periode 2019-2024. Sementara 107 kursi atau 18,6 persen lainnya direbut oleh caleg dengan nomor urut dua.
Jika ditotal, caleg nomor urut satu dan dua ini sudah menguasai 81,9 persen kursi DPR. Dominannya caleg nomor urut atas ini juga terjadi di Pemilu 2014. Saat itu sebanyak 79 persen kursi DPR direbut oleh caleg nomor urut satu dan dua.

Pada akhirnya, nomor urut partai politik tidak menjadi sesuatu yang berpengaruh bagi peluang elektoralnya di pemilu. Nomor urut cenderung lebih berpengaruh pada keberadaan calon-calon legislatif yang diajukan partai politik.
Namun, baik partai maupun caleg pada akhirnya akan saling melengkapi. Partai yang mengajukan caleg populer akan mendapatkan insentif elektoral bagi partai.
Demikian juga bagi caleg, jika ia diajukan oleh partai dengan rekam jejak elektoral tinggi, apalagi dengan nomor urutan atas, ia akan lebih berpeluang terpilih untuk menduduki kursi parlemen. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Nomor Urut Parpol, antara Penghematan dan Keadilan Pemilu