Nomor Urut Parpol, antara Penghematan dan Keadilan Pemilu
Usulan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri soal nomor urut partai politik di pemilu mengundang polemik. Ada yang pro, tetapi ada juga yang kontra. Lantas bagaimana Komisi Pemilihan Umum menyikapinya?
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Deretan bendera partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
Di tengah wawancara sejumlah wartawan dengan Megawati di Jeju, Korea Selatan, pekan lalu, Presiden ke-5 RI itu tetiba menyampaikan soal tak perlunya nomor urut partai politik (parpol) diundi setiap kali menjelang pemilu. Alasannya, perubahan nomor urut memaksa parpol yang sudah ikut pemilu sebelumnya mengganti seluruh alat peraga kampanyenya dan menyesuaikan dengan nomor urut yang baru pasca-pengundian.
Padahal, alat peraga kampanye sebelumnya, seperti bendera dan spanduk, masih banyak yang bisa dipakai. Pengadaan alat peraga baru otomatis akan membuat alat-alat peraga itu dibuang, dan parpol harus menyediakan anggaran besar untuk pengadaan alat peraga kampanye baru dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya guna mengampanyekan nomor urut parpol yang baru.
Parpol lain, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem, pun setuju dengan usulan Megawati itu dan alasan yang mendasarinya.
Ketua DPP PKB Daniel Johan, saat dihubungi Kamis (22/9/2022), menganggap, tak diubahnya nomor urut parpol akan menguntungkan semua partai.
”Saya kira semua partai pasti merasakan bagaimana beratnya pendanaan yang dikeluarkan untuk atribut, mulai dari paling bawah seperti atribut berbasis desa, kecamatan, kabupaten, sampai tingkat pusat, ini membutuhkan anggaran besar,” ujarnya.
Hitung-hitungan kasar saja, menurutnya, jika setiap desa membutuhkan 100 bendera atau spanduk, sudah besar anggaran yang harus dikeluarkan parpol. Belum lagi pengadaan secara mandiri oleh calon anggota legislatif di setiap daerah pemilihan.
Ambil contoh, harga satu bendera partai berukuran 80x120 sentimeter saat ini Rp 8.500, berarti untuk pengadaan 100 bendera di satu desa dibutuhkan sekitar Rp 850.000. Jika biaya itu dikalikan jumlah desa sebanyak 83.381 desa (data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri), berarti diperkirakan total biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 70,873 miliar.
Yang juga penting dari tak diubahnya nomor urut, menurut Daniel, pemilih setia dari parpol yang telah ikut di pemilu sebelumnya akan sangat terbantu. ”Pemilih setia tentu sangat terbantu bila nomor urut parpol sama,” ucapnya.
Kompas
Pekerja menyelesaikan pembuatan bendera partai politik di salah satu usaha pembuatan bendera parpol di kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Rabu (12/3/2014).
Hanya saja, fungsionaris Nasdem Saan Mustopa mengingatkan, usulan soal nomor urut tersebut terbentur aturan di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Persisnya di Pasal 179 Ayat (3) UU Pemilu disebutkan, penetapan nomor urut parpol sebagai peserta pemilu dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU yang terbuka dengan dihadiri wakil parpol peserta pemilu.
”Nomor cantik”
Saat Pemilu 2019, PDI-P, PKB, Nasdem, serta sejumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen memperoleh ”nomor cantik” saat pengundian nomor urut parpol. PKB memeroleh nomor urut 1, Gerindra 2, PDI-P 3, Golkar 4, dan Nasdem 5. Kemudian PKS bernomor urut 8 dan PPP 10. Hanya PAN serta Demokrat yang dapat nomor urut di luar 10, yakni PAN yang mendapat nomor urut 12 dan Demokrat 14.
Dari sisi itu tak mengherankan jika kemudian muncul dugaan keinginan PDI-P yang didukung sejumlah parpol lainnya agar nomor urut tak diubah karena mereka telah memperoleh nomor cantik. Pengundian baru memungkinkan mereka harus melepas nomor cantik itu bagi parpol lain.
Selain itu, bagi sejumlah parpol baru, tak berubahnya nomor urut parpol dinilai bisa menciptakan ketidakadilan dalam pemilu. Padahal, salah satu asas dari pemilu adalah adil, selain harus jujur. Ini karena jika aturan itu diterapkan, parpol baru akan memperoleh nomor urut di luar nomor yang telah dipegang parpol lama. Dengan kata lain, sulit peluangnya mereka bisa memperoleh nomor cantik di bawah 10.
Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfudz Sidiq, misalnya, mengungkapkan hal itu. ”(jika usulan itu diterapkan) Akan menambah diskriminasi terhadap partai (baru),” katanya.
Lagi pula, lanjutnya, biasanya usia alat peraga dan atribut pemilu tak bisa bertahan selama lima tahun sehingga parpol mau tak mau harus tetap membuat atribut kampanye baru.
Demokrat, meski bukan parpol baru, juga keberatan dengan tak diubahnya nomor urut parpol itu. Demokrat pun menekankan soalnya pentingnya keadilan dalam pemilu.
Juru bicara Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengatakan, pemilu adalah ajang untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, pemilik sebenarnya negeri ini. Pemilu tidak sekadar kegiatan milik elite yang membutuhkan pembiayaan. Oleh karena itu, pihaknya berpendapat, jangan sampai ada upaya meminimalisasi pembiayaan elite dengan mengabaikan esensi dan substansi dari pemilu.
TANGKAPAN LAYAR KOMPAS TV
Herzaky Mahendra Putra pada acara Satu Meja The Forum bertajuk Silaturahmi Politik dan Arah Koalisi yang disiarkan Kompas TV, Rabu (11/5/2022) malam.
”Ada unsur keadilan di dalam pemilu. Karena itulah, nomor urut selalu dikocok setiap perhelatan pemilu agar setiap peserta pemilu memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih,” ujarnya.
Efek ke elektabilitas
Di luar argumentasi masing-masing kubu pro dan kontra, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, melihat ada potensi insentif bagi parpol lama jika nomor urut parpol tak diubah. Insentif dimaksud, memori masyarakat sudah melekat pada nomor parpol lama sehingga hal ini berpotensi mengerek elektabilitas parpol tersebut. Parpol pun tak perlu lagi menghabiskan energi untuk menyosialisasikan nomor urutnya.
Sebaliknya, kerugian bagi parpol baru. Mereka harus lebih banyak mengeluarkan energi termasuk untuk menyosialisasikan nomor urutnya. Dengan kata lain, parpol baru kalah start dengan parpol lama yang ujungnya bisa semakin berat bagi mereka untuk mendulang elektabilitas. Apalagi, masa kampanye untuk Pemilu 2024 dipersingkat menjadi tinggal 75 hari.
”Makanya, kalaupun mau diterapkan, lebih baik diterapkan pasca-Pemilu 2024 agar tidak menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum,” ucapnya. Belum lagi, untuk merealisasikan keinginan tersebut, pemerintah dan DPR harus merevisi Pasal 179 Ayat (3) UU Pemilu.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Titi Anggraini
Opsi lainnya, menurut Titi, dengan menghapuskan sama sekali nomor urut parpol. ”Kalau tujuannya efisiensi, dan menjaga keberlanjutan, lebih baik hapuskan nomor urut parpol sehingga ada ruang yang lebih setara bagi semua,” katanya.
Lantas bagaimana respons dari Komisi Pemilihan Umum (KPU)?
Anggota KPU Idham Holik mengungkapkan, KPU masih akan melakukan kajian komprehensif mengenai usulan Megawati itu. Kajian akan dikonsultasikan kepada pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR. Adapun jadwal penetapan nomor urut partai politik peserta pemilu berdasarkan Lampiran Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 adalah pada 14 Desember 2022.
Sudah menjadi pengetahuan umum, ongkos politik yang tinggi turut berimbas pada banyaknya aktor politik yang terjerat kasus korupsi. Namun, di sisi lain, ada aspek keadilan dalam pemilu yang tak bisa diabaikan begitu saja. Mencari solusi terbaik di tengah kedua isu itu kini jadi salah satu pekerjaan rumah para pembentuk undang-undang.