Menjamin Hak ASI Eksklusif untuk Bayi
Penyediaan ruang laktasi menjadi salah satu cara agar pemberian ASI eksklusif tetap optimal kendati ibu sibuk bekerja.
ASI merupakan nutrisi terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan bayi. Namun, tidak semua bayi mendapatkan hak ASI eksklusifnya dengan berbagai kendala, termasuk aktivitas ibu yang harus mencari nafkah. Penyediaan ruang laktasi di tempat kerja maupun fasilitas publik menjadi salah satu cara menjamin hak bayi akan ASI eksklusif.
Air susu ibu (ASI) sejatinya menjadi nutrisi wajib yang diberikan kepada bayi setelah lahir. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI eksklusif menjadi hak bayi sejak lahir hingga usianya mencapai enam bulan. Artinya, ASI wajib diberikan tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lainnya, termasuk air putih.
Sejumlah studi menunjukkan, ASI saja sudah cukup memberikan nutrisi bagi bayi sehingga tidak memerlukan asupan tambahan hingga enam bulan pertama kehidupan. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif pun akan cenderung lebih sehat. Komponen oligosakarida dalam ASI dapat membantu memperkuat sistem imun pada bayi. Bahkan, ASI dapat memproteksi bayi dari radang telinga, peradangan kulit, hingga infeksi pernapasan. ASI juga dapat membantu merangsang perkembangan otak sehingga bayi cenderung akan lebih cerdas.
Tak hanya untuk bayi, pemberian ASI eksklusif juga memberikan sejumlah manfaat untuk sang ibu. Pemberian ASI eksklusif akan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Ibu juga akan lebih mudah mengembalikan berat badan ke masa sebelum kehamilan. Hubungan emosional antara ibu dengan sang buah hati juga akan semakin kuat dengan pemberian ASI eksklusif.
Secara keseluruhan, pemberian ASI eksklusif dapat mencegah 20.000 kematian ibu dan 823.000 kematian bayi setiap tahunnya (Kompas, 6/8/2022).
Namun, belum semua bayi di Indonesia mendapatkan ASI eksklusif. Tahun 2021, hanya tujuh dari sepuluh bayi usia di bawah enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Kendati, capaian tersebut sudah melebihi target yang ditetapkan pemerintah dalam skema Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024, yakni 60 persen. Capaiannya pun menunjukkan peningkatan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Namun, jika ditelisik lebih dalam, tingkat pendidikan yang tinggi tidak menjamin tingkat pemberian ASI eksklusif yang tinggi pula. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021 oleh BPS menunjukkan, tiga perempat ibu dengan tamatan sekolah dasar ke bawah memberikan ASI eksklusif kepada bayi mereka yang masih berusia kurang dari enam bulan. Sementara itu, hanya 70 persen bayi kurang dari enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dari ibu mereka yang merupakan lulusan perguruan tinggi.
Kondisi tersebut serupa dengan pemberian ASI eksklusif di perdesaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan. Perbandingannya adalah 74,05 persen dengan 69,64 persen. Umumnya, tingkat pendidikan perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Ibu dari kelompok 40 persen pengeluaran terbawah pun lebih banyak memberikan ASI eksklusif (76,65 persen) daripada mereka yang datang dari kalangan teratas (64,53 persen).
Baca juga: Warga Sulit Akses Konselor ASI
Ibu pekerja
Kendati demikian, persentase pemberian ASI eksklusif yang lebih rendah itu bisa jadi bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena faktor lainnya seperti kesibukan dalam bekerja. Hal ini terindikasi dari capaian pemberian ASI eksklusif oleh ibu pekerja (66,30 persen) yang lebih rendah daripada ibu tidak bekerja (74,21 persen).
Fenomena menurunnya pemberian ASI eksklusif oleh perempuan yang bekerja itu kian menjadi tantangan besar untuk saat ini. Apalagi, jumlah perempuan pekerja pada masa modern sekarang kian bertambah banyak. Merujuk data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), jumlah pekerja perempuan pada Februari 2022 mencapai 53,3 juta orang. Dibandingkan dengan satu dekade silam, jumlahnya meningkat lebih dari 20 persen.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya peningkatan kesetaraan jender di mana perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam hal bekerja maupun berkarier. Kemungkinan lainnya adalah impitan kebutuhan mengharuskan perempuan turut terlibat dalam mencari nafkah keluarga. Hanya saja, di sisi lainnya turut berdampak pada berkurangnya pemberian ASI eksklusif pada anak-anak.
Oleh sebab itu, pemerintah pun mengakomodasi melalui regulasi terkait penyediaan ruang laktasi di perkantoran atau ruang publik. Tujuannya, agar para perempuan tetap aktif dan produktif, tetapi pemberian ASI eksklusif juga tetap berjalan lancar. Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan Memerah Air Susu Ibu.
Dalam peraturan tersebut, terdapat sejumlah peraturan di antaranya penyediaan ruang khusus laktasi yang higienis, bebas polusi, dengan penerangan yang cukup. Kondisi ideal ruang laktasi adalah 3 meter x 4 meter. Kelembaban ruangan pun harus terjaga, antara 30-50 persen, atau maksimal 60 persen.
Baca juga: Edukasi dan Manajemen Laktasi Tingkatkan ASI Eksklusif
Ruang laktasi juga perlu dilengkapi dengan peralatan yang memadai seperti lemari pendingin untuk menyimpan ASI, gel pendingin, cairan sterilisasi botol ASI, dan tas untuk membawa ASI perahan. Penyediaan ruang laktasi juga kembali disuarakan dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA).
Tak hanya di tempat kerja, fasilitas laktasi juga perlu disediakan di ruang-ruang publik seperti hotel atau penginapan, fasilitas layanan kesehatan, tempat rekreasi, bandara, terminal, pelabuhan, stasiun, hingga pusat perbelanjaan.
Salah satu praktik yang relatif cukup baik sudah diterapkan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pemkab Banyuwangi mewajibkan semua pihak baik swasta maupun pemerintah untuk menyediakan ruang laktasi di instansinya. Bahkan, juga mendoronga penyediaan ruang laktasi hingga di ruang-ruang publik. Jika melanggar, akan dikenai denda Rp 5 juta. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam pemberian ASI eksklusif yang lebih masif.
Dukungan serupa juga diterapkan di kantor BPS Boyolali, Jawa Tengah. Sebuah gudang disulap menjadi ruang laktasi meskipun masih dengan fasilitas yang minim. Upaya-upaya demikian harus senantiasa diwujudkan dan terus dikembangkan di daerah-daerah. Pasalnya, tanpa dukungan dari berbagai pihak, maka pemberian ASI eksklusif tidak akan berjalan maksimal.
Hingga saat ini, hampir semua daerah, baik kabupaten maupun kota, sudah mengesahkan peraturan daerah turunan dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013. Namun, implementasi pengadaan ruang laktasi masih sangat minim, baik perusahaan swasta maupun instansi pemerintahan.
Susu formula
Apabila kesadaran pemberian ASI eksklusif itu rendah, asupan ASI untuk bayi akan relatif mudah tergantikan oleh nutrisi lainnya yang berasal dari produk susu formula. Merujuk data Susenas Maret 2021, terdapat lebih dari 274.000 bayi usia 0-5 bulan yang mengonsumsi susu dan produk olahan susu lainnya.
Baca juga: Bahaya Memberikan Makanan Pendamping ASI Terlalu Dini
Padahal, pemberian susu formula justru memberikan efek samping negatif. Tidak hanya bagi bayi, tetapi juga bagi ibu dan orang tua. Selama ini susu formula hanya boleh diberikan dalam kondisi tertentu, antara lain jika ada indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi.
Pemberian susu formula secara sembarangan dapat menyebabkan diare hingga gangguan pernapasan pada bayi. Bagi ibu, menghentikan pemberian ASI dapat menimbulkan risiko kanker payudara. Selain itu, pemberian susu formula akan menambah biaya pengeluaran sehingga kian membebani ekonomi rumah tangga. Investigasi harian Kompas pekan lalu menemukan, keluarga di Indonesia menghabiskan uang hingga Rp 3 triliun per tahun untuk belanja susu formula.
Oleh sebab itu, kesadaran akan pentingnya ASI eksklusif perlu ditingkatkan. Hak bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif juga harus dikembalikan. Penyediaan fasilitas ramah ibu menyusui juga harus diwujudkan demi mempersiapkan generasi penerus yang lebih berkualitas. (LITBANG KOMPAS)