Minimnya konselor ASI membuat orang tua yang baru memiliki bayi kesulitan untuk konsultasi hingga akhirnya mereka terjebak untuk menggunakan susu formula.
Oleh
DHANANG DAVID, ANDY RIZA HIDAYAT, INSAN ALFAJRI, IRENE SARWINDANINGRUM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Terbatasnya jumlah konselor laktasi membuat orangtua kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang menyusui bayi. Salah satu pemicu krisis konselor laktasi ini adalah minimnya pelatihan tentang menyusui.
Di Sumatera Utara misalnya, program pelatihan untuk menjadi konselor dari pemerintah hanya berjalan pada rentang tahun 2009-2015. Adapun peserta pelatihan tercatat hanya 139 orang. Setelah 2015, Dinas Kesehatan setempat tidak lagi mengirimkan peserta untuk mengikuti pelatihan.
Pelatihan konselor dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumut selama ini menginduk pada program Kementerian Kesehatan.
"Jumlah konselor laktasi memang minim jumlahnya. Untuk memperbanyak konselor perlu persiapan-persiapan khusus. Ini menjadi masukan bagi kami," ujar Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Sumut Teguh Supriyadi di Medan, Jumat (2/9/2022).
Dinas Kesehatan Provinsi Sumut tidak memiliki kekuatan sumber daya manusia yang cukup untuk menggelar pelatihan konselor. Jumlah yang minim ini pun berimbas terbatasnya jangkauan konselor ke orangtua. Sejauh ini, belum ada rencana dari Pemprov Sumut menambah jumlah konselor laktasi.
Hal ini sangat ironis karena ibu-ibu di sejumlah daerah lebih mudah untuk mendapatkan susu formula dibandingkan mendapatkan pemahaman dari konselor laktasi
Minimnya program pelatihan dari pemerintah daerah, membuat Nina Miranda Amalia seorang dokter spesialis anak di Sumut menggunakan dana pribadi agar bisa menjadi konselor laktasi. Ia memerlukan informasi tentang laktasi untuk memberi pengetahuan menyusui ke orangtua yang membutuhkan.
"Selama kuliah, saya tidak banyak mendapat pendidikan khusus tentang menyusui," katanya.
Nina menyayangkan pelatihan seperti ini tidak banyak tersedia di lembaga pemerintah. Tidak banyak informasi mengenai jumlah konselor, pelatihan, dan sebaran mereka di lembaga pemerintah. Informasi mengenai hal itu justru aktif diinformasikan lembaga swadaya masyarakat yang aktif pada kegiatan laktasi, seperti Yayasan Sentra Laktasi Indonesia (SELASI).
Dalam situsnya selasi.or.id, ada 2.151 konselor laktasi mengikuti pelatihan melalui yayasan ini selama 110 kali pelatihan dengan melibatkan 232 fasilitator secara mandiri. Adapun Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan di situs pusdatin.kemkes.go.id tercatat 4.314 konselor laktasi pernah mengikuti pelatihan.
Yayasan Selasi menggelar pelatihan menyusui di sejumlah daerah salah satunya di Jawa Tengah yang lulusannya kini menjadi kader-kader pendukung ASI. Namun, tidak semua orangtua dapat terhubung dengan konselor di Jawa Tengah, salah satunya pasangan suami istri asal Sukoharjo, Jawa Tengah IB (24) dan KS (26).
Mereka tidak pernah mendapat pendampingan dari konselor laktasi sebelum memiliki anak enam bulan silam. Lantaran minimnya pengetahuan tentang ASI, mereka menggunakan susu formula. "Kami malah dimarahi bidan ketika konsultasi sebelum melahirkan," ucap KS.
Terbatasnya jumlah konselor laktasi ini menjadi perhatian serius Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar. Kondisi ini menyulitkan orangtua mendapatkan informasi mengenai menyusui lantaran akses ke konselor terbatas. Dia mendesak pemerintah menambah keberadaan konselor laktasi yang dibutuhkan buat menahan gempuran produsen susu formula yang masif.
"Hal ini sangat ironis karena ibu-ibu di sejumlah daerah lebih mudah untuk mendapatkan susu formula dibandingkan mendapatkan pemahaman dari konselor laktasi," katanya.