Pemilih Ragu dan Konsolidasi Partai Politik
Jumlah pemilih ragu kian menyusut seiring semakin yakinnya pemilih terhadap parpol pilihannya. Apakah kondisi pemilih ragu ini makin menyusut atau justru makin membesar jelang pemilu nanti?
Satu setengah tahun jelang Pemilu 2024, angka pemilih yang ragu tampak kian menyusut seiring semakin terkonsolidasi pemilih terhadap parpol pilihannya. Namun, apakah jumlah pemilih ragu ini akan semakin mengecil atau bisa kembali terkonsolidasi?
Pemilih ragu adalah istilah yang dipakai dalam tulisan ini kepada responden pemilih dalam Survei Nasional Kompas yang belum menyatakan parpol yang akan dipilih dalam Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pernyataan responden bisa berbentuk jawaban ”tidak tahu/rahasia”, ”tidak jawab”, atau ”tidak ada”. Sementara responden yang sudah menyatakan akan memilih salah satu parpol tidak kita bahas sebagai pemilih ragu.
Pemilih ragu adalah istilah yang dipakai dalam tulisan ini kepada responden pemilih dalam Survei Nasional Kompas yang belum menyatakan parpol yang akan dipilih dalam Pemilu 2024.
Dengan bahasa sederhana, tulisan ini membahas ”sisa” suara pemilih pemilu yang belum menentukan pilihannya terhadap partai politik. Semakin besar suara pemilih ragu, maka semakin besar kemungkinan perubahan komposisi pemenang pemilu legislatif, dan sebaliknya.
Sesuai hasil dari rangkaian survei nasional tatap muka yang dilaksanakan Litbang Kompas sejak Januari 2015 hingga Juni 2022, terekam pola yang berbeda dalam jumlah suara responden pemilih ragu.
Pada survei terbaru yang dilaksanakan Juni 2022, profil jawaban ragu berbentuk seperti corong yang mengecil. Terekam hanya tinggal 16,0 persen responden yang belum menentukan pilihan/menjawab tidak tahu terhadap pilihan parpol. Jumlah itu menurun separuh bagian dari kondisi Oktober 2019 yang menjadi awal periode pemerintahan kedua Jokowi 2019-2024.
Pola penurunan tersebut berkebalikan dengan hasil survei di periode pemerintahan pertama Jokowi, 2014-2019, di mana pola jawaban seperti corong yang membesar.
Dalam kurun waktu yang sama, yakni di paruh periode, proporsi responden yang belum menentukan pilihan justru meningkat dua kali lipat, dari 17,3 persen (Januari 2015) menjadi 29,5 persen (April 2017). Pada survei April 2019, terekam jumlah responden yang belum menentukan pilihan sebesar 23,3 persen.
Pembahasan proporsi pemilih ragu (menyatakan tidak tahu atau rahasia) berkaitan dengan peluang naik-turun perolehan suara parpol dalam pemilu.
Jika tingkat loyalitas pemilih tetap tinggi terhadap partai pilihannya serta bakal calon presiden yang diusung di 2024 sesuai harapan, komposisi pemenang partai dan tingkat partisipasi pemilih akan relatif tidak terpaut jauh dengan hasil survei.
Saat ini, tiga besar perolehan parpol terlihat kembali berdinamika dengan mulai masuknya Partai Demokrat di tiga besar perolehan suara dan menggeser Golkar. Demikian pula di papan tengah, mulai terlihat menguatnya perolehan Partai Perindo dan berpotensi masuk ke papan tengah perolehan suara parpol.
Hasil survei Litbang Kompas pada 26 Mei hingga 4 Juni 2022 menunjukkan, secara umum elektabilitas parpol cenderung tak banyak berubah. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) masih di posisi teratas dengan elektabilitas 22,8 persen tak bergeser dibandingkan survei pada Januari 2022.
Di urutan berikutnya adalah Gerindra (12,5 persen), Demokrat (11,6), Golkar (10,3), serta Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sama-sama meraih 5,4 persen.
Pada hasil survei Juni 2022 tingkat loyalitas terhadap partai pilihan ada di kisaran 60,2 persen hingga 81,6 persen, sedangkan pada Januari 2022 berkisar 50 persen hingga 78,4 persen.
Artinya, pada bulan Juni lalu terjadi peningkatan tingkat loyalitas ketimbang bulan Januari, di mana loyalitas diukur dari pilihan partai di Pemilu 2019 dengan ”partai yang akan dipilih saat ini” jika diadakan pemilu.
Baca juga: Perindo Melangkah ke Papan Tengah?
Hasil pemilu
Apabila menengok hasil sesungguhnya dari pemilu legislatif, proporsi itu tergambar seperti berikut: tingkat partisipasi pemilu legislatif telah naik dari Pemilu Legislatif 2014 sebesar 75,11 persen dan Pileg 2019 sebesar 81,69 persen.
Sementara itu, suara tidak sah (invalid votes) ternyata juga naik, di Pemilu Legislatif 2014 jumlah suara tidak sah sebesar 14.601.436 suara (10,46 persen), sementara Pemilu Legislatif anggota DPR 2019 jumlah suara tidak sah sebesar 16.267.725 (11,45 persen).
Artinya, pemilu legislatif 2014 dan 2019 menunjukkan kenaikan tingkat partisipasi Pemilu sebesar 6,58 persen namun suara tidak sah juga meningkat sebesar 0,99 persen.
Tingkat partisipasi yang di atas 81 persen merupakan skor mayoritas yang cukup meyakinkan meskipun itu berarti publik yang tak memilih sebesar 18,31 persen alias hanya terpaut tipis dengan perolehan PDI-P sebagai peraih suara terbesar di Pemilu 2019 sebesar 19,33 persen.
Sementara suara tidak sah (invalid votes) yang semakin besar di Pemilu 2019 merupakan kabar kurang sedap karena menjadi bentuk akuntabilitas dan keberhasilan penyelenggara dan parpol peserta dalam melaksanakan pemilu.
Jika membandingkan susunan pemenang Pileg 2019 dengan hasil survei prapemilu Litbang Kompas Maret 2019, urutan pemenang pemilu 1 sampai dengan 4 masih sama dengan hasil perhitungan KPU, yakni PDI-P (hasil KPU 19,33 persen), Gerindra (hasil KPU 12,57 persen), Golkar (hasil KPU 12,31 persen), dan PKB (hasil KPU 9,69 persen). Artinya, empat besar peringkat perolehan suara mampu dipotret secara benar oleh survei Litbang Kompas.
Sebagai konteks, dalam Pemilu 2019 penggunaan politik identitas, khususnya isu agama dalam pemilu (khususnya pilpres), merupakan salah satu yang paling pekat dalam sejarah elektoral Indonesia.
Kepekatan politisasi identitas ini terutama distimulasi polarisasi kekuatan politik poros Joko Widodo-Ma’ruf Amin versus poros Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang membelah suara publik sebagai kelanjutan residu Pemilu 2014.
Cermati pula masa kampanye Pemilu 2019 yang cukup panjang tetapi kurang efektif, dimulai sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Hingga setengah perjalanan kampanye, para pemilih masih kurang terpapar program kedua pasangan calon.
Jajak pendapat Litbang Kompas yang dilaksanakan pada 3-4 Januari 2019 menunjukkan, hanya 33,93 persen responden yang mengaku terpapar informasi tentang visi, misi, serta program capres dan cawapres.
Sisanya menyatakan mendapat informasi mengenai aktivitas kampanye, keseharian calon, identitas calon, informasi hoaks, atau menyatakan tidak tahu dan tidak menjawab.
Di mana posisi pemilih ragu pemilu legislatif pada saat itu? Hal itu sedikit banyak tecermin dalam peningkatan keraguan pemilih parpol pada hasil survei periode awal 2016 hingga akhir 2018.
Baru pada awal 2019, tingkat keraguan responden menurun dan proporsi ”Tidak Tahu” terus mengecil hingga dilaksanakannya pemilu serentak di April 2019. Sebagai tambahan informasi, dua pertiga responden dalam survei tersebut menyatakan bahwa penentuan pilihan parpol di pemilu telah diputuskan lebih dari sebulan sebelum hari pencoblosan.
Baca juga: Partai Solidaritas Indonesia di Tengah Konservatisme-Pragmatisme Politik
Elektabilitas parpol
Secara umum, faktor memilih partai politik di Indonesia masih relatif dipengaruhi oleh faktor sosiologi (identitas sosial-agama, suku, daerah), faktor kesukaan pada partai politik (ideologi, tokoh, historis), dan faktor pertimbangan rasional (program parpol, ekonomi).
Bisa pula pembedaan itu didasarkan pada faktor yang bersifat tradisional, laten, historis, dan faktor yang lebih modern, bersifat pragmatis, rasional-ekonomis.
Namun dengan memperhitungkan profil populasi pemilih ragu dalam survei ini, tampaknya kelindan faktor-faktor itu masih bersifat dinamis dan bersifat khas dalam setiap partai.
Sebagaimana yang terekam dalam survei Litbang Kompas, parpol nasionalis/nonagama yang sudah mapan rata-rata memiliki figur yang kuat sebagai daya tarik terbesar bagi pemilih (PDI-P 23,6 persen, Gerindra 48,3 persen, Demokrat 31,7 persen, bahkan Golkar 20,8 persen) ketimbang faktor lain.
Sementara aspek ideologi yang kuat sebagai daya tarik parpol yang melebihi figur ketum, sebetulnya lebih banyak disuarakan para pemilih partai bernuansa agama (PKB 31,3 persen, PKS 22,2 persen, PPP 36,0 persen) ketimbang pemilih partai non-agama.
Di mata pemilih ragu, berbagai faktor pengaruh itu terakumulasi dalam cara pandangnya terhadap pilihan parpol. Dalam analisis ini, tampak bahwa partai-partai yang saat ini ada di DPR juga terancam berkurang elektabilitasnya oleh pemilih yang masih ragu ini. Analisis didasarkan pada jawaban ”tidak tahu/rahasia”, ”tidak jawab”, dan ”tidak ada” yang dikros dengan pilihan parpol pada Pemilu 2019.
Baca juga: Analisis Litbang "Kompas": Belum Menyatakan Pilihan di Pemilu, Siapakah Mereka?
Pemilih ragu
PDI-P menjadi partai yang terbesar memiliki pemilih ragu sebesar 12,72 persen di antara responden pemilih mereka di Pemilu 2019. Sementara Golkar menjadi partai dengan pemilih ragu paling kecil, yakni 3,5 persen dari antara responden pemilih Golkar di Pemilu 2019. Di antara kedua angka itu, Gerindra, Nasdem, PPP, dan PAN cukup besar terlanda pemilih ragu, sedangkan PKS tergolong minim pemilih ragu.
Tentu saja, faktor loyalitas dari pilihan di Pemilu 2019 tersebut masih bisa dipengaruhi oleh konteks politik kontemporer, termasuk koalisi parpol dan kandidat calon presiden yang akan diusung.
Bagaimanapun, kekuatan sosok dalam pemilu presiden dalam berbagai survei kerap kali direspons lebih kuat oleh responden ketimbang preferensi yang disuguhkan parpol. Ini akan menambah lagi dinamika pilihan parpol di pemilu.
Alhasil, mengecilnya komposisi pemilih ragu saat ini yang dalam survei hanya tersisa 16,0 persen sesungguhnya masih menyimpan potensi kembali bergeser ke arah mana pun.
Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi preferensi pilihan parpol publik responden, di tengah masih silang sengkarutnya wajah koalisi politik dan pencapresan saat ini.
Satu hal yang pasti, pemenang pemilu parpol adalah partai yang mampu mengonsolidasikan seluruh faktor yang disukai publik responden ke dalam dirinya. (LITBANG KOMPAS)