Partai Solidaritas Indonesia di Tengah Konservatisme-Pragmatisme Politik
Partai Solidaritas Indonesia lahir membawa gagasan dari anak muda. Perubahan kepemimpinan di PSI menjadi ujian soliditas bagi partai ini. Bagaimana kesiapan PSI di Pemilu 2024?
Mendeklarasikan diri sebagai partai baru dengan semangat keberanian orang muda, demokrasi esensial, dan politik bermartabat belum menjadi jaminan keberhasilan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam percaturan politik nasional. Ada potensi bahaya terjebak dalam ceruk politik yang sempit di tengah loyalitas yang belum terbangun.
Sebagai partai yang relatif baru, didirikan pada 16 November 2014, kiprah PSI bertarung di Pemilu 2019 sebenarnya tergolong lumayan. Dengan perolehan suara sekitar 2,65 juta suara atau 1,89 persen suara sah, perolehan suara PSI mengalahkan partai lama, seperti Hanura (1,54%), PBB (0,79%), dan PKPI (0,22%).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Meskipun demikian, PSI masih gagal menembus ambang batas parlemen 4 persen. Namun, kiprah partai ini relatif cukup terdengar karena puluhan kadernya berhasil meraih kursi, baik di DPRD kabupaten/kota maupun di DPRD di provinsi, di antaranya Provinsi Banten, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.
PSI menjadi partai pertama yang secara tegas membentuk diri sebagai ”partainya orang muda ”.
Tidak itu saja, di tingkat eksekutif, meskipun tidak termasuk partai politik di parlemen nasional, PSI dipercaya duduk di kementerian. Sekretaris Dewan Pembina PSI Raja Juli Antoni saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang menggantikan Surya Tjandra yang juga dari PSI.
PSI menjadi partai pertama yang secara tegas membentuk diri sebagai ”partainya orang muda”. Mayoritas kader PSI adalah para pemuda dan partai tersebut membatasi keanggotaannya untuk orang di bawah 45 tahun.
Partai ini bertekad menjadi kekuatan politik baru yang mengembalikan politik ke tempat yang terhormat di mana politik dijalankan dengan nilai-nilai kebajikan agar lahir negarawan yang seluruh pikiran dan tindakannya didasarkan atas kepentingan yang lebih besar.
Menengok visi PSI di laman resmi, antara lain bertujuan untuk Indonesia yang berkarakter kerakyatan, berkemanusiaan, berkeragaman, berkeadilan, berkemajuan, dan bermartabat dengan ”DNA” Kebajikan (antikorupsi) dan Keragaman (antiintoleransi).
Haluan politik PSI terasa kental dengan nuansa ajaran Presiden Soekarno. Mulai dari ucapan Soekarno tentang harum bunga mawar yang diterjemahkan ke dalam logo partai, konsep Pancasila, dan Trisakti Soekarno, hingga Trilogi Identitas PSI.
Bandingkan konsep Trisakti Bung Karno (Berdaulat dalam Politik, Berdikari di Ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan) dengan Trilogi PSI (Menebar kebajikan, Merawat keragaman, dan Meneguhkan solidaritas).
PSI bahkan menyatakan ”selalu berani dalam setiap gerakan politiknya tanpa pernah gentar pada siapa pun”, tidak ”kanan” (konservatif-agamis) dan tidak ”kiri” (sosialis-komunis), tetapi mengambil yang baik dari ”kanan” dan ”kiri”.
PSI berfokus kepada gerakan perlindungan perempuan, kelompok difabel, hingga kelompok etnis dan agama minoritas. Memberi perlindungan kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan seperti ini, misalnya dengan mendorong kebijakan afirmasi, merupakan bentuk dari ”pembaruan politik” yang digagas oleh PSI.
Gagasan untuk mempromosikan pluralisme, melawan konservatisme SARA, dan mengkritik kasus korupsi besar juga merupakan salah satu aksi yang telah ditunjukkan oleh PSI sejauh ini.
Secara umum visi misi dan ideologi PSI terasa sungguh demokratis, egaliter, berani, dan optimistis. Semua tekad itu terdengar sungguh positif dan normatif. Namun, apakah itu semua mampu membawa PSI mengarungi dimensi politik nasional yang multimasalah dan menjawab kebutuhan pasar konstituen pemilih di Indonesia?
Baca juga: PSI, Memperjuangkan Nilai-nilai Partai
Antinarasi
Sebagai parpol orang muda, PSI sudah berani melakukan gebrakan-gebrakan politik sejak awal. Kerap menyuarakan sejumlah gagasan yang diametral dengan narasi mayoritas, bahkan negara, di antaranya gagasan tentang antipoligami bagi pejabat publik, termasuk dengan usulan merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dinilai masih membuka peluang poligami.
Partai ini juga menginisiasi sejumlah langkah berani dalam organisasi kepartaian, termasuk pengelolaan parpol yang memisahkan antara kepentingan politik dan kepentingan partai. Hal ini bertujuan untuk menjaga independensi partai terhadap kekuasaan dalam hal mencegah intrusi politik, misalnya pada saat ada kader yang masuk ke dalam pemerintahan.
Inisiasi berani lainnya adalah terkait keuangan organisasi yang menghimpun sebagian dana organisasi dari donasi publik (crowdfunding). Sistem donasi secara terbuka yang berlangsung terus, termasuk pertanggungjawabannya, tampaknya baru lebih menonjol dijalankan oleh partai ini di tengah sistem penghimpunan dana secara internal dan tertutup yang dilakukan parpol-parpol lainnya.
Selain langkah berani melakukan pembaruan sistem organisasi partai politik, PSI juga konsisten menyuarakan pembelaan terhadap posisi kelompok minoritas di Indonesia, termasuk, di antaranya, menolak adanya Perda Syariah ataupun Perda Injil demi mencegah intoleransi dan diskriminasi, dan mencegah agama dipakai sebagai alat politik.
Langkah paling berani PSI dilakukan menjelang Pilkada 2017, yaitu berada di belakang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam proses kandidasi gubernur DKI Jakarta sejak awal pencalonan Ahok secara individu ataupun melalui parpol. Perhatian PSI ke Ahok juga masih kuat ketika Ahok selesai menjalani masa hukumannya dalam kasus penodaan agama di akhir Januari 2019.
Langkah paling berani PSI dilakukan menjelang Pilkada 2017, yaitu berada di belakang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam proses kandidasi gubernur DKI Jakarta.
Meski berani melakukan politik antinarasi, bukan berarti seluruh struktur dilawan oleh parpol ini. Dalam sejumlah isu dan narasi yang sesuai dengan pandangan politiknya, PSI memegang teguh dukungannya, antara lain dalam mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Program-program yang menjadi unggulan pemerintah, seperti ”kehadiran negara”, pembangunan infrastruktur, hingga pemindahan ibu kota baru, didukung oleh PSI. Bentuk dukungan ini terekam kuat baik dalam jargon maupun langkah politik.
Baca juga: Di HUT Ke-7 PSI, Presiden Jokowi Nyatakan Gotong Royong Kunci Penanganan Pandemi
Struktur goyah
Salah satu yang menonjol dalam kiprah PSI ialah kritik kepada gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sejak awal, sikap penentangan ini terlihat menonjol dalam sejumlah isu pembangunan di DKI. Mulai dari perumahan DP nol rupiah, soal izin PKL berjualan di trotoar jalan, balap Formula-e, dan proses pancapresan Anies di Pemilu 2024.
Meski demikian, sikap oposan terhadap Anies segera menimbulkan tanda tanya dengan berbaliknya dukungan mantan wamen Agraria Surya Chandra menjadi pendukung Anies Baswedan dalam pencapresan, akhir Juli 2022. Hal ini merupakan kali kedua seorang kader penting PSI berbalik mendukung lawan politik setelah sebelumnya Sunny Tanuwidjaja juga beralih.
Sunny Tanuwidjaja memutuskan mundur dari PSI pada awal 2021 lantaran berbeda sikap politik dengan PSI. Sunny Tanuwidjaja merupakan salah satu pendiri PSI pada tahun 2014. Sebelum mundur, Sunny menjabat Sekretaris Dewan Pembina PSI. Pada 18 April 2022, Ketua DPP Tsamara Amany juga mengundurkan diri dari PSI karena alasan pribadi (nonpolitik).
Mundurnya sejumlah tokoh penting PSI menimbulkan pertanyaan tentang tingkat loyalitas dan soliditas para punggawa PSI dalam mengasuh partai muda ini. Meskipun sikap politik merupakan hak dalam demokrasi, beruntunnya kader parpol yang berpaling muka menggambarkan rapuhnya ikatan soliditas internal parpol.
Sebelumnya, pada 16 November 2021, PSI menyiarkan pengumuman perubahan posisi puncak PSI. Grace Natalie, yang sejak awal PSI berdiri menjabat ketua umum (ketum), kini menjabat Wakil Ketua Dewan Pembina.
Sebagai gantinya adalah Giring Ganesha (vokalis Band Nidji) yang baru empat tahun menjadi bagian dari PSI. Pada Agustus 2020, PSI juga memutuskan Giring menjadi calon presiden untuk Pemilu 2024 meski kemudian membatalkan diri.
Di mata publik, rentetan peristiwa itu mencitrakan bongkar pasang jabatan ketum dan pejabat teras yang terlalu cepat dilakukan. Bagaimanapun, sosok-sosok penting termasuk Grace Natalie, Tsamara Amani telah menjadi magnet bagi pemilih parpol ini dalam sejumlah pidato politiknya dan semakin identik dengan perjuangan PSI.
Baca juga: Semiotika Politik PSI di Pilpres 2024
Hasil survei
Betapapun, sebuah partai bercorak nasionalis membutuhkan sebuah kemapanan figur sosok ketum parpol. Sebagaimana yang terekam dalam survei Litbang Kompas, parpol nasionalis/non-agama yang sudah mapan rata-rata memiliki figur yang kuat sebagai daya tarik terbesar bagi pemilih (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 23,6 persen, Gerindra 48,3 persen, Demokrat 31,7 persen, bahkan Golkar 20,8 persen) ketimbang faktor lain.
Sementara aspek ideologi yang kuat sebagai daya tarik parpol yang melebihi figur ketum sebetulnya lebih banyak disuarakan para pemilih partai bernuansa agama (PKB 31,3 persen, PKS 22,2 persen, PPP 36,0 persen) ketimbang pemilih partai non-agama.
Dari segi sebaran demografi, pengkhususan target PSI kepada orang muda pun tampaknya bisa menjadi potensi penghalang popularitas parpol.
Sebagaimana yang terekam dari hasil survei Litbang Kompas, dari sedikit responden yang berhasil dihimpun, latar belakangnya mencirikan satu kelompok menengah tertentu dan kurang tebalnya dukungan pemilih laki-laki, kelas bawah dan kalangan pekerja.
Dengan kata lain, pemilih masih elitis. Hal ini memberi keuntungan tetapi lebih banyak kekurangan. Orang muda bisa jadi bersemangat, tetapi juga lebih labil dalam loyalitas karena masih relatif pendeknya usia parpol.
Hasil survei lagi-lagi menunjukkan, pemilih PSI cenderung paling tidak loyal pada parpol ini jika mencalonkan kandidat yang tidak disukai. Hanya sepertiga bagian responden (33 persen) yang tetap memilih parpol ini jika mengajukan calon yang tak disukai.
Kekuatan gagasan PSI tentang ”captive market” target politik orang muda boleh jadi kini menjadi unsur yang berpotensi memperlemah popularitasnya. Gambaran elektabilitas juga belum memberi gambaran peningkatan yang menjanjikan di tengah semakin menipisnya kelompok pemilih ragu. Dalam survei bulan Juni 2022, elektabilitas PSI hanya sekitar 0,7 persen responden.
Dalam konteks ini, nuansa konservatisme dalam memilih partai, sosok figur politik, dan karakter sosial ekonomi di masyarakat konstituen tampaknya berperan penting. PSI tampaknya perlu mengantisipasi modal sosial yang sudah diraih dalam periode awal masa terbentuknya partai sembari beradaptasi dengan situasi baru.
Baca juga: Merunut Prospek Kemenangan Banteng Moncong Putih
Citra stabil
Sejarah partai-partai mapan di Indonesia mencerminkan perlu memiliki pegangan idealisme dan sosok yang kuat, tetapi lincah dalam percaturan politik. PSI perlu membangun dan menyosialisasikan jati diri orang muda berpolitik yang tak hanya berani berbeda, tetapi juga merangkul dan memahami yang berbeda, termasuk lapisan masyarakat bawah.
Di tengah dominasi parpol mapan dan menyusutnya elektabilitas parpol papan tengah, seharusnya warna politik PSI mampu menarik lebih banyak suara publik.
Simbolisasi dan jargon politik pro toleransi dan keterbukaan perlu ditopang struktur internal yang kukuh demi citra yang stabil.
Di tengah dominasi parpol mapan dan menyusutnya elektabilitas parpol papan tengah, seharusnya warna politik PSI mampu menarik lebih banyak suara publik. Namun, nilai modernisme dan keterbukaan yang dibawa PSI harus mampu menembus ruang pemahaman yang lebih luas agar perjuangan dan upaya para pejuang muda tak mudah terkikis. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Langkah Parpol di Tengah Pergeseran Politik