Analisis Litbang "Kompas": Belum Menyatakan Pilihan di Pemilu, Siapakah Mereka?
Survei Litbang “Kompas” menangkap populasi publik yang belum menentukan pilihan parpol dan capres di Pemilu 2024. Dari sisi usia, tingkat pendidikan, dan wilayah tempat tinggal, siapakah para “undecided voters” ini?
Oleh
VINCENTIUS GITIYARKO
·6 menit baca
Publik belum sepenuhnya menyatakan dukungan politik kepada parpol ataupun calon presiden. Upaya menggali data responden yang belum menyatakan pilihan politiknya saat ini dapat dilakukan oleh peserta pemilu untuk merancang strategi elektoral di Pemilu 2024 nanti.
Belum bulatnya dukungan publik kepada partai politik ataupun calon presiden tergambar dari survei yang dilakukan Litbang Kompas. Berdasarkan survei yang dilakukan pada Juni 2022, masih terdapat 16,1 persen responden yang belum menentukan pilihannya jika ditanya partai apa yang akan dipilih jika pemilu dilakukan saat ini. Dengan model pertanyaan yang sama, ada sekitar 9,1 persen yang belum menjatuhkan pilihan terhadap calon presiden. Jumlah ini merupakan akumulasi dari jawaban tidak tahu, tidak ada, ataupun rahasia.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sekilas lalu, kedua angka di atas tampak kecil. Namun, jika dilihat dalam konteks pilihan politik dalam pemilu, jumlah tersebut bisa sangat menentukan. Paling tidak ada dua hal yang perlu diingat. Pertama, ambang batas parlemen sebuah parpol bisa melenggang di Senayan adalah 4 persen. Artinya, undecided voters saat ini mencapai empat kali lipat ambang batas parlemen.
Kedua, melihat dua pemilu presiden terakhir, selisih suara yang diperoleh tidak lebih dari 11 persen. Pilpres 2014 berakhir dengan selisih suara 6,3 persen. Sementara pada Pemilu 2019, petahana mengungguli penantangnya dengan selisih 11 persen.
Baik angka ambang batas parlemen maupun selisih perolehan suara pemilu presiden dalam dua tahun terakhir berada di bawah persentase responden yang belum menyatakan pilihannya dalam survei. Ini menunjukkan bahwa mengambil hati mereka yang belum secara tegas menyatakan pilihannya bisa menjadi strategi elektoral yang menentukan hasil pemilu.
Melihat trennya, jumlah responden yang belum menyatakan pilihan pada survei Juni 2022 ini menunjukkan sedikit penurunan untuk pilihan partai dibandingkan dengan survei periode Januari 2022. Angka penurunannya sekitar 1,5 persen. Sebaliknya, untuk pilihan presiden, responden yang belum menyebutkan nama sebagai presiden bertambah sekitar 1,8 persen.
Mencermati data di atas, dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan, survei mencatat adanya kecenderungan yang berkebalikan antara pilihan partai dan pilihan presiden. Persentase responden yang belum memiliki pilihan partai menyempit tipis, sementara persentase responden yang belum memiliki pilihan presiden sedikit melebar. Lalu, siapakah mereka yang belum memiliki pilihan saat ini?
Dilihat berdasarkan kategori usianya, baik dalam pilihan partai maupun pilihan presiden, ada kecenderungan semakin tua usianya, semakin besar jumlah responden yang belum memiliki pilihan saat ini. Untuk pilihan partai, sebanyak 21,1 persen kelompok umur 60 tahun ke atas belum menyatakan pilihannya. Jumlah ini menurun menjadi 19,4 persen di kelompok usia 41-60 tahun dan menurun lagi menjadi 12,8 persen di kelompok usia 24-40 tahun. Sementara 14,4 persen kelompok usia 17-23 tahun belum menjatuhkan pilihan partai.
Makin menarik jika mencermati kategori usia responden yang belum menyatakan pilihannya untuk presiden. Seakan terjadi dua kutub antara kelompok usia 40 tahun ke atas dan 40 tahun ke bawah. Pada kutub kelompok usia di bawah 40 tahun, sebanyak 5,3 persen saja responden berusia 17-23 tahun belum menyatakan pilihannya. Sementara untuk kategori usia 24-40 tahun, 6,8 persen.
Adapun pada kutub seberangnya pada kategori usia 41-60 tahun, angkanya naik hampir dua kali lipat, yakni 11,9 persen. Pada kelompok usia 60 tahun ke atas, persentasenya kembali naik, yakni 17,1 persen sekaligus menjadi kelompok usia paling besar yang belum menyatakan pilihan presiden.
Ada dua poin penting jika mencermati data di atas. Pertama, asumsi bahwa makin muda generasi, makin apatis dengan politik tidak terbukti. Sebab, generasi muda malah cenderung kecil persentasenya yang belum mempunyai pilihan, baik soal partai maupun presiden. Malah hal ini bisa mengindikasikan pilihan media beragam untuk masuk ke kehidupan anak muda relatif berhasil dalam politik.
Poin kedua, generasi yang lebih tua tecermin relatif lebih sulit diambil hatinya dalam urusan politik. Hal ini mengindikasikan kelompok ini belum yakin dengan pilihan yang ada ditambah pintu masuk untuk memengaruhi pilihan politik generasi tua lebih terbatas.
Tingkat pendidikan
Melihat tingkat pendidikan responden, baik pilihan partai maupun presiden, kembali menunjukkan pola yang mirip. Dalam kedua konteks ini, semakin rendah tingkat pendidikan, semakin tinggi persentase responden yang belum menyatakan pilihannya.
Dalam hal pilihan partai, sebanyak 12,2 persen responden tingkat pendidikan tinggi belum manyatakan pilihannya. Jumlah ini naik dalam kategori responden tingkat pendidikan menengah, yakni 14,2 persen. Sementara responden dengan level pendidikan dasar yang belum menyatakan pilihan partai sebesar 17,2 persen. Artinya ada jarak 2-3 persen dalam setiap level pendidikan.
Jarak signifikan terlihat dalam konteks pilihan presiden antara responden level pendidikan dasar dan level pendidikan menengah serta atas. Untuk kelompok responden level pendidikan atas, sebanyak 4,4 persen responden belum menyatakan pilihan presiden. Tak berbeda dengan itu, sebanyak 4,3 responden level pendidikan menengah belum memunculkan nama sebagai pilihan presiden.
Jarak yang cukup timpang terjadi pada kelompok responden tingkat pendidikan dasar. Sebanyak 12,4 persen responden level pendidikan dasar, atau sekitar tiga kali lipat dari tingkat pendidikan lainnya, belum menyatakan pilihan untuk presiden.
Dari sisi responden, hal ini menunjukkan bahwa bagi mereka dengan level pendidikan dasar tampaknya urusan politik relatif lebih kecil prioritasnya dibandingkan mereka dengan level pendidikan di atasnya. Sementara dari sisi para peserta yang berniat maju dalam pemilu, mengalirkan informasi dan meyakinkan kelas pendidikan dasar untuk menjatuhkan pilihan tampak menjadi tantangan, sekaligus menunjukkan usaha yang ada saat ini masih perlu diperkuat.
Wilayah domisili
Setelah melihat kategori usia dan level pendidikan, menarik juga dicermati responden yang belum menyatakan pilihan politiknya berdasarkan wilayah domisili. Tempat tinggal responden dapat dipilah berdasarkan dua hal, yakni wilayah perkotaan dan perdesaan, ataupun wilayah pulau besar yang ditempati.
Berdasarkan klasifikasi wilayah tempat tinggalnya, persentase responden yang belum menyatakan pilihan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan, baik untuk pilihan partai maupun pilihan presiden. Sebanyak 17,4 persen responden perdesaan belum menyatakan pilihan partainya. Selisih 3 persen di bawahnya, ada 14,3 persen responden perkotaan yang belum menyatakan pilihan.
Selisih lebih tinggi terjadi dalam konteks pilihan presiden. Sekitar 5,2 persen saja responden perkotaan yang belum menyatakan pilihan presidennya. Sementara lebih dari dua kali lipat, 11,8 persen, responden perdesaan belum menyatakan pilihannya. Dari sini, tampak bahwa masyarakat yang tinggal di perdesaan masih berpotensi untuk diyakinkan pilihan politiknya.
Selanjutnya, apabila dilihat dari pulau yang ditinggali, tiga pulau teratas yang ditempati responden yang belum menyatakan pilihan partai berturut-turut adalah Jawa (20 persen), Maluku-Papua (14,7), dan Sumatera (11,4 persen). Sementara dalam konteks belum menyatakan pilihan presiden berturut-turut adalah Sulawesi (11,9 persen), Jawa (11,7), dan Maluku Papua (10,8).
Jika diringkas secara sederhana, karakteristik responden yang belum menentukan pilihan politik dalam survei ini adalah semakin tua dari sisi usia, semakin rendah dari sisi tingkat pendidikan, dan di perdesaan tinggalnya. Data ini bisa mendukung para peserta pemilu untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk menaikkan elektabilitas.
Berbekal data di atas, peserta pemilu sudah memiliki modal awal untuk memantapkan strategi elektoral di segmen pemilih yang belum menentukan pilihan ini. Akan tetapi, di sisi lain, data ini juga memberikan indikasi bahwa konsentrasi- konsentrasi politik hingga saat ini cenderung tidak berpihak kepada rakyat dengan karakteristik tua dari sisi usia, rendah dari sisi pendidikan, dan tinggal di perdesaan.
Mereka yang belum sepenuhnya memberikan pilihan politik dapat juga menjadi gambaran ceruk pemilih yang merasa belum terwakilinya aspirasi atau harapannya terhadap program yang ditawarkan parpol dan para pemimpin saat ini. Mengingat kondisi ini, parpol dan kandidat calon presiden harus berupaya keras meyakinkan undecided voters ini agar tidak bertransformasi menjadi golput atau tidak memilih.
Gagasan, program, dan visi yang ditawarkan selayaknya memberikan jaminan yang benar-benar dapat berpihak dan memberdayakan para pemilih usia tua, berpendidikan rendah, dan mayoritas tinggal di perdesaan. Harus diingat pula, kontestasi pemilu bukan hanya soal perebutan kekuasaan politik, tetapi juga menjadi sarana untuk menjaring aspirasi politik seluruh elemen masyarakat secara berkeadilan. (LITBANG KOMPAS)