Analisis Litbang ”Kompas”: Mencermati Strategi Beberapa Negara Jinakkan Inflasi
Pengendalian inflasi melalui subsidi dan bantuan tunai di Indonesia menjadi solusi, terutama bagi mereka yang mengalami tekanan daya beli akibat inflasi tinggi.
Inflasi tinggi masih membayangi sebagian besar negara di dunia. Berbagai upaya pengendalian belum berdampak maksimal menurunkan inflasi. Bantuan sosial mulai banyak digulirkan sejumlah negara untuk menjaga daya beli masyarakat.
Pelambatan ekonomi selama pandemi, instabilitas geopolitik, hingga terganggunya rantai pasok global menjelma menjadi badai inflasi yang menghantam hampir semua negara di dunia. Upaya-upaya yang dilakukan selama setengah tahun terakhir terbukti belum mampu menekan harga barang yang makin mahal. Tak ayal, dibutuhkan strategi tambahan untuk bisa menghadapi tantangan inflasi kali ini.
Memasuki paruh kedua tahun 2022, laju inflasi di berbagai belahan dunia terpantau terus merangkak naik. Gambaran besar dari situasi ini dapat dilihat dari tingkat inflasi yang dialami oleh 38 negara anggota OECD. Selama Januari hingga Juni 2022, tingkat inflasi di negara-negara tersebut konsisten mengalami kenaikan dari 7,2 persen menjadi 10,3 persen.
Tingkat inflasi yang cukup tinggi juga dirasakan oleh negara anggota G20. Dalam rentang waktu yang sama, rerata inflasi di 20 negara anggota tersebut naik dari 6,5 persen menjadi 9,2 persen. Selaras, negara adidaya yang tergabung dalam G7 juga turut mengalami peningkatan inflasi selama Januari hingga Juni 2022 dengan kenaikan dari 5,8 persen menjadi 7,9 persen.
Secara geografis, Uni Eropa menjadi kawasan dengan tingkat inflasi yang lebih parah dibandingkan dengan yang lainnya. Sepanjang paruh awal 2022, negara-negara di kawasan ini mengalami kenaikan angka inflasi sebesar 3,6 persen, yakni dari 5,1 persen pada Januari menjadi 8,6 persen pada Juni 2022.
Bahkan, beberapa negara, seperti Belanda, Belgia, Ceko, Polandia, dan Spanyol, kini tengah mengalami tingkat inflasi dengan angka dua digit.
Sama dengan para tetangganya, Inggris juga ikut merasakan inflasi yang mencekik dengan angka di atas 10 persen. Sepanjang sejarah, tingkat inflasi ini menjadi yang terburuk hingga lebih dari tiga dekade.
Selain di Benua Biru, belahan dunia lain yang juga digulung dengan gelombang inflasi ini ialah wilayah Amerika. Sebagai salah satu kekuatan ekonomi global, AS pun kini tengah berjibaku menahan laju inflasi untuk tidak menembus angka 10 persen.
Bernasib lebih buruk, beberapa negara di kawasan Amerika Latin dihantam dengan inflasi tinggi, bahkan hingga mencapai 64 persen.
Baca juga : Inflasi Spiral Melanda Turki dan Inggris
Energi dan pangan
Melonjaknya tingkat inflasi dunia ini sebagian besar didorong oleh krisis energi. Konflik antara Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan memang membuat rantai pasok energi terganggu. Selama ini Rusia merupakan produsen minyak mentah (crude oil) terbesar ketiga di dunia dengan menyumbang lebih dari 12 persen dari produksi tahunan global.
Tak ayal, risiko krisis energi ini akan semakin parah pada akhir tahun nanti. Pasalnya, sepertiga negara Eropa barat biasa bergantung pada pasokan gas untuk menghangatkan warga mereka semasa musim dingin.
Melonjaknya tingkat inflasi dunia ini sebagian besar didorong oleh krisis energi.
Selain krisis energi, tekanan yang mendongkrak tingkat inflasi juga datang dari sektor pangan. Walau dikenal sebagai negara yang tak terlalu besar, kontribusi Ukraina terhadap rantai pasok pangan dunia cukup strategis. Dengan jumlah ekspor lebih dari 20 juta ton per tahun, negara ini menguasai sekitar sepersepuluh pasar gandum dunia.
Inflasi pangan dan energi ini semakin diperkuat dengan laporan Consumer Price Index dari OECD pada awal Agustus 2022. Jika mengeluarkan kenaikan pada sektor pangan dan energi dari penghitungan, rerata tingkat inflasi negara anggota organisasi ini masih relatif terjaga di kisaran 6 persen. Artinya, krisis pangan dan energi ini menyumbang lebih dari sepertiga dari total tingkat inflasi.
Baca juga : Arahan Presiden Jokowi untuk Kendalikan Inflasi Direspons Para Menteri
Strategi
Inflasi yang kian melambung bisa membahayakan bagi keberlangsungan negara. Tak hanya soal ekonomi, inflasi yang meroket berpotensi meningkatkan instabilitas politik.
Beberapa kasus, seperti saat masa ”Musim Semi Arab” dan krisis di Sri Lanka, menunjukkan bahwa inflasi yang tidak terkontrol dapat memantik protes besar-besaran hingga berujung pada gejolak politik dan penggulingan rezim pemerintahan.
Tak heran, upaya pengendalian tingkat inflasi menjadi agenda utama bagi pemerintah di banyak negara. Secara umum penanganan inflasi dapat dikendalikan melalui dua arah, yakni dari sisi permintaan atau sisi pasokan.
Dari sisi permintaan, negara dapat berupaya untuk mengendalikan inflasi dengan kebijakan yang dapat mengurangi permintaan yang dapat dicapai melalui kebijakan fiskal ataupun moneter.
Adapun dari sisi pasokan, negara bisa melakukan intervensi untuk meningkatkan efisiensi produksi. Di luar kedua sisi ini, pemerintah juga dapat mengurangi dampak yang disebabkan oleh inflasi dengan upaya-upaya menjaga harga, terutama kebutuhan pokok, serta menyiapkan jaring pengaman bagi warga yang paling terdampak.
Pendekatan mendasar ini nyatanya masih digunakan sebagai acuan utama beberapa negara dalam menghadapi kenaikan inflasi kali ini.
Untuk mengontrol inflasi, Pemerintah AS mengeluarkan UU Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act) yang mencakup beberapa poin, seperti meningkatkan pajak perusahaan, mempertahankan jaring pengaman sosial, dan mendorong investasi ketahanan energi dan iklim. Selain menerbitkan regulasi pengurangan inflasi, Bank Sentral AS juga telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin.
Langkah serupa diambil Inggris dan Spanyol. Pemerintah Inggris dan Spanyol segera mengambil keputusan untuk menaikkan suku bunga acuan, menekan harga BBM, mengurangi belanja negara, menaikkan pajak, dan mempersiapkan anggaran untuk bantuan langsung kepada warga.
Hanya saja, pendekatan konvensional ini belum dapat memberikan dampak yang diharapkan. Berdasarkan estimasi dari permodelan milik Universitas Pennsylvania, UU Pengurangan Inflasi AS tidak terbukti secara statistik dapat menurunkan inflasi secara signifikan.
Meskipun telah mengalami penurunan sebesar 0,6 persen pada Juli 2022, inflasi AS masih jauh dibandingkan dengan tingkat di tahun 2021. Kurang efektifnya pendekatan ini juga dirasakan oleh Spanyol dan Inggris. Bahkan, alih-alih berkurang, tingkat inflasi di kedua negara ini justru cenderung meningkat setelah berbagai kebijakan pengendalian diberlakukan.
Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan konvensional belum cukup untuk meredam kenaikan inflasi kali ini. Terlebih lagi, inflasi yang terjadi sekarang didorong oleh gejolak pasokan global dan kondisi eskternal di luar kendali pemerintah. Karena itu, dibutuhkan strategi tambahan berupa bantuan langsung bagi masyarakat.
Pemberian bantuan ini perlu menjadi prioritas dalam menghadapi masa sulit akibat tekanan daya beli karena inflasi. Selain Inggris dan Spanyol, sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, dan Arab Saudi, juga mulai menaikkan anggaran subsidi dan batuan sosial kepada warganya.
Baca juga : Gejala di Dalam Negeri Terkait Inflasi Pangan Perlu Diperhatikan
Mitigasi Asia
Gejolak inflasi dunia juga dirasakan oleh negara-negara Asia. Namun, dibandingkan dengan negara-negara Barat, kondisi di negara-negara Asia cenderung lebih terkendali.
Jepang dan China sebagai negara ekonomi besar di kawasan ini mampu mengendalikan tingkat inflasi di kisaran 2 persen. Angka tersebut dapat dikatakan cukup stabil jika dibandingkan dengan inflasi selama tahun 2021.
Meskipun jauh lebih terkendali dibandingkan dengan negara di Amerika dan Eropa, bukan berarti negara di Asia akan aman dari ancaman inflasi.
Pasalnya, beberapa negara seperti Korea Selatan dan Singapura mulai mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan di kisaran 6 persen. Jika dibandingkan pada Januari 2022 yang berada di angka 4 persen, denyut inflasi di Korsel dan Singapura mulai menunjukkan tren kenaikan.
Hal ini menunjukkan bahwa situasi di kawasan ini kemungkinan besar juga akan menghadapi persoalan inflasi dalam waktu dekat. Dengan masih belum adanya titik terang dari konflik Rusia-Ukraina, serta aktivitas produksi yang masih belum bisa kembali pada level sebelum pandemi, Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan rencana mitigasi agar inflasi tak terkerek terlalu tinggi.
Di Indonesia sendiri, gelagat kenaikan harga pun telah dirasakan di tingkat konsumen. Dengan angka sebesar 4,9 persen pada Juli 2022, tingkat inflasi Indonesia kini mencapai titik tertinggi selama lebih dari lima tahun terakhir. Dengan tren ini, tak tertutup kemungkinan inflasi akan terus merangkak hingga menembus angka dua digit pada akhir tahun.
Maka, Pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan kebijakan untuk memitigasi ancaman inflasi tersebut. Belajar dari pengalaman negara lain, pendekatan yang bertujuan untuk menurunkan permintaan mungkin akan sulit untuk dapat berdampak maksimal di tengah krisis ekonomi dunia.
Pemerintah Indonesia bisa menambah strategi pengendalian inflasi dengan memaksimalkan kebijakan perlindungan sosial bagi masyarakat. Subsidi dan bantuan tunai dapat segera diberikan, terutama bagi mereka yang paling rentan mengalami tekanan daya beli akibat terdampak inflasi tinggi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Ekonomi Masih Sulit, Menabung Pun Tak Bisa