Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Ekonomi Masih Sulit, Menabung Pun Tak Bisa
Kesejahteraan rakyat terdampak pandemi. Biaya hidup yang meningkat karena kenaikan harga-harga membuat publik tidak memiliki dana untuk ditabung. Sementara itu, resesi mulai membayangi.

Meski secara teknis Indonesia tahun ini jauh dari kondisi resesi, publik menilai perekonomian masih dalam kondisi sulit. Hal itu tecermin dari kondisi keseharian masyarakat yang dihadapkan pada tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Biaya hidup yang meningkat tidak menyisakan dana untuk ditabung.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada 19-21 Juli 2022 memperlihatkan potret kesulitan hidup masyarakat setelah pandemi Covid-19 sudah lebih terkendali. Lebih dari separuh responden (55,5 persen) menyatakan pengeluaran rumah tangga atau biaya hidup mereka meningkat dalam sebulan terakhir.
Hal itu disebabkan antara lain karena meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok. Sebanyak 21,2 persen menyatakan sebaliknya. Sisanya mengaku pengeluaran mereka sama saja atau tidak berubah terlalu banyak.
Biaya hidup yang meningkat tidak menyisakan dana untuk ditabung.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Agustus 2022 mengumumkan tingkat inflasi Indonesia pada Juli naik menjadi 4,94 persen (tahun ke tahun). Bulan sebelumnya tingkat inflasi 4,35 persen. Penyebab utama inflasi terbesar masih karena kenaikan harga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau (1,16 persen) disusul kelompok transportasi sebesar 1,13 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, laju inflasi Indonesia menunjukkan tren meningkat karena tingginya tekanan sisi penawaran seiring dengan kenaikan harga komoditas dunia dan gangguan pasokan domestik akibat faktor cuaca. Namun, dibandingkan dengan negara-negara sekelompok (peers), inflasi di Indonesia masih relatif moderat. Inflasi di Thailand sebesar 7,7 persen, di India 7 persen, sedangkan di Filipina inflasinya 6,1 persen.
Dunia tengah menghadapi situasi stagflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi cenderung rendah, sementara tingkat inflasinya tinggi. Inflasi di Amerika Serikat sudah 9,1 persen pada Juni lalu. Inflasi sejumlah negara di Eropa, seperti Jerman, Italia, dan Inggris, juga di kisaran 8-9 persen pada Juni/Juli.

Rusia yang tengah berperang dengan Ukraina inflasinya bahkan sudah 13,4 persen pada Juli. Sementara inflasi di Turkiye lebih tinggi lagi, yakni mencapai 81 persen, melampaui inflasi di Argentina yang sebesar 63,98 persen.
Selain mengalami inflasi tinggi, AS secara teknis tahun ini sudah mengalami resesi ekonomi karena selama dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Pada kuartal I-2022, pertumbuhan ekonomi AS tercatat minus 1,6 persen. Kontraksi berlanjut di kuartal kedua dengan pertumbuhan minus 0,9 persen.
Kontraksi di kuartal kedua yang tidak sedalam kuartal pertama lebih disebabkan karena ada sedikit kenaikan ekspor dan belanja pemerintah federal hanya berkurang sedikit. Ini adalah kondisi teknis resesi pertama yang dialami AS sepanjang masa pandemi Covid-19. Sementara kondisi teknis Indonesia mengalami resesi di masa pandemi terjadi pada kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021 (empat kuartal).
Bank Dunia menyebutkan kondisi stagflasi yang dihadapi negara-negara maju, seperti AS dan negara-negara Eropa, ini akan berbahaya bagi negara-negara berpendapatan menengah dan rendah.

Pekerja menata sayur di salah satu supermarket di Jakarta, Kamis (24/3/2022). Langkah pemerintah menerapkan tarif baru Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen pada April 2022 diperkirakan berimbas pada kenaikan harga barang dan jasa konsumsi. Hal tersebut akan memengaruhi upaya pemulihan ekonomi di tengah kenaikan harga bahan pangan dan bahan bakar yang saat ini telah menggerus daya beli masyarakat.
Pasalnya, lesunya perekonomian di negara-negara maju tersebut akan menurunkan permintaan barang (ekspor) dari negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu, kebijakan untuk menangani resesi tentunya berdampak bagi negara-negara lain. Resesi ekonomi akan menjalar dan bisa terjadi sewaktu-waktu.
Dalam laporan Global Economic Prospects yang dilansir awal Juni 2022, Bank Dunia menyebutkan pertumbuhan ekonomi global akan melorot dari 5,7 persen pada tahun 2021 menjadi 2,9 persen pada tahun 2022, turun 1,2 persen dibandingkan proyeksi pada awal tahun.
Pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan di angka 2,5 persen, sama dengan di negara-negara kawasan Eropa. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan di angka 5,1 persen.
Baca juga: Daya Lindung terhadap Ekonomi Domestik Diperkuat
Khawatir resesi
Publik pun khawatir resesi akan kembali terjadi di Indonesia seperti di awal pandemi. Mayoritas responden (87 persen) yang dijajak pendapatnya menyatakan demikian. Kekhawatiran tersebut dilatarbelakangi kondisi yang tengah terjadi secara global. Ditambah lagi dengan situasi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang dihadapi setiap hari.
Pemerintah dianggap belum mampu mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok dilihat dari angka inflasi yang cenderung naik sejak awal tahun. Sikap masyarakat pun terbelah soal keyakinan pemerintah dapat mengendalikan harga-harga barang. Sebanyak 49,2 persen menyatakan yakin pemerintah mampu, sementara 48,5 persen menyatakan ketidakyakinannya.
Masyarakat harus bersiap menyambut kondisi resesi yang penuh ketidakpastian. Ibaratnya, sedia payung sebelum hujan. Namun, masyarakat kekurangan dana untuk dialokasikan untuk masa depan.

Hasil jajak pendapat menunjukkan masyarakat tidak mempunyai dana berlebih untuk dijadikan tabungan masa depan. Tujuh dari sepuluh responden (68,8 persen) mengaku tidak bisa menabung lagi dalam sebulan terakhir. Kondisi ini terjadi karena pengeluaran masyarakat meningkat akibat kenaikan harga-harga barang dan biaya transportasi.
Penghasilan atau dana yang dimiliki habis untuk pengeluaran jangka pendek seperti kebutuhan sehari-hari. Sementara, ekonomi yang belum sepenuhnya pulih belum mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Menurut Bank Dunia, pendapatan per kapita pada negara-negara berkembang tahun ini turun sekitar 5 persen dibandingkan masa sebelum pandemi.
Kondisi ini akan menyebabkan masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk kebutuhan yang sifatnya jangka panjang seperti biaya untuk sekolah atau pendidikan, juga biaya berobat. Masyarakat pun akan semakin bergantung pada bantuan pemerintah.
Baca juga: Menghindari Resesi Ekonomi
Mitigasi dampak
Dalam analisis Bank Dunia, belajar dari kondisi stagflasi pada tahun 1970-an, pemulihan ekonomi dapat dilakukan salah satunya dengan menaikkan tingkat suku bunga di negara-negara maju. Bank Sentral AS hingga awal Agustus 2022 ini sudah empat kali menaikkan suku bunga acuan menyikapi inflasi yang tinggi, yaitu 0,25 persen pada Maret, 0,5 persen pada Mei, 0,75 persen pada Juni, dan 0,75 persen pada 28 Juli lalu.
Tingkat suku bunga acuan AS sekarang berada di kisaran 2,25-2,5 persen, tertinggi sejak tahun 2018. Namun, langkah menaikkan suku bunga acuan Juli lalu belum tentu yang terakhir di tahun ini.
Kenaikan tingkat suku bunga acuan ini akan berdampak secara finansial kepada negara-negara berkembang. Aliran uang keluar dari pasar keuangan akan terjadi. Oleh sebab itu, Bank Dunia selanjutnya mengingatkan negara-negara berkembang untuk segera memitigasi dampak penjalaran resesi, terutama bagi penduduk yang rentan jatuh ke jurang kemiskinan.

Laporan BPS pada pertengahan Juli 2022 menyebutkan jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2022 berkurang 0,34 juta dibandingkan September 2021. Jumlah penduduk miskin Indonesia kini 26,16 juta orang (9,54 persen).
Agar jumlah tersebut tidak kembali bertambah akibat pelemahan ekonomi, upaya mitigasi dan antisipasi perlu dilakukan. Alokasi dana untuk program perlindungan sosial pun harus disiapkan.
Pertanyaannya, masih kuatkah APBN menahan beban ini mengingat kebutuhan pembiayaan sejumlah proyek atau agenda besar negara ini, seperti pembiayaan ibu kota negara baru dan persiapan Pemilu 2024. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Ancaman Resesi dan Kegagalan Emisi Nol Dunia 2050