Mitigasi krisis iklim harus dilakukan bersama-sama oleh semua lapisan masyarakat. Kemampuan adaptasi sebaiknya tidak hanya berfokus pada generasi yang lebih muda, tetapi hingga pada kelompok lansia.
Oleh
Yoesep budianto
·6 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Awan hitam bergelayut di langit Jakarta jelang hujan, Kamis (9/6/2022). Hujan masih sering turun saat sudah memasuki musim kemarau. Menguatnya fenomena La Nina berpeluang mengakibatkan kemunduran musim kemarau di Indonesia.
Penanganan krisis iklim membutuhkan peran serta dari seluruh lapisan masyarakat. Berbagai kontribusi pemikiran diperlukan untuk melakukan sejumlah langkah mitigasi. Bagi kelompok usia muda, orientasi penanganan krisis iklim lebih berpusat pada upaya-upaya adaptasi. Bagi kelompok usia tua cenderung berfokus pada keberhasilan mitigasi melalui penanganan aktor penyebab krisis iklim.
Akibat krisis iklim, sedikitnya ada 3,3 miliar orang di seluruh dunia terancam keberlangsungan hidupnya. Risiko kematian akibat krisis lingkungan itu kini meningkat secara ekstrem hingga 15 kali lipat dibandingkan dengan beberapa abad sebelumnya.
Ada sejumlah situasi ekstrem yang saat ini mulai lazim terjadi di beberapa belahan dunia. Misalnya saja gelombang panas, kekeringan, banjir bandang, hingga kematian biota laut. Fenomena krisis iklim ini juga sampai ke negara-negara kepulauan di perairan Samudra Hindia dan Pasifik. Termasuk di dalamnya adalah Indonesia.
Salah satu dampak yang muncul di Indonesia adalah kejadian anomali cuaca beberapa waktu lalu. Hujan intensitas tinggi di masa kemarau merupakan wujud ”ketidaknormalan” yang menjadi sorotan masyarakat. Hal ini terungkap melalui jajak pendapat Kompas pada Juni 2022 yang menunjukkan sekitar 57 responden mengaku khawatir pada cuaca yang menyimpang ini.
Tingginya kekhawatiran tersebut sejalan dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap antisipasi krisis iklim. Sedikitnya enam dari sepuluh responden meyakini bahwa krisis iklim tengah terjadi. Sayangnya, di tengah kesadaran yang tinggi itu, terdapat sejumlah kelompok masyarakat lain yang sangsi terhadap ancaman krisis iklim tersebut. Sekitar 21 persen responden menyatakan ragu-ragu dan tidak percaya terhadap fenomena itu.
Dilihat berdasarkan kelompok usia, 21,6 persen anak muda memiliki kecenderungan ragu-ragu tentang status krisis iklim saat ini. Untuk kelompok usia lebih tua lebih didominasi dengan ketidakpercayaan terhadap krisis itu dengan besaran 15 persen. Kegamangan melihat situasi krisis iklim ini perlu disikapi dengan benar. Pasalnya, hal itu menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan program-program penanganan iklim di level individu dan komunitas.
Pada kelompok usia muda, yakni pada generasi Z dan Y, cenderung lebih ragu-ragu dengan kondisi krisis iklim sekarang. Hal itu perlu diatasi dengan memperbanyak informasi valid tentang risiko krisis iklim, termasuk memilih figur utama untuk mengedukasi mereka. Pendekatan terhadap kelompok usia muda dapat dilakukan secara masif menggunakan platform yang diminati saat ini.
Selanjutnya, kelompok penduduk dewasa hingga lansia pada generasi X dan Baby Boomer cenderung tidak percaya atau tidak peduli dengan krisis iklim. Bagi mereka isu krisis iklim belum menjadi sentral bahasan. Kelompok usia 40-55 tahun lebih fokus pada pekerjaan dan dalam kondisi puncak finansial sehingga mampu memenuhi fasilitas untuk mengurangi ketidaknyamanan karena krisis iklim untuk saat ini.
Ketidakpercayaan dan ketidakpedulian itu juga terjadi pada kelompok usia lebih tua, yakni lansia berumur lebih dari 55 tahun. Selain karena sudah lebih banyak beristirahat di dalam rumah, lansia lebih fokus menikmati masa-masa pensiun. Hal-hal yang dilewati sepanjang hidup warga lansia bersangkutan mungkin dianggap sebagai kemampuan bertahan dari berbagai kondisi krisis. Termasuk krisis iklim terkini.
Paradigma krisis iklim
Tingkat kekhawatiran dan kepercayaan publik terhadap krisis iklim dapat dipandang sebagai modal untuk mencapai tujuan akhir pengendalian anomali iklim. Setelah menimbang kedua hal tersebut, maka perlu diketahui bagaimana paradigma masyarakat dalam menyikapi krisis iklim.
Kejelasan pola berpikir publik akan sangat membantu dalam identifikasi jenis kegiatan yang diminati. Dalam konteks krisis iklim, usaha penanganannya terdiri dari dua hal utama, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menekan risiko dan adaptasi adalah usaha untuk hidup berdampingan dengan anomali iklim yang tengah terjadi.
Melalui jajak pendapat Kompas, dapat diketahui ada dua kelompok besar yang memiliki paradigma berbeda dalam menyikapi krisis iklim. Saat mendengar tentang krisis iklim, maka kelompok usia muda, yaitu generasi Y dan Z langsung tertuju pada kesadaran akan dampak yang muncul karena krisis iklim.
Sebanyak 34 persen generasi Z (usia kurang dari 24 tahun) menyebutkan bahwa krisis iklim berarti bencana alam makin sering terjadi. Untuk generasi Y (usia 24-39 tahun) krisis iklim erat dengan makin tidak menentunya iklim dan musim di hari-hari ke depannya. Pola pikir seperti itu berasosiasi terhadap jenis penanganan krisis iklim, yaitu adaptasi.
Selanjutnya, untuk usia lebih tua, yaitu generasi X dan Baby Boomer, paradigma krisis iklim berpusat pada siapa aktor penyebabnya. Mengetahui aktor utama menjadi cara untuk menangani perburukan krisis iklim agar lebih tepat sasaran. Kelompok ini mengakui bahwa aktor tersebut adalah manusia. Paradigma kelompok lebih tua menunjukkan pola mitigasi, yaitu menekan risiko dengan menargetkan si aktor.
Perbedaan paradigma berdampak pada pilihan aktivitas dalam penanganan krisis iklim. Kelompok usia muda lebih memilih aktivitas yang sangat lekat dan adaptif dengan keseharian. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Saat ini pun banyak anak muda yang lebih percaya diri bepergian membawa tas belanja sendiri.
Sedikit berbeda dengan usia muda, generasi X lebih memilih untuk melakukan aksi langsung, yaitu menanam pohon dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Menanam pohon dapat menjadi kegiatan pengisi waktu luang sekaligus mengandung unsur rekreasi karena membuat lingkungan tempat tinggal menjadi teduh dan sejuk. Serupa dengan generasi X, para lansia juga memilih aksi langsung dengan menanam pohon.
Dari pilihan kegiatan yang dilakukan, perbedaan paradigma makin jelas terlihat pada perbedaan tingkat usia itu. Generasi Z dan Y lebih memilih aktivitas yang erat dengan kegiatan sehari-hari sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi krisis iklim. Untuk generasi X dan Baby Boomer lebih memilih menanam pohon yang merupakan bentuk mitigasi krisis iklim karena pohon mampu menstabilkan suhu dan menyerap emisi karbon.
Adaptasi dan mitigasi
Upaya adaptasi dan mitigasi di level individu terhubung erat dengan kehidupan sehari-hari. Kerja kolektif banyak orang dan komunitas untuk mengurangi dampak krisis iklim tentu akan berdampak pada pengendalian anomali cuaca dan iklim. Namun, untuk mencapai hasil lebih optimal, upaya di level negara juga harus ditingkatkan proporsinya.
Konsep mendasar dari mitigasi adalah menahan laju perubahan iklim yang melibatkan kegiatan pengurangan emisi karbon. Selain itu, meningkatkan aktor penyerap karbon, seperti lautan, hutan, dan tanah. Mitigasi turut menuntut pembatasan maksimal campur tangan manusia terhadap perubahan iklim di bumi sehingga memungkinkan ekosistem beradaptasi secara alami.
Implikasi terbesarnya adalah produksi pangan memiliki produktivitas yang tinggi sekaligus memiliki akses terhadap sumber daya air bersih yang cukup. Keberhasilan mitigasi juga memungkinkan berjalannya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan, termasuk menguatkan konsep ekonomi hijau.
Turbin angin Lentera Bumi Nusantara berputar di pinggir pantai di Desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (6/8/2022). Lokasi tersebut digunakan sejumlah mahasiswa untuk mengerjakan penelitian dan pengembangan serta transfer teknologi pemanfaatan energi terbarukan, khususnya energi angin.
Berikutnya, untuk konsep adaptasi lebih memprioritaskan pada usaha-usaha penyesuaian terhadap iklim di masa mendatang. Sepanjang sejarah kehidupan di permukaan bumi, manusia telah menyesuaikan diri dan mengatasi perubahan iklim dengan berbagai tingkat keberhasilan. Untuk saat ini, iklim bumi terbilang relatif stabil sepanjang 10.000 tahun terakhir.
Adaptasi manusia di tengah kondisi iklim yang relatif stabil terbukti mampu mendorong kemajuan pesat, yaitu perkembangan peradaban dan pertanian modern saat ini. Sayangnya, kehidupan modern sekarang dibangun dalam kondisi iklim yang relatif stabil. Bukan iklim yang jauh lebih hangat di masa mendatang. Perlu upaya adaptasi umat manusia menghadapi situasi ini.
Kecepatan adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh umat manusia saat ini jelas berpacu dengan cepatnya laju perubahan iklim. Permasalahan krisis iklim memang bersifat global, tetapi dampaknya dirasakan di skala lokal di masing-masing negara. Oleh sebab itu, upaya adaptasi kelompok usia lebih muda dan mitigasi yang dilakukan kelompok usia lebih tua menjadi sinyal positif untuk menghadapi masa-masa krusial di tengah krisis iklim.
Upaya mitigasi secara holistik harus dilakukan secara bersama-sama oleh semua lapisan masyarakat. Kemampuan adaptasi sebaiknya tidak hanya berfokus pada generasi yang lebih muda, tetapi hingga ke kelompok lansia. Sebaliknya, praktik-praktik baik, seperti menanam pohon dan mengurangi pemakaian plastik sekali pakai, perlu mendapat atensi besar dan dijadikan gaya hidup setiap individu. (LITBANG KOMPAS)