Indonesia senantiasa mengalokasikan pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim. Sayangnya, alokasi itu belum diikuti hasil memuaskan. Indonesia masih menyumbang emisi karbon relatif besar ke atmosfer.
Oleh
Yoesep budianto
·6 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Poster yang dibawa aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta saat aksi protes atas tindakan Jepang dalam mempromosikan gas fosil dan hidrogen sebagai transisi energi batubara yang diklaim mampu mempercepat pengurangan emisi karbon tahun 2050 di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Rabu (3/8/2022). Para aktivis meminta pemerintah dan perusahaan Jepang untuk menghentikan pendanaan bahan bakar fosil dan menghentikan promosi solusi palsu krisis iklim. Aksi serupa digelar di Tokyo, Manila, dan Bangladesh menyambut pelaksanaan KTT Sektor Energi 2022 pada 2-4 Agustus 2022.
Upaya mitigasi dan penanganan kondisi perubahan iklim membutuhkan dukungan pendanaan yang sangat besar. Namun, besarnya alokasi anggaran iklim yang sudah diberikan pemerintah belum mampu menuntaskan permasalahan emisi karbon dan pemanasan global. Dibutuhkan reorientasi kembali skema pendanaan negara agar berhasil mencapai target perbaikan kondisi iklim.
Kajian mengenai perubahan iklim kian menunjukkan urgensi yang kuat pada beberapa dekade terakhir. Hal ini dikarenakan perubahan iklim dianggap sebagai risiko terbesar kehidupan manusia, selain perang dan wabah penyakit. Oleh sebab itu, mitigasi perubahan iklim menjadi salah satu agenda besar baik di level nasional maupun global.
Saat ini, ada sejumlah estimasi penghitungan yang menunjukkan efek kerusakan besar terhadap beberapa aspek kehidupan manusia akibat perubahan iklim. Salah satunya adalah laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021 yang mencatat besarnya peluang peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian bencana.
Adanya peningkatan bencana berarti dampak buruk atau kerusakan dari bencana juga mengalami kenaikan. Akibatnya, nilai ekonomi yang ditanggung oleh individu masyarakat ataupun negara akibat kerusakan itu juga mengalami peningkatan. Untuk memulihkan dan juga langkah mitigasi bencana itu diperlukan anggaran yang tidak sedikit. Secara nasional, Indonesia membutuhkan dana sedikitnya Rp 22,8 triliun per tahun untuk penanganan bencana.
Anggaran penanganan tersebut kemungkinan besar akan terus meningkat seiring dengan tingginya intensitas kejadian bencana. Selain harus bertanggung jawab menyediakan anggaran, pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap langkah mitigasinya. Salah satunya dengan mengkaji faktor-faktor yang mendorong terjadinya bencana di Indonesia.
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya frekuensi bencana adalah fenomena perubahan iklim. Oleh sebab itu, perlu penanganan yang serius terhadap fenomena alam itu. Pendanaan menjadi salah satu variabel penting dalam penanganan ini, mengingat perubahan iklim merupakan ancaman bencana yang umumnya tak kasatmata.
Dari berbagai skema penanganan perlu melakukan penilaian efektivitas pendanaan terhadap upaya-upaya penanganan perubahan iklim tersebut. Apabila dibutuhkan, penataan kembali sistem pendanaan, seperti alokasi untuk setiap jenis penanganan, patut dipertimbangkan.
Secara global, ada tiga jenis pendanaan terkait perubahan iklim, yaitu adaptasi, mitigasi, dan kolaborasi keduanya. Dari ketiga jenis program ini, sektor prioritas yang ditarget adalah sistem energi sebesar 52,8 persen; transportasi 27,7 persen; serta infrastruktur dan industri 5,7 persen.
Sepanjang periode 2011-2020, dana yang dikucurkan untuk perubahan iklim terus meningkat. Di tahun 2011/2012, dana untuk iklim sebesar 364 miliar dollar AS, kemudian meningkat lebih dari 70 persen pada 2019/2020, yaitu 632 miliar dollar AS.
Pola pendanaan global tersebut tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sistem pendanaan perubahan iklim juga terbagi menjadi tiga, yaitu adaptasi, mitigasi, dan co-benefit. Dari ketiga sistem itu, dana untuk mitigasi memiliki cakupan terbesar, yaitu 66,2 persen untuk realisasinya. Untuk level global, realisasi dana mitigasinya bahkan mencapai 90,3 persen.
Sayangnya, dengan pola pendanaan untuk skema mitigasi yang sangat besar baik itu di level nasional maupun global tetap belum menghasilkan capaian yang memuaskan untuk penanganan iklim. Rata-rata suhu global, termasuk Indonesia, diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Bahkan, banyak wilayah bumi yang mengalami gelombang panas secara intens. Oleh sebab itu, upaya-upaya mitigasi dengan alokasi dana terbesar perlu mendapat pengawasan dan evaluasi. Bahkan, bisa melakukan reorientasi jika dibutuhkan.
Target dan program
Sebagai negara yang aktif dalam penanganan perubahan iklim, Indonesia senantiasa mengalokasikan pendanaan untuk langkah mitigasi itu. Berdasarkan laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2018-2020 oleh Kementerian Keuangan, secara akumulatif tiga tahun terakhir, alokasi anggaran perubahan iklim mencapai Rp 307,94 triliun. Artinya, setiap tahun rata-rata ada sekitar Rp 102 triliun yang disalurkan.
Pendanaan terkait iklim itu sebenarnya telah dimulai sejak 2016/2017. Pada tahun pertama nilai pendanaan yang dialokasikan Rp 72,4 triliun. Selanjutnya, meningkat 82,9 persen pada 2018 hingga mencapai Rp 132,47 triliun.
Dalam perkembangannya, pendanaan perubahan iklim makin luas serta menyasar berbagai kementerian dan lembaga di Indonesia. Pada 2016, hanya ada enam kementerian saja yang terlibat, tetapi pada 2020 sudah bertambah menjadi 13 kementerian dan lembaga.
Sayangnya, alokasi dana yang relatif besar dan sokongan banyaknya lembaga tersebut belum diikuti hasil yang memuaskan dalam penanganan perubahan iklim. Bahkan, hingga 2022, Indonesia masih menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar ke atmosfer. Indonesia belum mampu menghentikan laju deforestasi serta belum melakukan konversi besar di sektor energi terbarukan.
Belum optimalnya mitigasi perubahan iklim tersebut salah satunya karena anggaran penanganan yang terdistribusi ke berbagai instansi. Sebaran anggaran ke banyak lembaga ini membuat nominal anggaran menjadi relatif terbatas. Selain itu, bukan tidak mungkin muncul tumpang tindih program yang justru memicu ketidakefisienan penanganan.
Untuk saat ini, proporsi pendanaan perubahan iklim sebagian besar teralokasikan di Kementerian PUPR. Pada 2018, alokasi dana Kementerian PUPR Rp 97,78 triliun, diikuti Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar Rp 88,06 triliun serta BMKG Rp 86,46 triliun. Perkembangannya pada 2020, Kementerian PUPR masih yang terbesar dan sangat jauh dibandingkan dengan kementerian/lembaga lain.
Sebagai perbandingan, Kementerian PUPR mendapatkan alokasi Rp 61,38 triliun, sedangkan KLHK hanya Rp 2,87 triliun pada 2020. Padahal, KLHK juga memiliki peran yang sangat penting terhadap perubahan iklim terkait sektor kehutanan.
GREENPEACE
Para aktivis menyerukan perlawanan pada deforestasi di perairan Danau Toba di Parapat, Sumut, sebagai seruan bagi W20 yang digelar di daerah itu agar mereka mengadopsi isu perlindungan hutan serta lahan perempuan tani dan adat, Rabu (20/7/2022).
Ketimpangan anggaran antarlembaga tersebut sepertinya perlu dibenahi dengan reorientasi pendanaan pada program-program kementerian/lembaga yang lebih terukur. Tujuannya agar target mitigasi perubahan iklim dapat tercapai secara bertahap dan tidak terjadi tumpang tindih program kegiatan.
Melalui Bappenas, Indonesia merumuskan target jangka panjang untuk mencapai pembangunan hijau berkelanjutan hingga 2045. Tujuannya, menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 85 persen dari baseline serta meningkatkan efisiensi energi hingga 4,1 persen. Selain itu, juga meningkatkan bauran energi terbarukan mencapai 80 persen, menciptakan lahan pertanian berkelanjutan dengan proporsi 35 persen, dan berkomitmen melakukan reboisasi 250.000 hektar hutan per tahun. Pemerintah juga berencana melakukan restorasi lahan gambut setiap tahun sekitar 390.000 hektar dan mangrove hingga 12.000 hektar setahun.
Target jangka panjang itu juga menyasar rumah tangga untuk mengurangi timbulan sampah per kapita hingga mencapai 35 persen dari kondisi normal. Selain itu, juga menyasar sektor industri dengan melakukan sertifikasi standar industri hijau bagi perusahaan skala menengah besar hingga proporsi 30 persen secara nasional.
Langkah konkret
Berdasarkan kajian pendanaan internasional untuk perubahan iklim dari Global Landscape of Climate Finance 2021 diperlukan investasi yang sangat besar untuk mitigasi perubahan iklim. Dalam skala dunia, saat ini diperlukan alokasi dana 632 miliar dollar AS setiap tahun untuk menangani perubahan iklim global.
AP/ESTEBAN FELIX
Kebun panel surya di Colina, Chile, yang merupakan kerjasama antara Chile dan China. Foto diambil pada 20 Agustus 2019.
Oleh karena itu, usaha Indonesia untuk mengalokasikan dana perubahan iklim patut diapresiasi. Meskipun demikian, pemerintah harus terus berupaya memaksimalkan penyerapan dana tersebut. Selain itu, sebelum menambah alokasi anggaran mitigasinya, setiap kementerian/lembaga patut mengevaluasi program-programnya agar lebih terukur capaiannya.
Langkah konkret selanjutnya adalah fokus mengadakan program yang menargetkan kelompok marjinal. Masyarakat yang memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan dan kesehatan serta memiliki kondisi kurang sejahtera menjadi kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim.
Peningkatan kualitas kehidupan kelompok marjinal tersebut menjadi salah satu kunci meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Dengan kualitas kehidupan yang lebih baik, maka tingkat kesejahteraan masyarakat juga meningkat.
Harapannya, masyarakat yang lebih sejahtera akan memiliki kesadaran untuk peduli terhadap lingkungan sehingga secara tidak langsung turut serta dalam langkah mitigasi perubahan iklim. Sebab, salah satu kunci penting dalam menurunkan dampak krisis iklim adalah dengan melibatkan segenap lapisan masyarakat untuk bersama-sama mereduksi ancaman tersebut. (LITBANG KOMPAS)