Potensi konflik China dan Taiwan menambah deretan panjang beban dunia setelah dihadapkan pada konflik Rusia dan Ukraina. Dampak ekonomi di depan mata.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Persoalan China dan Taiwan menjadi relik dari Perang Dunia II yang belum terselesaikan. Meski belum tereskalasi menjadi perang terbuka, ketegangan antarkeduanya bisa sewaktu-waktu meletup hingga berbuah konflik. Jika hal ini terjadi, dampak yang akan terjadi akan berdampak hingga jauh dari batas-batas teritorial mereka.
Mulai minggu kedua Agustus 2022, China menyelenggarakan latihan militer besar-besaran di perairan sekitar Taiwan. Lebih ekstrem dari biasanya, latihan militer China kali ini cukup memancing kekhawatiran komunitas internasional. Pasalnya, agenda China tersebut mengarah pada persiapan skenario blokade dan invasi terhadap Taiwan.
Persoalan China dan Taiwan menjadi relik dari Perang Dunia II yang belum terselesaikan.
Latihan militer bernuansa diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy) ini diduga dipicu oleh kunjungan Ketua DPR ASNancy Pelosi ke Taiwan di awal Agustus. Kunjungan ini bisa diartikan sebagai langkah yang menguatkan pengakuan de facto AS pada kemerdekaan pulau tersebut.
Hal ini berseberangan dengan salah satu agenda politik luar negeri China ”One China Policy”. Melalui kebijakan tersebut, China menekankan tiap negara lain untuk mengakui bahwa Taiwan dan Hong Kong sebagai bagian dari negaranya.
Sepanjang abad ke-21, ketegangan antara China dan Taiwan memang merupakan salah satu fitur dalam geopolitik Asia Pasifik. Secara singkat, ketegangan ini dipicu oleh perbedaan status Taiwan yang berakar dari gejolak politik di masa awal kelahiran Republik Rakyat Tiongkok.
Kala itu, golongan Nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek kabur ke Pulau Taiwan setelah kalah dalam perang saudara melawan pasukan Partai Komunis China yang dipimpin Mao Zedong.
Hingga kini, di satu sisi, Taiwan menyatakan diri sebagai negara independen yang dipimpin oleh pemerintahan yang demokratis. Tapi di sisi lain, China kukuh mengklaim bahwa Taiwan merupakan bagian dari negaranya.
Walaupun berawal dari konflik internal, dampak yang dapat ditimbulkan dari konflik yang mungkin timbul dari ketegangan dari keduanya bersifat global. Dari sisi geopolitik, konflik antara kedua pihak ini praktis akan membubarkan stabilitas di kawasan Asia Pasifik.
Terlebih lagi, ada kemungkinan konflik merembet hingga wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) atau bahkan hingga laut teritorial negara sekitar seperti Jepang.
Potensi melebarnya wilayah konflik ini kemudian membuat ketegangan antara China dan Taiwan menjadi perhatian sejumlah negara. Sebagai upaya menjaga stabilitas kawasan, juga untuk melindungi pangkalan militernya yang berada di Asia Pasifik, AS telah membuktikan untuk tak segan mengerahkan armada kapal perang Destroyer ke perairan Taiwan.
Tak hanya AS, Australia dan Kanada pun kemungkinan akan ikut bergabung jika konflik benar-benar terjadi. Apalagi, skenario konflik ini sudah menjadi risiko yang telah diperkirakan oleh pakta keamanan antara ketiga negara di atas, yakni AUKUS.
Keterlibatan Australia, Kanada, dan AS dalam format AUKUS bisa membuat konflik bergulir di luar kendali. Ancaman ini menjadi lebih serius mengingat kapasitas militer AUKUS yang dilengkapi kapal selam bertenaga nuklir.
Dari sisi China, invasi Taiwan bisa jadi langkah pembuka dari serangkaian agresi militer untuk menguasai kawasan Laut China Selatan. Pasalnya, selama ini China tidak malu-malu untuk mengakui sebagian besar kawasan Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayahnya. Klaim ini bahkan tetap dipertahankan meskipun telah berulang kali dimentahkan melalui Pengadilan Arbitrase Internasional.
Bantahan terhadap klaim China ini salah satunya terjadi pada 2016. Saat itu, hakim Mahkamah Arbitrase menyatakan klaim China terhadap laut yang berada di wilayah laut Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia telah menyalahi aturan dalam perjanjian laut internasional (UN Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982). Terlebih lagi, klaim dari China hanya didasarkan jejak historis sepihak yang sangat bias.
Potensi konflik yang meluber hingga kawasan Laut China Selatan ini bisa menyebabkan dampak ekonomi yang luar biasa besar bagi dunia. Memang, kawasan ini tidak hanya dimanfaatkan oleh negara-negara sekitarnya.
Seiring dengan makin erat dan panjangnya sambungan rantai pasok global, kawasan tersebut menjadi salah satu jalur perdagangan terpenting.
Sebagai gambaran, pada 2016 saja, sebanyak 3,51 triliun dollar AS yang setara dengan lebih dari seperlima nilai perdagangan dunia berlalu lalang di kawasan Laut China Selatan.
Beberapa negara dengan nilai perdagangan terbesar yang melalui jalur tersebut ialah China dengan nilai perdagangan sebesar 1,4 trilun dollar AS dan Korea Selatan dengan nilai 423 miliar dollar AS.
Tak hanya negara di kawasan Asia, negara di belahan Amerika pun akan terpukul jika kawasan ini dirundung konflik. Pasalnya, sebanyak 208 miliar dollar AS perdagangan AS dan 77 miliar dollar AS ekspor impor Brasil melewati Laut China Selatan. Bahkan, angka Brasil tersebut setara dengan 23 persen lebih dari total nilai perdagangannya pada 2016.
Di antara negara-negara di dunia, Indonesia juga akan menjadi salah satu yang paling terdampak. Pada 2016 tercatat 239 miliar dollar AS perdagangan Indonesia dilakukan melalui jalur tersebut. Pada tahun itu, nilai ini setara dengan 85 persen total nilai perdagangan Indonesia.
Jika nantinya perdagangan terganggu dengan konflik antara China dan Taiwan yang merembet, biaya perdagangan yang melewati Laut China Selatan berpotensi mengalami pembengkakan. Pasalnya, kapal-kapal dagang akan dialihkan melalui rute yang memutar dari wilayah konflik.
Beberapa skenario sebelumnya telah coba dibuat oleh Center for Strategic & International Studies (CSIS). Berdasarkan skenario dari lembaga ini, terdapat alternatif jalur selat malaka bagi kapal dagang agar sedikit menjauh dari wilayah konflik, yakni melewati Selat Sunda, Selat Lombok, dan Perairan Australia. Pembengkakan biaya ini kemudian bisa dihitung dari seberapa jauh pertambahan jarak yang harus ditempuh.
Jika jalur dagang dialihkan ke Selat Sunda, diperkirakan akan timbul biaya tambahan sebesar 9,2 juta dollar AS per hari yang setara dengan 279,4 juta dollar AS per bulan.
Apabila dialihkan ke Selat Lombok, biaya tambahannya ialah 17 juta dollar AS per hari atau sama dengan 515 juta dollar AS per bulan. Sementara biaya yang lebih besar akan timbul apabila jalur dagang dialihkan melalui perairan Australia dengan nilai sebesar 92,9 juta dollar AS per hari atau sekitar 2,8 miliar dollar AS per bulan.
Pembengkakan biaya perdagangan ini bisa jadi gambaran bagaimana perekonomian dunia akan sangat terganggu apabila konflik antara China dan Taiwan terjadi.
Apalagi, dunia kini tengah melalui masa sulit setelah dihantam oleh pandemi dan konflik Rusia-Ukraina. Tak ayal, langkah-langkah mitigasi eskalasi konflik harus segera diupayakan. Baiknya, upaya diplomasi ini didorong oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, yang secara langsung akan terdampak. (LITBANG KOMPAS)