Apakah Taiwan akan sungguh berperang melawan China? Kesetaraan kedua China dapat mendorong terjadi perang, tetapi bisa jadi justru menjadikan mereka menahan diri kalau logika kemenangan tidak mudah dikonstruksi di awal.
Oleh
TULUS WARSITO
·4 menit baca
Kunjungan Ketua Parlemen Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan baru-baru ini benar-benar menghebohkan masyarakat internasional karena dianggap telah memicu memanasnya hubungan China dan Taiwan.
Banyak orang lalu berspekulasi, andai kata terjadi serangan China ke Taiwan, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian dunia? Ada juga reaksi yang agak lebih cerdas mempertanyakan, apakah Taiwan berani menghadapi China atau benarkah China betul-betul akan menyerang Taiwan?
Tulisan singkat ini ingin sedikit menambahkan beberapa perspektif terhadap kemungkinan perang antarkedua China sebagai upaya menjawab kegelisahan pertanyaan di atas dan menutupnya dengan simpul bagi perpolitikan dalam negeri Indonesia. Sudut pandang yang digunakan adalah perbandingan dalam bidang ekonomi, politik internasional, militer, dan ideologi, yang semuanya dimuarakan pada perspektif politik dalam negeri Indonesia.
Bagi Taiwan, China adalah partner ekonomi terkuat selain ASEAN, Jepang, dan Korea Selatan.
Kekuatan ekonomi
Dalam hal ekonomi, misalnya, persepsi populer masyarakat internasional terpaku pada prestasi China dalam kebangkitan perolehan produk domestik bruto (PDB) yang memang merupakan yang terbesar di dunia (lebih kurang 30.000 triliun dollar AS), sementara PDB Taiwan kira-kira hanya 2.000 triliun dollar AS.
Perbandingan angka itu seolah menunjukkan bahwa Taiwan akan dengan mudah digilas oleh China daratan, padahal secara ekonomi politik angka PDB ini harus dikaitkan dengan jumlah penduduk China yang lebih dari 1,4 miliar jiwa. Sementara Taiwan hanya 23 juta penduduk, walhasil GNP per kapita Taiwan jauh di atas saudaranya yang di daratan.
Banyak orang juga menganggap bahwa Kebijakan Satu China berakibat pada perseteruan China-Taiwan di semua bidang. Kenyataannya, kemajuan ekonomi Taiwan yang merupakan paling tinggi di Asia Timur itu didukung terutama oleh ekspornya ke China daratan lebih dari 40 persen. Bagi Taiwan, China merupakan partner ekonomi terkuat selain ASEAN, Jepang, dan Korea Selatan.
Dalam hal jumlah pengangguran, di Taiwan hanya 4 persen dari total 23 juta penduduk, sedangkan angka pengangguran China adalah 15 persen dari 1,4 miliar penduduk. Dalam hal paritas daya beli (Purchasing Power Parity) masyarakat, Taiwan menduduki peringkat ke-39 di dunia, sedangkan China berada di urutan ke-135.
Jika data kuantitatif ekonomi ini diperpanjang, akan menunjukkan bahwa kedua China itu saling membutuhkan, atau setidak-tidaknya Taiwan bukan merupakan lawan yang enteng bagi Beijing.
Salah satu dasar dan dampak utama dari One China Policy adalah dalam kancah internasional. Ketika PBB mulai mengakui China sebagai negara anggota PBB dan menjadi salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB tahun 1971, kebijakan yang memberlakukan masyarakat internasional hanya mengakui satu China—kalau mengakui China harus memutuskan hubungan dengan Taiwan atau sebaliknya—berakibat pada merosotnya jumlah negara yang mengakui kedaulatan politik Taiwan.
Saat ini hanya ada kira-kira 15 negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Taiwan, sementara China menjalin hubungan diplomatik dengan lebih dari 150 negara.
Meski demikian, bukan berarti bagi yang mengakui China benar-benar putus hubungan dengan Taiwan. Bagi Indonesia, misalnya, walaupun kita mempunyai hubungan diplomatik dengan Beijing, kita juga mempunyai hubungan dagang yang sangat baik dengan Taiwan.
Bagi tenaga kerja Indonesia dengan pendidikan menengah ke atas, Taiwan merupakan destinasi kerja unggulan selain ke Korea Selatan dan Jepang. Khusus bagi AS, walaupun mereka mempunyai kedutaan di Beijing, koneksinya ke Taiwan bukan hanya ekonomi, melainkan juga bantuan militer. Inilah sebabnya Taiwan merasa kuat untuk menghadapi China.
Bagi tenaga kerja Indonesia dengan pendidikan menengah ke atas, Taiwan merupakan destinasi kerja unggulan selain ke Korea Selatan dan Jepang.
Kekuatan militer
Dalam hal militer, perbandingan kuantitas, jelas peluangnya berpihak kepada Beijing. Dari jumlah personel, China memiliki lebih dari 2 juta anggota pasukan, sementara Taiwan hanya memiliki 169.000 tentara.
Jelas merupakan perbandingan yang tak seimbang. Apalagi jika harus membandingkan jumlah pesawat tempur, kapal perang, tank, dan lainnya.
Yang perlu diperhatikan ialah kalaupun terjadi perang, bukan hanya semata-mata Beijing melawan Taipei, melainkan Beijing melawan Taipei dan sekutunya (terutama AS, Jepang, Australia, Korea Selatan, dan banyak yang lain). Artinya, faktor militer mengindikasikan bahwa keduanya merupakan kekuatan yang berimbang.
Dalam hal ideologi, terutama dalam konteks warisan Perang Dingin antara komunisme/sosialisme, dan kapitalisme/liberal, yang sebenarnya merupakan pangkal perpecahan kedua China tersebut—yaitu antara Kuo Mintang dan Kuo Chantang—berdasarkan perkembangan pilihan kebijakan ekonomi yang ada sekarang, One Country Two System sejak akhir tahun 1970-an, sesungguhnya Beijing sudah ”mengakui” keunggulan kapitalisme/liberal yang sekarang menjadikannya adidaya ekonomi.
Andai kata Beijing bersikeras tetap bertahan hanya dengan Komunisme-sosialis, mereka akan berada di posisi lain.
Jika telaah di atas mengandung kebenaran, ”kesetaraan” kedua China itu memang dapat mendorong terjadinya perang sungguhan, tetapi bisa jadi justru akan menjadikan mereka menahan diri kalau logika kemenangan tidak mudah dikonstruksi di awal.
Dalam politik dalam negeri kita, hal ini menunjukkan bahwa China, Aseng, itu bukan sosok tunggal. Kenapa takut?
Tulus Warsito,Guru Besar Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.