Mewujudkan Indonesia tanpa kelaparan masih menghadapi tantangan kecukupan konsumsi dan kerawanan pangan. Terutama bagi penduduk perdesaan, rumah tangga miskin, perempuan, dan sejumlah wilayah timur Indonesia.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·5 menit baca
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya dalam mewujudkan masyarakat Indonesia tanpa kelaparan. Hal ini makin menjadi beban ketika diuji dengan hadirnya Covid-19 yang membuat sejumlah indikatornya menjauh dari target.
Status tanggap darurat kekeringan di Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, baru-baru ini menjadi “alarm” bahwa kelaparan masih menjadi ancaman di negeri ini. Terdapat 568 orang yang terdampak kekeringan dan terancam kelaparan akibat fenomena embun beku yang merusak tanaman pangan warga. Setidaknya empat orang yang dilaporkan meninggal, dua diantaranya anak-anak.
Sebelumnya, fenomena serupa pernah terjadi di pegunungan Papua pada 1998 dan 2015. Bahkan cuaca ekstrem yang merusak tanaman umbi-umbian dan sayuran warga pada tahun 2015 menyebabkan 11 warga Kabupaten Lanny Jaya meninggal akibat kelaparan.
Bencana kekeringan dan kelaparan yang melanda Distrik Kuyawage hanya sebagian dari kasus yang muncul di permukaan. Bisa jadi bencana ini merupakan fenomena gunung es yang menyimpan masalah yang masih terpendam.
Hal ini tentu tidak berlebihan karena dalam publikasi yang dikeluarkan ADB (Asian Development Bank) bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan didukung Kementerian Bappenas yang bertajuk “Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045”, terungkap bahwa pada era 2016-2018 sebanyak 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis.
Terkait isu kelaparan tersebut, peringkat Indonesia dalam Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index/GHI) 2021 berada di urutan ke-73 dari 116 negara, menempatkan tingkat kelaparan di Indonesia di posisi tertinggi ketiga di Asia Tenggara.
Apalagi sejak datangnya pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 yang memporak-porandakan perekonomian, berimbas pada meningkatnya angka kemiskinan dan berdampak pula pada capaian tujuan SDGs, khususnya tujuan kedua mewujudkan masyarakat tanpa kelaparan.
SDGs Tanpa Kelaparan dalam pilar sosial memiliki target pada 2030 menghilangkan kelaparan dan menjamin akses bagi semua orang, khususnya orang miskin dan mereka yang berada dalam kondisi rentan, termasuk bayi, terhadap makanan yang aman, bergizi, dan cukup sepanjang tahun.
Tak dapat dimungkiri, akibat pandemi capaian sejumlah indikatornya mengalami peningkatan yang artinya semakin menjauh dari target. Salah satunya adalah prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan atau Prevalence of Undernourishment (PoU), yaitu suatu kondisi dimana seseorang, secara regular, mengkonsumsi sejumlah makanan yang tidak cukup untuk menyediakan energi yang dibutuhkan untuk hidup normal, aktif, dan sehat.
Semakin tinggi prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan, maka semakin tinggi pula persentase penduduk yang mengkonsumsi makanan tetapi kurang dari kebutuhan energinya.
Angka PoU sebenarnya sudah menunjukkan perbaikan pada 2018 dan 2019, tetapi meningkat kembali pada 2020 efek pandemi. Setelah turun 0,31 poin pada 2018 dari tahun sebelumnya, yaitu 8,23 persen menjadi 7,92 persen kemudian mengalami perbaikan lagi pada 2019 dengan turun 0,29 poin menjadi 7,63 persen.
Namun dampak pandemi telah menaikkan capaian PoU 0,71 menjadi 8,34 persen, bahkan lebih tinggi dari tiga tahun sebelumnya. Sehingga prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan semakin menjauh dari target 2020 sebesar 6,20 persen.
Jika ditelisik lebih dalam, terlihat prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan penduduk di perdesaan jauh tertinggal dibanding penduduk perkotaan yang sudah mendekati target meski terjadi kemunduran di tahun 2020.
Prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan penduduk di perdesaan jauh tertinggal dibanding penduduk perkotaan.
Sementara itu dilihat dari kuintil pengeluaran, 40 persen penduduk dengan pengeluaran terbawah perlu mendapat perhatian lebih serius karena masih jauh dari target, di angka 12,26 persen turun 0,84 poin dari 2019.
Selain prioritas pada penduduk di perdesaan dan kuintil pengeluaran terbawah, perempuan juga perlu mendapat perhatian khusus. Data menunjukkan, meski sama-sama belum mencapai target, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan perempuan (10,01 persen) jauh di atas laki-laki (8,09 persen) atau hampir 2 persen selisihnya. Artinya perempuan lebih tidak mempunyai kecukupan pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam aktivitasnya.
Sedangkan berdasarkan usia, kelompok 16-30 tahun atau yang dikategorikan pemuda, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangannya justru tertinggi di angka 15,27 persen. Sangat memprihatinkan, karena kelompok usia produktif konsumsi pangannya tidak mencukupi kebutuhan energi untuk hidup aktif dan sehat.
Lebih jauh jika dilihat capaian menurut provinsi, hanya sembilan provinsi yang pada tahun 2020 sudah mencapai target. Sementara masih ada 21 provinsi dengan capaian tidak lebih baik dari capaian nasional (8,34 persen). Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua di posisi tertinggi dengan capaian di atas 30 persen. Bisa dimaklumi karena kasus kelaparan kerap terjadi di wilayah tersebut.
Menjadi suatu catatan bagi Provinsi Jawa Tengah, satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang berada di 10 besar capaian prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan penduduknya tergolong tinggi yaitu di angka 11,80 persen, mengingat Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki bahan pangan melimpah.
Namun jika dilihat dari indikator prevalensi penduduk dengan kerawanan pangan sedang atau berat, Jawa Tengah berada di posisi terendah kedua dengan capaian 2,84 persen, sudah jauh melampaui target di angka 5,20 persen.
Sebagai salah satu indikator dalam pilar sosial, prevalensi ketidacukupan konsumsi pangan memungkinkan untuk mengestimasi kondisi kekurangan pangan yang parah dalam jumlah populasi yang besar, sehingga indikator ini digunakan untuk mengukur target menghilangkan kelaparan secara global.
Indikator lainnya adalah prevalensi penduduk dengan kerawanan pangan sedang atau berat berdasarkan skala pengalaman kerawanan pangan. Ketidakmampuan seseorang dalam mengakses pangan ini dalam empat tahun terakhir telah menunjukkan tren yang positif bahkan sudah melebihi target tahun 2020 yaitu 5,12 persen.
Secara umum capaian indikator ini telah berjalan sesuai arah target untuk semua kategori, hanya saja perlu prioritas untuk mengentaskan kerawanan pangan pada kelompok perempuan dan status sosial ekonomi terbawah.
Perhatian juga penting difokuskan bagi provinsi di kawasan timur dimana delapan dari 10 prevalensi kerawanan pangan tertinggi di kawasan tersebut, khususnya Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Maluku. Sementara sebanyak 15 provinsi sudah melampaui target kerawanan pangan sedang atau berat.
Meskipun demikian, kerja keras masih harus dilakukan menghadapi jalan panjang dan tantangan untuk mencapai tujuan Indonesia tanpa kelaparan.
Solusi yang tepat diperlukan untuk mengatasi masalah dalam jangka panjang sesuai kondisi dan budaya daerah serta merata untuk semua wilayah dan semua kelompok masyarakat. Bagaimanapun SDGs dicapai untuk meyakinkan target no none left behind atau tidak ada satupun yang tertinggal. (LITBANG KOMPAS)