Kelaparan Berulang di Papua dan Kegagalan Sistem Pangan Indonesia
Kelaparan berulang hingga menyebabkan kematian di Lanny Jaya kali ini harus jadi momen evaluasi bahwa ketahanan pangan yang hanya didasarkan angka-angka produksi beras secara nasional merupakan pendekatan yang keliru.
Oleh
AHMAD ARIF
·7 menit baca
DOKUMENTASI BPBD LANNY JAYA
Ratusan warga Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, mengalami kelaparan akibat tanaman pangan di kebun mereka mengalami kerusakan. Kondisi ini disebabkan fenomena alam embun beku sejak 1 Juni 2022. DOKUMENTASI BPBD LANNY JAYA
Kelaparan di Distrik Kuyuwage, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua, menyebabkan setidaknya empat orang meninggal dunia dan ratusan lainnya terdampak. Faktor cuaca dianggap sebagai pemicunya. Namun, peristiwa yang berulang melanda Papua ini menjadi penanda adanya masalah serius dalam sistem pangan di kawasan ini.
Bencana kelaparan telah berulang kali terjadi di Papua, terutama di dataran tinggi. Arsip Kompas mencatat, pada Agustus 1982 ribuan orang kelaparan dan 18 di antaranya meninggal di Desa Kuyuwage I dan Kuyawage II yang waktu itu masuk wilayah Kabupaten Jayawijaya. Total korban jiwa akibat kelaparan di Jayawijaya saat itu dilaporkan mencapai 112 orang, 367 orang mendapat perawatan, dan 3.000 orang lainnya kekurangan gizi.
Bencana kelaparan juga terjadi di Paniai pada 1984, menewaskan 231 orang. Dua tahun kemudian, kelaparan menewaskan 169 orang di Distrik Kurima, Jayawijaya. Pada 1997, saat kekeringan panjang melanda, kembali terjadi bencana kelaparan yang menyebabkan 421 orang meninggal dunia di Jayawijaya. Kemudian menyusul Merauke 24 orang, Puncak Jaya (dahulu Paniai) 23 orang, dan Nabire 21 orang.
Berikutnya, pada Desember 2005, bencana kelaparan juga melanda Kabupaten Yahukimo, Papua. Dilaporkan, 55 orang meninggal dan 112 kritis akibat kelaparan di tujuh distrik di Yahukimo. Tentu masih segar di ingatan, pada 2018 sebanyak 71 anak di Asmat meninggal dunia karena gizi buruk dan campak.
Proses kelaparan
Deretan korban jiwa akibat kelaparan di Papua ini ibarat fenomena gunung es karena angka sesungguhnya bisa lebih besar lagi. Padahal, orang yang kekurangan asupan makanan sampai akhirnya meninggal perlu waktu panjang.
Dalam manajemen bencana, kelaparan termasuk kategori slow-on-set disaster, bencana yang terjadi perlahan. Hal ini karena dari kegagalan panen sampai orang kelaparan berat atau yang disebut busung lapar bisa berlangsung berbulan-bulan.
Apalagi, meski kelaparan dan kemungkinan kebutuhan gizinya tidak terpenuhi lagi, mereka bukan tidak makan sama sekali. Mereka biasanya merasa lemah karena energinya kurang dan akhirnya meninggal. Risiko terjadinya busung lapar hingga akhirnya meninggal juga ditentukan prakondisi kualitas gizi masyarakat.
”Ada faktor lain di balik bencana kali ini, yaitu persoalan gizi dan kesehatan masyarakat. Kalau kesehatannya kurang baik, lalu kekurangan pangan, itu akan menguatkan dampak yang terjadi. Kelaparan sampai meninggal, itu peristiwa yang akut,” kata peneliti agroklimat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat, Aser Rouw.
Sebagaimana disampaikan Nipson Murib (30), warga Kuyuwage, bencana kelaparan di kampungnya dimulai dengan kekeringan yang melanda sejak Juni 2022. Puncaknya, pada 5 dan 6 Juli terjadi embun beku melanda daerah yang berada di ketinggian 2.677 meter dari permukaan laut ini.
”Malam turun salju, tanaman ubi, keladi, dan sayur langsung mati, dan beberapa hari kemudian kering. Di minggu pertama, warga masih bisa makan sisa umbi, tapi minggu berikutnya sudah tidak ada makanan lagi,” kata Nipson yang saat dihubungi berada di Jayapura mendirikan posko bantuan untuk Kuyuwage.
Menurut Nipson, kebun menjadi tempat warga menyimpan makanan. Aneka tanaman umbi-umbian selain sayuran terus dirawat sepanjang tahun dan akan dipanen serta dikonsumsi sehari-hari. Mereka tidak kenal panen per musim dan menyimpannya setelah panen.
”Ketika terjadi embun beku dan seluruh tanaman mati, butuh waktu pemulihan sedikitnya 6-9 bulan. Warga harus tanam baru lagi sampai bisa dipanen,” katanya.
Nipson menambahkan, fenomena embun beku dan kekeringan ini sebenarnya sering terjadi. Namun, terkadang tidak terlalu parah hingga mematikan seluruh tanaman.
HUMAS POLRES LANNY JAYA
Penyerahan bantuan dari Kementerian Sosial bagi warga Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, yang mengalami kelaparan pada Senin (1/8/2022).
Kegagalan sistem pangan
Prakirawan klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah 5 Papua, Nurul Puspitasari, mengatakan, kawasan Lanny Jaya memang rentan mengalami embun beku karena ketinggian lokasi yang memicu dinginnya temperatur di sana.
Embun beku terbentuk terutama pada malam yang dingin dan biasanya tak berawan ketika suhu udara di bawah 0 derajat celsius yang merupakan suhu titik pembekuan air. Embun beku ini merupakan pola dari kristal-kristal es yang terbentuk dari uap air di atas rumput, daun, dan benda-benda lainnya di permukaan tanah.
”Pada bulan Maret, kami sudah merilis perkiraan musim kemarau dan salah satunya perlu mewaspadai embun beku ini, apalagi hal ini memang sudah beberapa kali terjadi, terutama pada 2015,” katanya.
DOKUMENTASI BPBD LANNY JAYA
Kondisi kebun warga yang terdampak fenomena alam embun beku di Distrik Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, sejak 1 Juni 2022.
Nurul mengatakan, kekeringan dan embun beku yang cukup luas pada 2015 diperparah oleh kejadian El Nino. Namun, tahun ini sebenarnya La Nina sehingga risiko kekeringan seharusnya tidak separah tahun-tahun sebelumnya. ”Kali ini termasuk anomali, tetapi untuk tahu apakah terkait perubahan iklim, perlu observasi dan studi lebih lanjut. Masalahnya, kami tidak memiliki stasiun observasi di Lanny Jaya, yang terdekat di Jaya Wijaya,” katanya.
Aser Rouw mengatakan, kejadian berulang ini tidak semata-mata akibat faktor cuaca dan iklim.”Memang, iklim di pegunungan Papua ekstrem dan fenomena frost (embun beku) ini sering terjadi dan ini bisa mematikan tanaman umbi-umbian dan sayur. Namun, ada tanaman lain yang masih bisa bertahan, misalnya pisang, yang biasa dikonsumsi masyarakat juga,” katanya.
Menurut Aser, luasan dan sebaran perkebunan warga juga bisa memengaruhi intensitas kelaparan. ”Sejak beberapa tahun terakhir, memang terjadi pergeseran pola makan masyarakat, terutama setelah masuknya raskin (beras miskin). Ketergantungan pada beras bantuan ini membuat luas tanam ubi dan keladi cenderung berkurang,” katanya.
Masalah lainnya, akses transportasi ke perkampungan di Lanny Jaya terbatas. Seperti disampaikan Nipson, untuk mencapai kampung Kuyuwage, warga biasanya berjalan kaki seharian dari Tiom, ibu kota Lanny Jaya. Belum lagi, daerah ini termasuk kawasan merah yang kerap terimbas konflik bersenjata.
Masalah aksesibilitas dan keamanan ini membuat warga di pegunungan Papua tidak bisa menggantungkan ketahanan pangan dari luar. Sebaliknya, menurut Aser, daya tahan warga harus diperkuat untuk mengantisipasi kondisi ekstrem dengan berdaulat pangan melalui sistem bertani campuran.
”Harus ada pendampingan agar warga mengoptimalkan kebun dengan tanaman campuran, termasuk yang bisa bertahan saat kekeringan dan terjadi embun beku seperti sekarang,” katanya.
Sejak beberapa tahun terakhir, memang terjadi pergeseran pola makan masyarakat, terutama setelah masuknya raskin (beras miskin). Ketergantungan pada beras bantuan ini membuat luas tanam ubi dan keladi cenderung berkurang.
Studi Manuel Boissiere (Asia Pacific Viewpoint, 2002) menemukan, saat El Nino hebat melanda pada 1997 sehingga memicu kekeringan dan kelaparan di sejumlah daerah di Papua, masyarakat Yali masih memiliki 21 jenis pangan lokal yang masih bertahan dan bisa jadi cadangan di masa krisis itu. Tanaman lokal itu, antara lain, kerak (bahasa Yali yang berarti pisang hutan) dan bingga atau sejenis uwi hutan (Dioscorea sp.).
Food estate bukan solusi
Dengan melihat kondisi alam, aksesibilitas, dan budaya di Papua, menurut Aser, produksi pangan terpusat seperti food estate padi yang sekarang dikembangkan di Merauke, bukanlah jawaban untuk sistem pangan di Papua.
Padahal, seperti ditegaskan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tentang Rancangan Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, food estate menjadi bagian program ketahanan pangan nasional untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan penguatan transformasi di pelbagai sektor. Ada lima lokasi yang diarahkan untuk food estate, dua lokasi awal yaitu Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Sementara lokasi selanjutnya ialah Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Untuk di Papua, direncanakan dibangun di Merauke yang sebelumnya menjadi area pengembangan program MeraukeIntegrated FoodandEnergyEstate (MIFEE). Mengacu Keputusan Kementerian Pertanian No. 472/Kpts/RC.040/6/2018, komoditas pangan prioritas yang hendak ditanam di Merauke ialah padi dan jagung.
Menurut Aser, food estate yang terpusat bukan solusi untuk Papua karena transportasi logistik yang tidak mudah. Dia mencontohkan, biaya transportasi beras dari Merauke ke Jayapura lebih mahal dibandingkan dari Makassar. Kalau ke Jayapura harus naik pesawat, sedangkan dari Makassar ada kapal yang rutin datang.
Belum lagi kalau mau membawa beras ke pedalaman. Biayanya akan sangat mahal kalau masyarakat pedalaman dibuat bergantung pada pangan dari luar. ”Papua memiliki keberagaman sumber pangan. Seharusnya ini yang jadi pendekatan untuk menguatkan ketahanan pangan masyarakat. Kalau mau mengembangkan, justru kebun ubi atau sagu di beberapa titik rawan pangan. Kalau food estate padi, lebih untuk kepentingan nasional,” kata Aser.
Kelaparan berulang hingga menyebabkan kematian di Lanny Jaya kali ini seharunya menjadi momen untuk mengevaluasi bahwa ketahanan pangan (food security) yang hanya didasarkan pada angka-angka produksi beras secara nasional merupakan pendekatan yang keliru. Ketahanan pangan Indonesia harus didasarkan pada kedaulatan pangan lokal yang beragam dan jaminan akses atas pangan (food entitlements) secara merata.