Pelanggaran etik oleh pejabat publik tak hanya memicu ketidakpercayaan masyarakat, tetapi juga mengganggu kinerja lembaga pemerintah. Ketegasan dalam menindak pejabat publik yang melanggar etik menjadi keharusan.
Oleh
EREN MARSYUKRILLA, Litbang Kompas
·5 menit baca
Keteladanan pejabat publik menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Langkah dan tindakan pejabat publik yang memicu kontroversi dapat menjauhkan aspek keteladanan tersebut. Kondisi ini tidak hanya bermuara pada lahirnya krisis kepercayaan, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas kinerja lembaga publik.
Kesimpulan ini terekam dalam hasil jajak pendapat Kompas pertengahan Juli 2022. Sebagian besar responden menilai pejabat publik belum mampu menjadi teladan bagi masyarakat. Hal ini pada akhirnya juga menimbulkan penilaian bahwa pejabat publik belum mampu merawat kepercayaan masyarakat.
Padahal, mandat dan amanah publik semestinya menjadi pegangan bagi pejabat publik. Merujuk pada Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik, pejabat publik didefinisikan sebagai orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Mereka terbagi pada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
Sebagai sosok yang berperan besar dalam penyelenggaraan negara dan bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat, eksistensi pejabat publik tak sebatas memegang peran dan fungsi kelembagaan. Lebih dari itu, profesionalitas pejabat publik pun akan bersinggungan dengan pembawaan sikapnya sebagai panutan masyarakat.
Jajak pendapat Litbang Kompas menangkap penilaian publik tentang sejauh mana para pejabat menjalankan tugasnya sesuai amanah yang diberikan. Responden memaknainya secara terbelah. Sebesar 46,8 persen responden secara positif memandang pejabat publik telah menjalakan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan yang berlaku. Sementara 49,5 persen responden menilai para pejabat publik tak lagi amanah dalam bekerja.
Memburuknya penilaian publik itu tak bisa dilepaskan dari deretan persoalan yang menyeruak belakangan ini. Polemik yang menyeret nama Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, salah satunya. Pada awal Juli 2022, Zulkifili yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) membagikan minyak goreng gratis dalam acara PAN-sar Murah di Bandar Lampung, Lampung. Dalam narasinya, Zulkifli mempromosikan putrinya yang akan maju sebagai calon anggota legislatif dalam Pemilu 2024.
Tak ayal tindakan itu mendapat respons negatif dari sejumlah kalangan masyarakat. Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Kata Rakyat, Lingkar Madani Indonesia, dan Komite Independen Pemantau Pemilu sampai mengadukan Zulkifli ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena dianggap melakukan kampanye terselubung. Namun, Bawaslu menolak laporan pengaduan tersebut karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum memutuskan peserta Pemilu 2024 (Kompas, 22/7/2022).
Kasus lain yang juga kembali mendegradasi kepercayaan publik terhadap pejabat negara adalah mundurnya komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lili Pintauli Siregar. Lili mengundurkan diri saat kasus dugaan pelanggaran etik yang menimpanya tengah ditangani Dewan Pengawas KPK.
Benahi marwah pejabat
Potret tersebut secara nyata menjadi cerminan bahwa ada pekerjaan besar untuk dibenahi menyangkut marwah pejabat publik. Etika para pejabat yang menjadi sorotan ini pada akhirnya menimbulkan potensi gangguan pada kinerja pelayanan yang diberikan lembaga publik. Selain itu, juga semakin memantik krisis keteladanan yang semestinya hadir pada sosok pejabat publik.
Jajak pendapat Litbang Kompas juga menangkap, tak kurang dari tiga perlima bagian responden menyatakan, pejabat publik belum dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Sejalan dengan itu, dalam proporsi yang lebih kurang sama, responden juga menyoroti kegagalan pejabat untuk dapat menjaga kepercayaan masyarakat.
Absennya keteladanan dan kepercayaan publik kepada para elite acap kali menjadi muara dari pelanggaran etik akut dan bahkan dapat dikategorikan sebagai perilaku koruptif. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2021 mengungkap, terdakwa korupsi didominasi oleh penyelenggara negara. Terdakwa korupsi terbanyak, yakni 363 orang, merupakan perangkat desa, disusul pejabat dan pegawai pemerintah daerah yang mencapai 346 orang.
Tak kurang dari tiga perlima bagian responden menyatakan, pejabat publik belum dapat menjadi teladan bagi masyarakat. Sejalan dengan itu, dalam proporsi yang lebih kurang sama, responden juga menyoroti kegagalan pejabat untuk dapat menjaga kepercayaan masyarakat.
Dalam hal yang lebih menyentuh sisi profesionalitas, tanggung jawab dan transparansi penggunaan anggaran oleh pejabat negara juga dinilai belum dapat memenuhi harapan publik. Tak kurang tujuh dari 10 responden survei mengungkap demikian. ICW juga mencatatkan temuan 133 kasus penyalahgunaan anggaran dan 109 kegiatan atau proyek fiktif. Modus penyelewengan, di antaranya, berupa penggelapan sebanyak 79 kasus, penggelembungan (mark up) anggaran (54 kasus), dan penyunatan dana (27 kasus).
Rapor merah yang menyoroti adab pejabat publik itu menjadi ironi karena semestinya mereka hadir dan melayani masyarakat dengan penuh integritas. UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mengamanatkan, pejabat publik mengambil peran besar untuk menjadi pembina dan penanggung jawab dalam menjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik. Ombudsman Republik Indonesia pernah mengungkapkan, tugas mendasar pejabat publik seusai dilantik adalah menjamin dan membantu masyarakat mendapatkan hak, juga menjalankan tanggung jawab. Selain itu, tugas mereka membangun iklim pelayanan publik yang bersih serta mewujudkan transparansi sebagai bagian dari demokrasi.
Publik pun pada akhirnya mengharapkan adanya penegakan etik pejabat publik. Sembilan dari 10 responden sepakat pejabat publik yang melanggar etik harus ditindak dengan tegas. Survei opini juga merekam pandangan publik yang menilai pentingnya memberikan sanksi untuk memberikan efek jera. Apalagi, saat ini semua lembaga memiliki rambu etik dan pengawas.
Di lembaga eksekutif, misalnya, ada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang mengawasi para ASN. Adapun di legislatif ada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai pengawas etik anggota DPR. Sementara di yudikatif ada Komisi Yudisial untuk menjaga marwah hakim. Begitu pula, untuk mengawasi jaksa dibentuk Komisi Kejaksaan dan untuk kepolisian dibentuk Komisi Kepolisian Nasional.
Pada akhirnya, pandangan masyarakat yang mendorong ketegasan sanksi menjadi bukti bahwa tak ada ruang untuk menoleransi segala bentuk pelanggaran etik pejabat publik. Badan pengawasan etik yang dibentuk tentu tak dapat sepenuhnya hadir untuk mengawal perilaku penyelenggara negara. Etika selayaknya jadi bagian dari kesadaran pribadi pejabat publik. Hal ini sekaligus sebagai bagian dari tanggung jawab moral mereka guna menjaga amanah dan menjawab kerinduan publik akan hadirnya keteladanan.