Kemiskinan di Jakarta harus menjadi fokus perhatian utama. Penyediaan lapangan kerja diyakini menjadi upaya meningkatkan kesejahteraan sebagai pintu untuk mengurangi angka kemiskinan.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Penduduk miskin di Ibu Kota meningkat akibat pandemi Covid-19. Angka kemiskinan di DKI Jakarta per September 2021 mendekati situasi pada tahun 2007. Distribusi pendapatan yang belum merata dan ketimpangan kesejahteraan yang masih tinggi menjadi pekerjaan rumah mengatasi kemiskinan di Ibu Kota.
Sampai 2019, kemiskinan di Jakarta berada di bawah 400.000 jiwa. Per September 2019, jumlah penduduk miskin di Ibu Kota sebanyak 362.300 jiwa. Di awal pandemi Covid-19, per Maret 2020, jumlah tersebut naik menjadi 480.860 jiwa. Setahun kemudian, jumlahnya naik lagi menjadi 501.920 jiwa.
Distribusi pendapatan yang belum merata dan ketimpangan kesejahteraan yang masih tinggi menjadi pekerjaan rumah mengatasi kemiskinan di Ibu Kota.
Per September 2021, angka kemiskinan di Jakarta mulai turun ke angka 498.290 jiwa atau 4,67 persen dari total penduduk. Persentase yang hampir sama dengan 15 tahun lalu di mana penduduk miskin di Jakarta sekitar 4,61 persen atau sebanyak 405.700 jiwa.
Jika dirunut ke data seluruh provinsi, selain Jakarta, Provinsi Papua juga termasuk yang angka kemiskinannya bertambah dalam rentang 15 tahun terakhir. Angka kemiskinan di Papua bertambah 151.090 jiwa selama periode 2007-2021.
Meski bertambah, porsinya terhadap total penduduk bisa ditekan menjadi lebih kecil. Pada 2007 terdapat 40,78 persen atau 793.400 jiwa penduduk Papua yang miskin. Sedangkan pada 2021 persentasenya hanya 27,38 persen dengan jumlah 944.490 jiwa.
Kemiskinan bertambah, tetapi porsinya berkurang terjadi karena jumlah penduduk di Papua bertambah sangat cepat akibat faktor migrasi dan angka kelahiran. Perkembangan pembangunan dan aktivitas ekonomi di Papua telah menyebabkan penduduk dari luar pulau berdatangan.
Dibandingkan dengan provinsi lain, kemiskinan di Jakarta ini tergolong rendah secara nominal dan persentase. Namun, provinsi-provinsi lain mampu menangani kemiskinan lebih baik sehingga tidak mundur ke kondisi 15 tahun lalu.
Secara nominal, angka kemiskinan tertinggi berturut-turut terdapat di Jawa Timur dengan jumlah 4,2 juta jiwa, Jawa Barat 4 juta jiwa, dan Jawa Tengah dengan 3,9 juta jiwa. Jika dilihat secara persentase terhadap total penduduk provinsi, kemiskinan tertinggi secara berturut-turut terdapat di Papua (27,38 persen), Papua Barat (21,82 persen), dan Nusa Tenggara Timur (20,44 persen).
Keenam provinsi yang masuk dalam kategori tertinggi ini merupakan daerah yang menjadi kantong kemiskinan ekstrem di Indonesia yang menjadi fokus penanganan oleh pemerintah. Kemiskinan ekstrem, menurut Bank Dunia, adalah kondisi yang diukur dari indikator masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dengan pengeluaran di bawah 1,90 dollar AS (purcashing power parity/PPP) per hari.
Total jumlah kemiskinan ekstrem di Indonesia pada 2021 adalah 4 persen atau 10,86 juta jiwa. Selain keenam provinsi tersebut, terdapat pula Provinsi Maluku yang menjadi fokus penanganan pemerintah karena kemiskinan yang ekstrem. Angka kemiskinan di Maluku tercatat 294.970 jiwa atau 16,3 persen.
Meski bukan menjadi fokus penanganan kemiskinan ekstrem, kemiskinan di Jakarta menjadi perhatian karena Jakarta merupakan kota metropolitan yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat ekonomi dan bisnis. Sebagai ibu kota negara yang menjanjikan kesejahteraan, Jakarta menjadi magnet orang bermigrasi.
Perputaran uang di Jakarta cukup besar. Tahun 2021, nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta yang mencapai Rp 2.914,58 triliun ini masih merupakan yang tertinggi di Indonesia. Sumbangannya terhadap PDB Indonesia sebesar 17,17 persen.
PDRB Jakarta sebesar itu meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan kondisi 15 tahun lalu. Tahun 2007, PDRB Jakarta baru Rp 566,45 triliun. Peningkatan ini lebih tinggi daripada peningkatan PDB Indonesia dalam kurun waktu yang sama. PDB Indonesia tahun 2021 sebesar Rp 16.970,79 triliun yang meningkat 3,8 kali dibandingkan dengan 2007.
Tingginya PDRB ini menyebabkan PDRB per kapita Jakarta juga menjadi yang tertinggi. Angkanya Rp 274,7 juta per kapita per tahun. Dengan tingginya angka PDRB per kapita ini bisa diduga terjadi ketidakmerataan distribusi pendapatan pada penduduk Jakarta.
Dari indikator koefisien gini atau gini rasio terlihat Jakarta memiliki ketimpangan kesejahteraan yang tinggi. Gini rasio Jakarta tahun 2021 adalah 0,411, merupakan tertinggi kedua setelah Yogyakarta yang gini rasionya 0,436.
Gini rasio Jakarta ini meningkat dibandingkan dengan 15 tahun lalu yang di angka 0,367. Semakin tinggi angka rasio, maka semakin tinggi ketimpangan yang terjadi. Inilah ironi di ibu kota negara yang metropolitan. Kue pembangunan belum adil terbagi kepada seluruh penduduk.
Secara nasional, angka kemiskinan dalam kurun waktu 15 tahun sudah berhasil ditekan hingga berkurang 10,66 juta jiwa. Pengurangan terbesar terjadi di Pulau Jawa yang padat penduduk dengan persentase 66,7 persen. Pengurangan terjadi di lima provinsi selain Jakarta.
Namun, pencapaian ini belum sepenuhnya memuaskan publik, apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan kepuasan terhadap kinerja pemerintah dalam mengatasi kemiskinan masih terbilang rendah, yaitu di kisaran 44-60 persen.
Dalam dua tahun terakhir, kepuasan yang tertinggi terjadi pada periode survei Januari 2022 dengan angka 59 persen. Namun, angka kepuasan menurun tak lama kemudian. Pada periode Juni 2022, kepuasan terhadap kinerja penanganan kemiskinan di angka 49 persen.
Jika dilihat per pulau, publik di Pulau Sumatera adalah yang paling tidak puas dengan kinerja pemerintah tersebut. Ketidakpuasan itu disampaikan oleh 58,2 persen. Yang menyatakan puas hanya 40,6 persen. Publik di Pulau Jawa terbelah dalam menilai kinerja pemerintah menangani kemiskinan. Sebanyak 47,6 persen menyatakan puas dan persentase yang sama juga menyatakan tidak puas.
Sementara publik di Pulau Bali dan Nusa Tenggara cenderung menganggap kinerja pemerintah dalam mengatasi kemiskinan sudah baik. Terdapat 80,8 persen menyatakan puas terhadap upaya mengurangi kemiskinan.
Penilaian ini menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah agar kesejahteraan rakyat meningkat. Dari hasil survei, dua hal utama yang harus dilakukan adalah mengendalikan harga-harga barang yang tinggi dalam setengah tahun terakhir. Harga barang yang tinggi memengaruhi daya beli masyarakat.
Selain itu, upaya menyediakan lapangan kerja untuk mengatasi masalah pengangguran yang masif akibat pandemi juga harus dilakukan karena hal itu juga untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Daya beli dan penghasilan tentu berpengaruh pada kemiskinan.
Meski tidak menjadi fokus penanganan kemiskinan ekstrem, kemiskinan di Jakarta juga harus menjadi perhatian utama karena ibu kota negara menjadi etalase terdepan wajah sebuah negara. (LITBANG KOMPAS)