Inflasi, Ancaman Kemiskinan Kembali ke Dua ”Digit”
Inflasi bulanan yang meningkat, pada Maret sebesar 0,66 persen atau tertinggi sejak Mei 2019, akan meningkatkan angka kemiskinan. Angka kemiskinan yang sudah satu digit bisa kembali ke dua digit.
Oleh
TITA ROSY
·5 menit baca
Rilis Badan Pusat Statistik menunjukkan angka kemiskinan periode September 2021 telah kembali ke single digit sebesar 9,71 persen setelah setahun sebelumnya (September 2020) mencapai 10,19 persen. Prestasi ini diperoleh seiring dengan melandainya kurva kasus harian terkonfirmasi Covid-19 pada akhir tahun 2021 pascagelombang kedua yang diwarnai dengan kehadiran varian Delta. Keberhasilan pemerintah menggelontorkan program vaksinasi berbuah manis terhadap pemulihan ekonomi yang dibukukan telah berbalik arah di tahun 2021 sebesar 3,69 persen setelah tahun 2020 terkontraksi 2,07 persen.
Mesin ekonomi yang telah berbalik arah menjadi positif ini di pengujung tahun 2021 dihadapkan lagi dengan tantangan kenaikan harga sejumlah barang kebutuhan pokok masyarakat, salah satunya minyak goreng. Ironi kenaikan harga minyak goreng hingga kini masih menjadi polemik. Inflasi dan deflasi mewarnai perjalanan harga komoditas mengikuti tren harga minyak goreng sejak awal tahun 2022. Pada Januari 2022, Indonesia mengalami inflasi 0,56 persen, selanjutnya pada Februari mengalami deflasi 0,02 persen sebagai dampak penetapan kebijakan pemberlakuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng.
Pada Maret, kebijakan HET minyak goreng dievaluasi dan pemerintah mencabutnya dengan mengembalikan harga minyak goreng ke mekanisme pasar, atau dengan kata lain kembali pada harga keekonomiannya. Selain minyak goreng, harga komoditas lain, seperti cabai merah, gula pasir, daging sapi, daging ayam ras, bawang merah, dan telur ayam ras, yang sebagian besar tergolong dalam volatile foods juga tercatat meningkat. Kenaikan harga sejumlah komoditas membukukan inflasi di bulan Maret sebesar 0,66 persen yang merupakan inflasi month to month tertinggi sejak Mei 2019.
Mesin ekonomi yang digerakkan oleh 54,42 persen pengeluaran konsumsi rumah tangga akan terusik pemulihannya oleh terkereknya inflasi. Lebih dari separuh output ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga yang di tahun 2021 telah tumbuh positif 2,02 persen setelah sempat kontraksi atau tumbuh negatif 2,63 persen di tahun 2020. Ekonomi yang pulih merupakan syarat perlu dan syarat mutlak untuk membenahi angka kemiskinan.
Sedikit merujuk ke teknik penghitungan garis kemiskinan, formulasi garis kemiskinan meng-input variabel harga komoditas dengan perbandingan yang lurus. Artinya apa? Jika inflasi meningkat yang merupakan hasil translate dari harga yang meningkat, garis kemiskinan juga akan meningkat. Bisa dibayangkan dalam diagram Kartesius yang memiliki sumbu vertikal dan horizontal, dalam hal ini sumbu horizontal merupakan jumlah penduduk miskin dan sumbu vertikal adalah besaran garis kemiskinan.
Garis kemiskinan adalah sebuah garis horizontal yang menjadi batas atau pemisah antara penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Jumlah penduduk yang terjaring sebagai penduduk miskin adalah penduduk dengan pengeluaran per kapita kurang dari garis kemiskinan. Garis kemiskinan Indonesia periode September 2021 adalah Rp 486.168 per kapita per bulan. Garis kemiskinan ini dapat dimaknai bahwa apabila ada penduduk yang pengeluaran per bulan kurang dari Rp 486.168, penduduk tersebut akan terkategori sebagai penduduk miskin.
Garis kemiskinan disusun oleh komoditas makanan dan nonmakanan dengan sumbangan garis kemiskinan makanan masih mendominasi, yaitu sebesar 74,05 persen. Pergerakan harga komoditas makanan yang meroket sangat berdampak pada peningkatan garis kemiskinan. Sebanyak 9,71 persen penduduk yang telah terjaring dalam penduduk miskin akan bertambah apabila daya beli masyarakat tidak dibantu untuk meningkat pula mengimbangi inflasi yang terjadi di saat bersamaan.
Sebanyak 9,71 persen penduduk yang telah terjaring dalam penduduk miskin akan bertambah apabila daya beli masyarakat tidak dibantu untuk meningkat pula mengimbangi inflasi yang terjadi di saat bersamaan.
Menjenguk kantong kemiskinan
Belum berakhir episode minyak goreng, di sektor pertanian muncul lagi kenaikan harga pupuk. Kenaikan harga pupuk yang merupakan bahan baku petani, khususnya petani tanaman pangan, dalam berproduksi membuat Nilai Tukar Petani (NTP) pelaku usaha di subsektor ini berada di bawah level 100. NTP tanaman pangan pada Maret 2022 hanya 99,23 atau turun 1,19 persen dibandingkan Februari 2022. Selain disebabkan oleh penurunan indeks yang diterima petani (It) sehubungan dengan siklus panen yang berada di kuartal I tiap tahun, penurunan ini juga disebabkan oleh peningkatan indeks yang dibayar petani (Ib), baik untuk kebutuhan rumah tangganya maupun untuk ongkos produksinya yang masing-masing meningkat 0,74 persen dan 0,35 persen.
Petani dengan posisi pendapatan yang menurun, sedangkan biaya hidup dan ongkos produksi yang meningkat dapat dibayangkan berada pada kondisi defisit. Alih-alih menabung, kadang mereka harus menutupi kondisi defisit ini dengan berutang. Parahnya lagi, petani lebih memilih berutang kepada pihak yang mempermudah prosedur peminjaman bahkan kadang tanpa agunan meskipun dengan bunga yang mencekik. Panen yang sedang dihadapi telah tergadai untuk menutupi utang sebelumnya. Hal ini yang membuat 46,3 persen petani sulit keluar dari lingkaran setan kemiskinan sehingga wajar jika apabila dikatakan bahwa kantong kemiskinan berada di sektor pertanian.
Program bantuan
Satu hal yang telah jelas dapat dipahami adalah bahwa kenaikan harga komoditas dapat menjadi ancaman terjadinya peningkatan angka kemiskinan, bahkan ke level dua digit lagi apabila daya beli masyarakat tidak dapat dipertahankan. Saat ini pemerintah telah berupaya menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng kepada 20,5 juta keluarga yang terdaftar dalam penerima bantuan pangan nontunai (BPNT) dan program keluarga harapan (PKH), serta 2,5 juta PKL yang menjajakan dagangan gorengan. Selain itu, pemerintah juga berencana memberikan bantuan subsidi upah (BSU) kepada 8,8 juta pekerja yang memiliki pendapatan bulanan di bawah Rp 3,5 juta.
Diharapkan, program-program pemerintah tersebut dapat tepat sasaran dengan verifikasi yang dapat menjamin bantuan tersalur kepada yang berhak menerimanya. Dapat dibayangkan juga antrean panjang akan mengular mengiringi penduduk yang akan mencairkan bantuan tersebut. Antrean ini berpotensi menimbulkan dampak ikutan seperti protokol kesehatan yang dilanggar. Mekanisme penyaluran yang efektif sangat diperlukan agar penduduk yang berhak menerima tidak dibebani lagi dengan ancaman penularan Covid-19 yang telah melandai kurvanya.
Lebih jauh daripada itu, program pemerintah diharapkan tidak hanya berada di hilir, tetapi juga menopang di hulu. Misalnya, permasalahan di sektor pertanian yang saat ini sedang dilanda kenaikan harga pupuk. Petani sangat memerlukan pupuk dengan harga yang terjangkau agar mereka tetap bersemangat untuk berproduksi. Hal ini terdengar klasik, tetapi permasalahan ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Pemenuhan pangan nasional tergantung kepada kinerja 28,33 persen penduduk yang bekerja di sektor pertanian yang ditengarai merupakan kantong kemiskinan. Menjaga daya beli petani setali tiga uang dapat membantu menghindari ancaman inflasi terhadap peningkatan kemiskinan.
Tita Rosy, Fungsional Statistisi Ahli Madya di BPS Provinsi Kalimantan Selatan