Indonesia dan Kemiskinan Ekstrem
Banyak negara membuat langkah besar dalam mengurangi kemiskinan moneter, tetapi masih tertinggal di bidang-bidang penting—infrastruktur dasar, pendidikan, dan keamanan—yang nyatanya memiliki dampak pada kualitas hidup.
”There is no silver bullet to ending poverty.”
Tidak ada jalan pintas untuk mengakhiri suatu kemiskinan. Pengentasan orang miskin merupakan tujuan paling utama yang oleh semua negara di dunia berusaha diwujudkan. Pentingnya aksi ini tertuang dari tujuan nomor satu dari Tujuan Pembangunan Bekelanjutan (Sustainable Development Goals), yaitu mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana-mana.
Salah satu targetnya adalah pada 2030, tingkat kemiskinan ekstrem di seluruh dunia dapat diturunkan.
Sangat sulit untuk mengukur kemiskinan ekstrem dengan cara yang tepat dan terbandingkan antarnegara. Setiap negara menetapkan standar sendiri untuk apa yang diperlukan untuk kehidupan dasar.
Standar kemiskinan bervariasi di setiap negara bergantung kepada perkembangan negara tersebut. Negara-negara kaya tentu akan menetapkan standar yang lebih tinggi untuk apa yang dianggap sebagai kemiskinan.
Berbasis kebutuhan dasar
Bank Dunia kemudian mengambil informasi tentang kebutuhan dasar yang dikumpulkan dari 15 negara termiskin dan kemudian dirata-ratakan. Hasilnya diperoleh nilai sekitar 1,90 dollar AS per hari per orang yang disebut sebagai garis kemiskinan ekstrem global.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan ekstrem sebagai kondisi pengeluaran penduduk per hari di bawah 1,90 dollar AS PPP (purchasing power parity). Kemiskinan ekstrem di seluruh dunia diukur menggunakan ukuran kemiskinan absolut ini agar konsisten antarnegara dan antarwaktu.
Perlambatan pengentasan orang miskin secara global terjadi sejak tahun 2015 dan semakin bertambah karena pandemi Covid-19.
Perlambatan pengentasan orang miskin secara global terjadi sejak tahun 2015 dan semakin bertambah karena pandemi Covid-19. Maka, tingkat kemiskinan ekstrem global meningkat pada 2020 untuk pertama kalinya dalam lebih dari 20 tahun.
Sebelum pandemi, kemiskinan ekstrem dunia menurun dari 10,1 persen pada 2015 menjadi 9,3 persen pada 2017, setara dengan 689 juta orang yang hidup kurang dari 1,90 dollar AS per hari. Bank dunia memperkirakan 119 juta-124 juta orang terdorong kembali ke dalam kemiskinan ekstrem pada 2020 secara global akibat pandemi Covid-19, ditambah pengaruh dari konflik dan perubahan iklim, yang selama ini telah memperlambat kemajuan pengentasan orang miskin.
Pada 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia 4 persen atau 10,86 juta jiwa. Tingkat kemiskinan ekstrem tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021 sejumlah 10,14 persen atau 27,54 juta jiwa, dan pada Susenas September 2021 menjadi sebesar 9,71 persen atau 26,50 juta jiwa.
Baca juga: Upaya Tekan Kemiskinan Dibayangi Kenaikan Inflasi
Dalam laporan Poverty & Equity Brief East Asia & Pacific (2019) disebutkan bahwa pada 2017 nilai 1,90 dollar AS PPP setara dengan Rp 10.195,6 per kapita per hari. Ini menggarisbawahi bahwa sebanyak 10,86 juta penduduk di Indonesia pengeluarannya tidak sampai Rp 11.000 per hari. Sebelas ribu rupiah hanya cukup untuk membeli 1 kilogram beras kualitas standar, bahkan tidak cukup untuk membeli 1 liter minyak goreng.
Target nol persen
Arahan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas Strategi Percepatan Pengentasan Kemiskinan pada 4 Maret 2021 menargetkan agar kemiskinan ekstrem Indonesia pada 2024 dapat mencapai nol persen. Target penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang memuat komitmen global untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem pada 2030.
Terkait dengan pengurangan kemiskinan ekstrem, saat ini pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah sesungguhnya telah melaksanakan banyak program yang terbagi dalam dua kelompok utama, yaitu kelompok program untuk menurunkan beban pengeluaran rumah tangga miskin, dan kelompok program untuk meningkatkan produktivitas masyarakat miskin.
Pada 2021, upaya pengentasan kemiskinan ekstrem difokuskan di tujuh provinsi dan diprioritaskan pada 35 kabupaten yang mewakili 20 persen jumlah penduduk miskin secara nasional. Upaya pengentasan kemiskinan ekstrem di 35 kabupaten prioritas berupa penyaluran Top Up Program Sembako dan Top Up BLT-Desa. Ketujuh provinsi prioritas adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Jika dilihat secara proporsi, jumlah penduduk miskin ekstrem terhadap total penduduk, Provinsi Papua merupakan propinsi dengan jumlah penduduk miskin ekstrem terbesar di Indonesia, yaitu 14,15 persen. Di susul Papua Barat (13,87 persen) dan NTT (10,63 persen).
Namun, jika ditinjau berdasarkan jumlah penduduk miskin ekstrem, Provinsi Jawa Timur mendominasi dengan jumlah penduduk miskin ekstrem sebanyak 1,73 juta orang, disusul Jawa Barat dengan 1,66 juta orang miskin ekstrem, dan Jawa Tengah dengan 1,62 juta orang miskin ekstrem.
Sebelas ribu rupiah hanya cukup untuk membeli 1 kilogram beras kualitas standar, bahkan tidak cukup untuk membeli 1 liter minyak goreng.
Kemiskinan ekstrem
Bagaikan bumi dan langit, angka kemiskinan ekstrem di Papua Barat dan NTT berkontradiksi dengan tingkat kemiskinan di ketiga provinsi di Jawa tadi yang tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional pada September 2021. Tingkat kemiskinan di Jawa Timur sebesar 10,59 persen, Jawa Tengah sebesar 10,59 persen, bahkan Jawa Barat memiliki tingkat kemiskinan jauh lebih rendah dibandingkan tingkat nasional, yaitu sebesar 7,97 persen.
Bank Dunia, dalam upayanya mencapai target untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem pada 2030 dan mempromosikan kemakmuran bersama, menyatakan bahwa kemiskinan ekstrem tidak hanya dianggap sebagai kekurangan uang, tetapi juga sebagai kekurangan unsur-unsur dasar kesejahteraan.
Banyak negara telah membuat langkah besar dalam mengurangi kemiskinan moneter, tetapi masih tertinggal di bidang-bidang penting—seperti infrastruktur dasar, pendidikan, dan keamanan—yang nyatanya memiliki dampak kuat pada kualitas hidup masyarakat.
Harapannya, dimensi-dimensi kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, infrastruktur perumahan, dan sebagainya, sudah seharusnya menjadi tolok ukur pemerintah dalam merencanakan program/kebijakan pengentasan kemiskinan ekstrem ke depan.
Sejatinya keberhasilan pengentasan kemiskinan dilihat tidak hanya dari kecukupan sisi moneter saja, tetapi juga dari sisi kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang menjadi lebih baik.
Astrid Ayu BestariKordinator Fungsi Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan