Jaga Kewaspadaan di Tengah Transisi Endemi
Hasil jajak pendapat menunjukkan, sekitar 70 persen responden sepakat jika pemerintah mengubah status Covid-19 menjadi endemi dalam waktu dekat. Namun, kewaspadaan tetap harus dijaga.
Setelah dua tahun lebih berjibaku dengan pandemi Covid-19, pemerintah tengah bersiap melakukan transisi menuju status endemi. Langkah-langkah dalam transisi, termasuk pelonggaran kewajiban bermasker di ruang terbuka, diapresiasi publik. Meski begitu, semua pihak harus tetap waspada karena situasi bisa saja memburuk sewaktu-waktu.
Dukungan terhadap kebijakan pelonggaran aturan bermasker ini tampak dari hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Litbang Kompas pada akhir Mei 2022. Hasilnya menunjukkan 77 persen responden memberikan apresiasinya terhadap langkah pemerintah tersebut.
Separuh lebih responden menilai upaya pengendalian Covid-19 sudah membaik. Alasan ini yang jadi basis kuat mereka cenderung menerima kebijakan pelonggaran penggunaan masker, khususnya untuk kegiatan di luar ruangan tanpa kerumunan. Selain alasan pengendalian pandemi yang sudah relatif membaik, vaksinasi juga menjadi alasan bagi responden yang cenderung menerima kebijakan pelonggaran penggunaan masker. Di mata responden, sikap ini dilandasi perasaan aman setelah menerima vaksin dosis kedua ataupun dosis ketiga (booster).
Selain dimensi situasi Covid-19, sebagian dari masyarakat mengapresiasi aturan penggunaan masker yang lebih longgar ini karena alasan yang lebih personal. Misalnya, sepertiga responden setuju dengan kebijakan ini karena di mata mereka, memakai masker kurang nyaman, bahkan cenderung merasakan sesak napas. Sebagian responden lain setuju dengan kebijakan pelonggaran aturan penggunaan masker ini karena dilandasi pertimbangan ekonomi. Mereka melihat kebutuhan untuk membeli masker selama ini menambah beban ekonomi rumah tangga.
Kebiasaan bermasker
Meskipun suara yang apresiatif lebih dominan, sebagian dari publik masih berpendapat sebaliknya. Setidaknya, lebih kurang seperempat responden dalam jajak pendapat kali ini cenderung tak setuju dengan kebijakan pelonggaran aturan bermasker.
Baca juga: Presiden Jokowi Umumkan Pelonggaran Kebijakan Pemakaian Masker bagi Aktivitas Luar Ruang
Namun, ketidaksetujuan ini tak hanya datang dari rasa takut atau khawatir tertular Covid-19. Hasil jajak pendapat menunjukkan, tak sampai 1 persen dari responden yang menolak kebijakan masker yang baru akibat khawatir akan potensi perburukan Covid-19.
Justru, sebagian besar penolakan dari responden ini dilatarbelakangi kebiasaan menggunakan masker selama dua setengah tahun terakhir. Memakai masker sudah jadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan sehari-hari dalam dua tahun terakhir ini. Melepas masker masih menjadi ”kekhawatiran” tersendiri meski kondisi pandemi relatif sudah melandai.
Selain dari orang-orang yang telah terbiasa menggunakan masker, penolakan juga datang dari sebagian masyarakat yang posisinya rentan terhadap infeksi Covid-19. Hal ini tampak dari seperlima responden jajak pendapat ini yang mengaku tidak setuju dengan kebijakan pelonggaran aturan bermasker karena baru menerima satu dosis atau bahkan tidak bisa menerima vaksin Covid-19 sama sekali.
Baca juga: Publik Diharap Tak Euforia Seiring Pelonggaran Aturan Bermasker
Hasil ini menunjukkan bahwa kebiasaan dan gaya hidup yang telah terbangun selama masa pandemi akan terus bertahan hingga beberapa waktu ke depan. Tanpa adanya aturan tertulis, beberapa kebiasaan, termasuk menggunakan masker, akan menjadi norma yang hidup di tengah masyarakat.
Maka, tak sulit bagi masyarakat bersikap adaptif dengan perkembangan situasi pandemi. Meski sebagian besar responden antusias dengan aturan mobilitas sosial dan protokol kesehatan yang lebih bebas, mereka tetap bersedia patuh jika pengetatan kembali dilakukan. Hasil jajak pendapat menunjukkan, 90 persen responden jajak pendapat tetap bersedia terus menggunakan masker jika kelak terjadi perburukan situasi Covid-19 di Indonesia.
Secara umum, sebagian besar dari masyarakat Indonesia setuju dengan langkah pemerintah untuk mengubah status Covid-19 di Indonesia. Hasil jajak pendapat menunjukkan, sekitar 70 persen responden sepakat jika pemerintah mengubah status Covid-19 menjadi endemi dalam waktu dekat.
Euforia endemi
Pelonggaran aturan penggunaan masker di ruang terbuka menjadi langkah awal dari persiapan pemerintah mengubah status Covid-19 dari pandemi menjadi endemi. Tak heran, respons positif masyarakat terhadap kebijakan pelonggaran aturan bermasker yang baru ini juga selaras dengan tanggapan mereka atas rencana perubahan status tersebut.
Secara umum, sebagian besar dari masyarakat Indonesia setuju dengan langkah pemerintah untuk mengubah status Covid-19 di Indonesia. Hasil jajak pendapat menunjukkan, sekitar 70 persen responden sepakat jika pemerintah mengubah status Covid-19 menjadi endemi dalam waktu dekat. Bahkan, hampir satu per sepuluh responden menyatakan sangat setuju dengan kebijakan ini.
Tak kurang dari 70 persen responden percaya dengan kemampuan pemerintah jika sewaktu-waktu situasi Covid-19 mengalami perburukan.
Tingginya tingkat persetujuan terhadap perubahan status Covid-19 didorong oleh keyakinan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengendalikan wabah. Tak kurang dari 70 persen responden percaya dengan kemampuan pemerintah jika sewaktu-waktu situasi Covid-19 mengalami perburukan. Bahkan, sebagian dari mereka menyatakan sangat yakin bahwa pemerintah akan bisa mengatasi jika terjadi gelombang Covid-19 selanjutnya.
Meskipun demikian, bukan berarti langkah transisi ini dapat dilakukan dengan gegabah. Pasalnya, sekitar satu setengah bulan setelah mobilisasi besar-besaran selama masa mudik Lebaran, potensi lonjakan kasus kembali menghadang. Hal ini terlihat dari kasus positif harian yang konsisten berada di atas angka 500 kasus selama beberapa hari terakhir.
Walau telah jauh lebih landai dibandingkan gelombang-gelombang sebelumnya, tren perburukan ini menunjukkan bahwa situasi wabah Covid-19 di Indonesia belum stabil. Adanya variabel baru, seperti peningkatan mobilitas masyarakat secara signifikan atau adanya varian baru, bisa saja membuat perburukan tereskalasi cepat.
Selain itu, virus penyebab Covid-19 juga masih terus bermutasi hingga saat ini. Sampai Jumat (10/6/2022), telah ditemukan empat kasus subvarian Covid-19 Omicron baru (BA.4 dan BA.5) di Indonesia. Walaupun belum ditemukan perbedaan tingkat keparahan yang signifikan antara varian ini dan varian Omicron lainnya, subvarian ini terbukti memiliki kemampuan untuk lolos dari sistem kekebalan tubuh. Hal ini terlihat dari pasien yang terinfeksi meskipun telah mendapat vaksin lebih dari dua dosis.
Tak mengherankan, masih cukup banyak juga komponen masyarakat yang merasa belum sepakat dengan transisi status yang tengah disiapkan oleh pemerintah. Setidaknya, seperempat dari responden menyatakan ketidaksetujuannya dengan rencana ini. Pengalaman digempur wabah yang telah dialami selama dua tahun terakhir membuat mereka ragu akan kemampuan pemerintah menghadapi gelombang Covid-19 di kemudian hari.
Maka, potensi perburukan ini perlu untuk selalu menjadi bahan pertimbangan pemerintah ketika meramu kebijakan transisi. Tentu, semua pihak berharap agar pandemi bisa segera berakhir dan kehidupan bisa kembali ”normal”. Pada akhirnya, kehidupan di tengah pandemi yang menuju era transisi ke endemi ini tetap harus dijalani dengan penuh kewaspadaan.