Menjaga Ketahanan Pangan Nasional
Ketahanan pangan nasional diuji dengan munculnya dampak bencana iklim dan pandemi Covid-19.
Ketahanan pangan merupakan salah satu sektor prioritas pembangunan pemerintah. Masih adanya problem gizi masyarakat dan ancaman stok pangan akibat bencana serta krisis pandemi mengingatkan perlunya merumuskan langkah strategis ketahanan pangan.
Pentingnya ketahanan pangan terlihat dari agenda khusus yang disusun Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Poin terkait ketahanan pangan masuk di prioritas pertama, yaitu memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas.
Tak hanya itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga menempatkan kedaulatan dan kemandirian pangan sebagai tumpuan pembangunan pangan nasional. Kemandirian pangan yang dimaksud adalah kemampuan negara dalam memproduksi pangan beraneka ragam dari dalam negeri.
Dalam dokumen ”Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi 2020-2024” disebutkan target ketahanan pangan pada 2024. Target tersebut dijabarkan dalam empat sasaran, yaitu Indeks Ketahanan Pangan global, ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan manfaat pangan.
Dari sasaran global food security index, Indonesia menargetkan skor 69,8 pada 2024. Target lain adalah ketersediaan pangan berupa beras sebesar 46,8 juta ton dan protein hewani sebanyak 2,9 juta ton pada 2024.
Pantauan selama satu dekade terakhir memperlihatkan tren perbaikan ketahanan pangan nasional. Pada 2012, ketahanan pangan Indonesia menunjukkan skor 52,5 kemudian naik menjadi 61,4 pada 2020.
Sekalipun menunjukkan peningkatan, tetapi target tersebut perlu terus diperjuangkan mengingat ada tantangan lain yang dihadapi, yaitu tengkes (stunting) dan ancaman gagal panen.
Stunting menjadi bahasan penting dalam konteks ketahanan pangan sebab prevalensi tengkes yang tinggi menunjukkan bahwa banyak masyarakat Indonesia masih kekurangan gizi. Hingga tahun 2019, prevalensi stunting pada anak balita mencapai 27,67 persen.
Kekurangan gizi tidak terbatas pada anak balita, tetapi juga ibu hamil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama dua tahun terakhir ada 11 dari 100 ibu yang melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah atau kurang dari 2,5 kilogram. Efek jangka panjang dari kondisi tersebut adalah kerentanan terhadap penyakit dan tumbuh kembang yang terhambat.
Selain tengkes, tantangan yang muncul dalam pembangunan ketahanan pangan adalah krisis pangan di sejumlah daerah. Krisis pangan terjadi bisa disebabkan oleh terbatasnya akses makanan dan kegagalan panen karena anomali iklim.
Akhir April 2020, warga di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku, mengeluhkan kekurangan bahan pangan karena tekanan ekonomi pandemi dan gagal panen akibat serangan hama. Total penduduk yang terancam kelaparan sekitar 13.000 jiwa. Akibat kekurangan pangan, penduduk kemudian mengonsumsi umbi-umbian dan kacang-kacangan.
Ancaman kekurangan pangan juga pernah terjadi di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada akhir Juni 2019. Sedikitnya 400 hektar lahan padi gagal panen karena kekeringan. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Tangerang, Banten.
Diversifikasi
Melihat tantangan di atas, aspek ketersediaan pangan menjadi poin utama yang harus diperhatikan dalam upaya menjaga ketahanan pangan. Di tengah problem mencukupi ketersediaan pangan, pemerintah harus merumuskan langkah strategis mengingat ancaman bencana dan iklim yang dapat mengganggu produksi tanaman pangan saat ini.
Salah satu langkah yang dapat mengimbangi aspek ketersediaan adalah meningkatkan strategi diversifikasi pangan terutama dari beras ke nonberas. Diversifikasi akan membuat pilihan masyarakat akan bahan pangan makin beragam dan imbang untuk pemenuhan konsumsi dan energi harian masyarakat.
Ukuran yang dapat digunakan untuk menilai keberagaman dan keseimbangan bahan pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan mencakup pola konsumsi pangan, seperti konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia. Skor maksimal Pola Pangan Harapan adalah 100, yakni makin mendekati skor maksimal, penduduk di wilayah tersebut makin beragam dan seimbang konsumsi pangannya.
Selama periode 2016 hingga 2019, skor Pola Pangan Harapan Indonesia konsisten meningkat. Skor Pola Pangan Harapan pada 2016 sebesar 82,3, kemudian naik menjadi 87,9 pada 2019. Harapan pangan penduduk Indonesia sedikit menurun pada 2020 karena pandemi.
Selain untuk melihat keseimbangan konsumsi, analisis Pola Pangan Harapan dapat juga digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan penduduk Indonesia. Definisi ketahanan pangan merujuk pada kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tecermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya.
Adapun mutu atau kualitas pangan ditentukan oleh keamanan pangan, gizi, pemerataan akses, dan keterjangkauan. Untuk melihat kebutuhan pangan penduduk, pendekatan yang dapat dilakukan adalah mengukur tingkat konsumsi dan konversi energi bahan pangan. Secara umum, ada delapan kelompok bahan pangan utama, yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, serta sayur dan buah.
Krisis pangan bisa disebabkan oleh terbatasnya akses makanan dan kegagalan panen karena anomali iklim.
Konsumsi harian kelompok pangan utama selama lima tahun terakhir (2016-2020) memiliki tren beragam. Komoditas padi-padian cenderung stabil dengan rata-rata konsumsi 312,1 gram per kapita per hari. Sementara komoditas umbi-umbian, minyak dan lemak, buah/biji berlemak, gula, serta sayur dan buah mengalami penurunan sekitar 5,34 persen. Konsumsi pangan hewani dan kacang-kacangan naik.
Selain tingkat konsumsi, pemenuhan energi harian penduduk perlu diperhatikan sebagai ukuran ketahanan pangan. Apabila energi harian penduduk terpenuhi, akses terhadap bahan pangan dapat dikatakan terbuka dengan baik. Hingga 2020, pemenuhan energi dari bahan pangan yang melebihi standar baru padi-padian (1.267 kkal per kapita per hari) serta minyak dan lemak (249 kkal per kapita per hari).
Jaminan pangan
Ketersediaan pangan merupakan hal mendasar dalam sebuah konsep ketahanan pangan. Di luar aspek ketersediaan, ketahanan pangan memiliki tantangan lanjutan, seperti kualitas pangan dan aksesibilitas yang baik ke berbagai kelompok masyarakat.
Tidak kalah penting adalah belum meratanya distribusi ketahanan pangan di Tanah Air. Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menunjukkan hingga tahun 2020 ada empat provinsi dengan status merah atau sangat rawan ketahanan pangannya. Wilayah tersebut adalah Kepulauan Riau, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Langkah besar menjaga ketahanan pangan juga harus menyasar peningkatan kesejahteraan petani. Kesejahteraan petani ini perlu dijamin untuk memastikan keberlanjutan produksi pangan.
Melihat lanskap ketahanan yang luas, langkah mitigasi krisis pangan untuk menjaga ketahanan pangan nasional perlu diawasi dan dilakukan evaluasi secara berkala. Penguatan regulasi harus dilakukan di tingkat hulu hingga hilir, termasuk pengembangan teknologi pangan.
Baca juga: Jutaan Ton Bahan Pangan Terbuang di Indonesia
Di tambah faktor bencana alam dan iklim, kondisi stok pangan dapat semakin tidak menentu. Terlebih setelah muncul pandemi Covid-19 yang dapat berimbas pada terganggunya sektor pangan nasional.
Sebagai catatan, gejolak pangan global muncul saat dunia dilanda krisis. Pertama, saat krisis ekonomi Asia 1997/1998 yang berpengaruh pada pelemahan daya beli hingga lonjakan inflasi serta kejadian kedua adalah krisis pangan global 2008 karena kenaikan drastis harga minyak dunia yang berdampak pada rantai distribusi dan pemenuhan logistik pangan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Perubahan Iklim Memperparah Kejadian Bencana