Perubahan Iklim Memperparah Kejadian Bencana dan Wabah Penyakit
Peluang terjadinya wabah penyakit makin meningkat di tengah perburukan kondisi iklim saat ini. Dibutuhkan peran lembaga internasional, negara, serta individu untuk menghindari bencana dan wabah penyakit.
Dampak perubahan iklim terbukti jauh lebih besar dari yang dibayangkan para ahli. Pantauan satu dekade terakhir memperlihatkan makin bertambahnya frekuensi kejadian bencana dengan skala lebih besar. Di sisi lain, anomali iklim turut berkontribusi mengubah pola dan sebaran wabah penyakit.
Masyarakat dunia tengah diperhadapkan dengan ancaman terbesar kehidupan di permukaan Bumi. Banyak penelitian dan kajian menyebutkan bahwa perubahan iklim, atau sekarang lebih dikenal krisis iklim, mampu mendorong peradaban manusia ke titik rentan.
Ancaman krisis iklim bukan lagi sebuah dongeng masa lampau yang dibawa hingga ke masa depan, sebab dampaknya sudah makin nyata dirasakan di kehidupan sehari-hari. Contoh paling sederhana adalah pergeseran cuaca, di mana harusnya sudah masuk musim hujan, ternyata cuaca masih sangat panas dan belum menunjukkan tanda-tanda perubahan musim.
Laporan Khusus Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC 2021 memberikan catatan peluang terjadinya bencana alam, khususnya hidrometeorologi, yang makin sering dan memiliki intensitas makin besar. Dengan pola penggunaan energi dan aktivitas manusia saat ini, diperkirakan peluang kenaikan suhu Bumi hingga 4 derajat Celsius di satu dekade ke depan mencapai 9,4 kali lipat memungkinkan.
Apabila suhu Bumi naik hingga 4 derajat Celsius, maka rekor suhu tercatat 5,1 derajat Celsius lebih panas dari rata-rata suhu periode tahun 1850-1900. Kenaikan suhu sebesar itu akan mengancam biodiversitas di permukaan Bumi. Tak terbatas itu, krisis iklim juga membuat peluang terjadinya hujan ekstrim dan kekeringan makin besar dan memiliki sifat merusak.
Saat penambahan suhu terus terjadi, prediksi 10 tahun ke depan menyebutkan bahwa intensitas hujan ekstrim mencapai 30,2 persen lebih besar. Kemungkinan hujan ekstrim juga sangat tinggi, yaitu 2,7 kali lipat dari biasanya. Fenomena hujan ekstrim bisa saja diikuti badai dengan tingkat kerusakan yang jauh lebih besar.
Terlepas dari suhu Bumi dan hujan ekstrim, bahasan yang tidak kalah penting adalah kekeringan. Laporan IPCC 2021 menyebutkan bahwa kemungkinan terjadinya kekeringan besar adalah 4,1 kali lipat sangat mungkin di 10 tahun mendatang. Saat itu, banyak wilayah akan mengalami gelombang panas dan kekeringan 2 kali lipat lebih parah dari sekarang.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia juga memiliki pola yang serupa, yaitu frekuensi dan korban bencana hidrometeorologi membesar. Hasil pemantauan satu dekade memperlihatkan tren positif kejadian bencana dengan kenaikan jumlah konsisten di atas 10 persen, tepatnya 14,07 persen.
Bencana yang lebih sering terjadi tentu menyebabkan jatuhnya banyak korban. Data pengungsi karena bencana menyebutkan bahwa sedikitnya 370.000 jiwa harus mengungsi dari lokasi tempat tinggalnya setiap tahunnya. Jumlah pengungsi terbesar terjadi di tahun 2020, yaitu mencapai 798.843 jiwa.
Sebagai catatan, bencana yang disebabkan krisis iklim, yaitu hidrometeorologi, mengambil porsi sangat besar. Tercatat bahwa dari sepuluh bencana alam yang terjadi, sembilan di antaranya adalah bencana karena anomali cuaca dan iklim, atau hidrometeorologi.
Bencana katastropik
Krisis iklim juga berdampak langsung pada munculnya banyak wabah penyakit di berbagai wilayah. Ada tiga komponen esensial yang berpengaruh pada eksistensi penyakit-penyakit menular, yaitu jenis patogen, vektor penularan, dan lingkungan transmisi. Sayangnya, ketiga komponen tersebut sangat sensitif terhadap perubahan karena krisis iklim.
Perubahan yang terjadi di patogen (virus, bakteri, parasit, dan jamur) memiliki hubungan erat terhadap kondisi lingkungan transmisinya, seperti suhu, kelembapan, curah hujan, sinar matahari, dan angin. Apabila terjadi anomali, maka dampak berikutnya adalah tingkat keparahan infeksi terhadap vektor dan manusia.
Kondisi suhu lingkungan menjadi salah satu komponen penting, sebab mampu mengubah siklus hidup patogen. Setiap jenis patogen membutuhkan suhu tertentu untuk bertahan hidup, namun krisis iklim mampu mengubahnya.
Suhu maksimum yang ideal untuk nyamuk adalah 22-23 derajat Celsius, sementara suhu paling minimum bagi Japanese Encephalitis Virus (JEV) adalah 25-26 derajat Celsius. Saat terjadi kenaikan suhu, mortalitas kedua patogen tersebut dapat naik. Namun, justru suhu panas dapat mendorong reproduksi parasit penyebab malaria yang membutuhkan suhu kisaran 33-39 derajat Celsius.
Selain malaria, patogen lain yang membutuhkan suhu cukup panas adalah Salmonella (maksimum 37 derajat Celsius). Jenis patogen lain yang bergantung pada suhu dan kelembapan adalah virus influenza, termasuk bakteri Vibrio spp. di perairan utara Bumi. Sementara anomali lainnya, seperti intensitas angin hingga curah hujan diprediksi mampu meningkatkan peluang transmisi dengan lebih cepat dan masif.
Perbesaran skala bencana dan anomali kejadian bencana di berbagai wilayah adalah kenyataan krisis iklim yang harus diterima oleh penduduk Bumi. NASA mencatat bahwa tahun 2020 adalah periode kedua setelah 2016 yang menjadi tahun terpanas. Akibatnya, muncul ketidakseimbangan ekologi yang ditandai hilangnya lapisan es, gelombang panas lebih lama, hingga kerusakan ekosistem.
Dampak dari ketidakseimbangan ekologi telah dirasakan oleh manusia. Sekitar pertengahan Juli 2021 lalu, wilayah Eropa, yaitu Jerman, Belgia, dan Belanda, terkena bencana banjir dahsyat. Tercatat sedikitnya 125 orang meninggal dunia dan tidak kurang 1.300 orang hilang.
Sementara Jepang mengalami gelombang panas pada 2018 lalu dengan kematian sekitar 1.000 orang. Tercatat suhu harian di Jepang pernah mencapai 41,1 derajat Celsius. Fenomena gelombang panas juga memorak-porandakan Yunani pada Agustus 2021 lalu. Saat itu, terjadi tiga kebakaran hutan besar, dengan satu kebakaran yang mengancam sebuah kota di pulau terbesar kedua di Yunani.
Indonesia juga tidak luput dari dampak krisis iklim. Sekitar April 2021 lalu, wilayah Nusa Tenggara Timur dihantam siklon tropis Seroja yang tak lazim muncul di wilayah dekat daratan dan masuk area ekuator. Sedikitnya 58.900 orang harus mengungsi, sementara 181 orang lainnya meninggal dunia.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) juga mencatat bencana-bencana katastropik hidrometeorologi dengan tingkat kematian dan kerugian ekonomi yang sangat besar. Salah satu bencana dengan tingkat kematian terbesar adalah kekeringan dan kelaparan di Etiopia tahun 1983 silam, di mana sedikitnya 300.000 orang meninggal dunia.
Wabah penyakit
Kejadian bencana besar selalu diikuti kondisi krisis lainnya, mulai dari kelaparan, gagal panen, kelangkaan air, dan wabah penyakit. Kondisi krisis saat bencana, khususnya wabah penyakit, bukan sekadar efek bawaan saja, melainkan penanda bahwa situasi ke depan makin mengkhawatirkan.
Wabah penyakit menjadi salah satu ancaman terbesar umat manusia saat ini, selain karena efek bawaan dari kejadian bencana, krisis iklim turut mengubah lanskap dari jenis patogen, vektor atau media penularan, serta lingkungan transmisi patogen penyebab penyakit.
Krisis iklim telah memicu perubahan pola dan sebaran penyakit menular, mulai dari vektor serangga hingga hewan pengerat. Sebagai contoh, kasus sebaran malaria dan demam berdarah makin meluas, sebab daerah yang dulu lebih dingin dan tidak mendukung perkembangbiakan nyamuk, saat ini lebih hangat.
Baca juga: Pengaruh Iklim terhadap Covid-19
Krisis iklim yang menyebabkan curah hujan lebih tinggi dan pemanasan global yang membuat suhu lebih hangat tentu meningkatkan ancaman penyakit. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan banyak air tergenang atau banjir, sehingga kasus infeksi virus leptospira dari urin tikus akan mudah terjadi dan meningkat.
Pada kasus diare, curah hujan dan banjir sangat berkaitan. Air bersih dapat mudah terkontaminasi bakteri Campylobacter, Salmonella, Shigella, dan E.coli. Bukan hanya makanan, peralatan makan dan minum juga dapat terkontaminasi. Di sisi lain, kekeringan juga dapat menyebabkan kontaminasi air melalui debu dan bakteri yang menempel.
WHO telah memperingatkan bahwa peluang terjadinya wabah penyakit makin membesar di tengah perburukan kondisi iklim saat ini. Kejadian bencana dengan intensitas tinggi juga makin sering terjadi, sehingga mengancam kehidupan manusia. Di titik ini, peran lembaga internasional, negara, hingga ke level individu dalam pengendalian krisis iklim sangat berarti. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pajak Karbon dan Penanganan Krisis Iklim di Indonesia