TWK dan Agenda Pemberantasan Korupsi
Kepercayaan publik harus dijaga di tengah sorotan pada kinerja KPK. Integritas dan profesionalisme lembaga dalam memberantas kasus korupsi menjadi garansi bagi kerja KPK dalam memberantas korupsi.
Polemik tes wawasan kebangsaan yang dipakai sebagai asesmen pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara sampai saat ini belum ada ujungnya.
Peran dua lembaga, yakni Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam kasus ini pun belum menunjukkan titik terang akan ke mana akhir dari polemik ini. Di satu sisi, agenda pemberantasan korupsi semestinya tetap harus berjalan dan menjadi perhatian utama.
Setidaknya polemik soal tes wawasan kebangsaan (TWK) ini sudah berjalan sejak Januari lalu ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merencanakan pengalihan status pegawainya menjadi aparatur sipil negara sebagai konsekuensi dari revisi terhadap Undang-Undang KPK.
Polemik ini semakin menguat ketika proses asesmen itu menghasilkan pegawai-pegawai KPK yang lolos asesmen dan yang gagal melalui tahapan tes wawasan kebangsaan tersebut.
Kegagalan 75 pegawai ini penuh kontroversi karena sebagian besar dari mereka selama ini dikenal sebagai ujung tombak dari lembaga antirausah tersebut.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono, satu dari 75 pegawai yang gagal lolos tes wawasan kebangsaan, menyebut, asesmen ini tidak lepas dari buah pelemahan lembaga antikorupsi tersebut melalui revisi Undang-Undang KPK.
Sebelumnya, upaya pelemahan juga sudah terjadi, mulai dari intimidasi terhadap penyidik KPK, termasuk di antaranya adalah peristiwa penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, yang mengakibatkan kerusakan mata.
Giri juga menyebut upaya delegitimasi terhadap penyidik dan pegawai KPK dengan isu Taliban dan radikal. Selain itu juga adanya pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan dan pejabat di KPK. ”Puncaknya, ya, revisi UU KPK,” ungkap Giri dalam sebuah diskusi virtual terkait polemik TWK pada 25 Juli 2021 lalu.
Menariknya, polemik tes wawasan kebangsaan ini terus terjadi seiring dengan sikap KPK yang cenderung bertahan dengan keputusannya mempertahankan hasil tes wawasan kebangsaan.
Padahal, hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia menyimpulkan, ada malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara.
Dalam paparannya, Ombudsman mengemukakan temuan berdasarkan tiga tahapan atas dugaan penyimpangan prosedur dalam proses peralihan status pegawai KPK tersebut.
Tiga tahap itu meliputi tahapan pembentukan kebijakan (dasar hukum), tahapan pelaksanaan asesmen TWK, dan tahapan penetapan hasil. KPK juga dinilai mengabaikan pernyataan Presiden Joko Widodo pada 17 Mei 2021 yang meminta hasil TWK tidak digunakan sebagai dasar pemberhentian pegawai KPK.
Menanggapi Ombudsman, KPK justru tetap pada sikapnya untuk mempertahankan hasil TWK dengan tidak menjalankan apa yang menjadi temuan Ombudsman.
KPK menyatakan keberatan menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan ORI. Salah satu argumentasi KPK sebagaimana Pasal 3 UU No 19/2019 tentang KPK yang disebutkan masuk rumpun eksekutif. Namun, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPK tak tunduk kepada lembaga apa pun.
”KPK independen. Kami tidak ada di bawah institusi apa pun di Republik Indonesia ini. Jadi, mekanisme, misal memberikan rekomendasi ke atasan, atasan KPK langit-langit ini, he-he-he. Lampu,” kata komisioner KPK, Nurul Gufron, dalam jumpa pers terkait tanggapan KPK atas laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman mengenai tes wawasan kebangsaan pegawai KPK (Kompas, 6/8/2021).
Baca juga : Malaadministrasi dalam Tes Wawasan Kebangsaan
Melanggar HAM
Selain Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga memberikan temuannya terkait TWK KPK. Komisi menyebutkan, ada 11 bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam proses asesmen tersebut.
Sebelas pelanggaran HAM itu adalah hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi (ras dan etnis), serta hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kemudian, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan hak atas kebebasan berpendapat.
Menurut Komnas HAM, proses pengalihan status pegawai KPK adalah konsekuensi dari revisi UU KPK yang sebenarnya cukup melalui administrative adjustment.
Namun, ternyata KPK melakukan perubahan mandat dan substansi alih status dari pengangkatan menjadi pengalihan, hingga akhirnya disepakati melalui asesmen atau seleksi, seperti diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Lahirlah kemudian tes wawasan kebangsaan yang kemudian heboh tersebut.
Atas hasil temuan Komnas HAM ini, seperti halnya respons awal KPK terhadap hasil temuan Ombudsman, KPK melalui juru bicaranya, Ali Fikri, menyebutkan bahwa lembaganya masih menunggu proses hukum di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung terkait alih status pegawai KPK ini. Karena itu, KPK belum bisa merespons kesimpulan Komnas HAM bahwa ada pelanggaran HAM dalam alih status itu.
Baca juga : Komnas HAM: Ada 11 Bentuk Pelanggaran HAM dalam Asesmen TWK KPK
Pemberantasan korupsi
Polemik tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK ini, diakui atau tidak, telah menyita energi publik dan tentu saja pada akhirnya juga akan berpengaruh pada kinerja lembaga ini dalam memberantas kasus-kasus korupsi.
Apalagi, dalam beberapa bulan terakhir, selain polemik pengalihan status pegawai KPK ini, sejumlah kasus yang kontroversial juga mencuat ke publik.
Satu di antaranya adalah masih gelapnya kasus Harun Masiku. Sampai saat ini pun belum jelas diketahui di mana keberadaan Masiku.
Terakhir, Ketua KPK Firli Bahuri menyebutkan dalam jumpa pers awal Agustus lalu bahwa KPK meminta bantuan pihak imigrasi dan Interpol karena menduga Masiku berada di luar negeri. Respons dari sejumlah negara tetangga pun diklaim telah diterima KPK setelah permintaan bantuan tersebut disampaikan. Namun, sejumlah pihak meragukan komitmen KPK ini karena sampai saat ini nama Harun Masiku belum masuk dalam red notice Interpol (Kompas, 3/8/2021).
Selain kasus Masiku, tuntutan yang diajukan jaksa KPK terhadap mantan Menteri Sosial Jualiari Peter Batubara 11 tahun penjara juga memicu polemik. Padahal, Ketua KPK Firli Bahuri pernah mengingatkan, pelaku korupsi di masa bencana dapat diancam hukuman mati.
Rentetan peristiwa yang menjadi sorotan publik ini pada akhirnya juga melahirkan kekhawatiran akan masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Kekhawatiran ini sebenarnya pernah tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas akhir April lalu. Hampir 60 persen responden dalam jajak pendapat tersebut mengkhawatirkan kerja KPK akan terganggu dalam pemberantasan korupsi di tengah sorotan publik pada peristiwa yang menyangkut KPK, termasuk kasus tes wawasan kebangsaan tersebut.
Apalagi, jika kita lihat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International, Indonesia cenderung mengalami penurunan. IPK Indonesia tahun 2020 berada di skor 37.
Angka ini turun tiga poin dibandingkan 2019. Dari rentang 0-100, makin tinggi skor sebuah negara makin dipersepsikan bebas dari korupsi. Dengan skor 37, Indonesia berada di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.
Hal menarik lain juga soal kinerja KPK yang cenderung melandai sejak polemik yang menyulut kontroversi di publik, terutama sejak Undang-Undang KPK direvisi.
Dalam hal operasi tangkap tangan, misalnya, sejak tahun 2020, jumlah OTT mengalami penurunan intensitas. Tercatat hanya tujuh OTT yang dilakukan KPK sepanjang tahun lalu.
Padahal, dua tahun sebelumnya, angkanya cukup tinggi, yakni 30 OTT (2018) dan 21 OTT (2019). Pengesahan hasil revisi UU KPK pada akhir 2019 diduga turut memengaruhi penurunan OTT.
Salah satunya terkait upaya penyadapan yang menjadi bagian dari operasi tangkap tangan, sejak UU KPK direvisi, prosesnya lebih panjang, antara lain harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
Terlepas dari polemik dan sejumlah kasus yang menjadi sorotan publik, kepercayaan dan harapan publik relatif masih terjaga terhadap KPK. Sebanyak 61,8 persen responden dalam jajak pendapat April lalu meyakini KPK akan mampu bekerja lebih baik ke depan.
Tentu, kepercayaan ini menjadi modal sosial bagi KPK untuk membuktikan kepada publik bahwa kasus dan polemik yang belakangan ini melanda tidak akan mengoyak integritas dan profesionalisme lembaga dalam memberantas kasus korupsi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Temuan Komnas HAM Perkuat Dasar Presiden untuk Ambil Alih TWK KPK