Upayakan Kesejahteraan Komunitas Adat di Masa Pandemi Covid-19
Melalui peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia 9 Agustus 2021, PBB mengajak negara-negara dan semua pihak di dunia untuk melipatgandakan upaya menyejahterakan komunitas adat di masa pandemi Covid-19.
Peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus 2021 mengangkat tema “Leaving No One Behind”. Tema ini dipilih sebagai ajakan memperjuangkan kesejahteraan kelompok masyarakat adat di berbagai belahan dunia. Kini mereka terancam semakin terpinggirkan secara ekonomi dan kesehatan di masa pandemi Covid-19.
Masyarakat adat atau masyarakat hukum adat merupakan sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal-usul leluhur dan kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata kehidupan.
Pengakuan masyarakat adat di mata dunia sudah sejak lama. Berdasar hasil studi Martinez Cobo (1981) dalam dokumen PBB tentang hak masyarakat adat disebutkan komunitas adat merupakan kelompok masyarakat yang sudah ada sebelum era invasi pembentukan negara atau sebelum era kolonial. Mereka memiliki seperangkat tatanan hidup berupa norma sosial, ekonomi, dan hukum yang diwariskan dari leluhur dan biasanya terikat pada suatu wilayah geografis tertentu.
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mencatat, saat ini populasi masyarakat adat di seluruh dunia mencapai 470 juta jiwa. Mereka bermukim di 90 negara serta terbagi dalam 5.000 keragaman budaya. Mereka menjadi bagian dari 6,2 persen penduduk dunia. Mayoritas tersebar di wilayah Asia, yakni lebih dari 260 juta jiwa atau sekitar 70 persen.
Merujuk dari data yang dihimpun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), di Indonesia terdapat sekitar 40 hingga 70 juta penduduk yang merupakan bagian dari komunitas adat. Di antaranya terdapat 17 juta orang yang berasal dari 2.359 komunitas merupakan anggota AMAN.
Melihat sejarah keberadaan dan sebaran populasinya, keberagaman budaya menjadi salah satu ciri khas dari sebuah masyarakat adat. Salah satu contoh keberagaman terlihat dari corak komunitas adat di Asia dengan Afrika. Komunitas adat Asia dikenali dari aspek ragam kelompok budaya yang satu dengan lainnya. Keberagaman ditunjukkan dari bahasa serta produk budaya yang dihasilkan, baik berupa benda maupun tak benda.
Sedangkan di Afrika identitas kelompok adat ditunjukkan dari cara hidup menggembala, berburu dan meramu. Masyarakat adat tidak terlepas dari ruang hidup, mereka menetap maupun nomaden di wilayah tertentu yang diklaim secara turun-temurun sesuai hukum adat yang disepakati dan diakui.
Namun, di luar ciri khasnya, komunitas adat yang tersebar di seluruh penjuru dunia tengah bergulat dengan persoalan yang sama, yaitu mengalami marginalisasi sehingga tercipta jurang ketimpangan sosial, ekonomi, kesehatan, serja keadilan hukum.
UNDP menyoroti persoalan ini, terutama di tengah pandemi Covid-19 yang memunculkan guncangan ekonomi di seluruh dunia. Lebih dari 86 persen masyarakat adat bekerja di sektor informal dan tiga kali lebih berisiko terjerumus dalam kondisi kemiskinan.
Melihat kerentanan masyarakat adat di masa pandemi, PBB menginisiasi peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia 2021 dengan mengangkat tema Leaving No One Behind: Indigenous peoples and the call for a new social contract. Rancangan aksi menyapa komunitas ini tertuang pada System-Wide Action Plan (SWAP) untuk masyarakat adat yang disepakati pada November 2020.
Hadapi pandemi
Secara garis besar, PBB mengajak seluruh elemen masyarakat dunia, mulai dari negara, lembaga kemasyarakatan, hingga komunitas peduli kelompok adat untuk melipatgandakan upaya yang selama ini sudah dilakukan untuk menyejahterakan kelompok adat di wilayah masing-masing.
Merunut dari catatan sejarah PBB, persoalan seputar kelompok adat mengemuka dari aspirasi yang disampaikan Haudenosaunee Chief Deskaheh, seorang tetua adat suku Indian Iroquois yang menghadiri Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss pada 1923.
Hal yang diperjuangkan Daskaheh yaitu pengakuan atas hak tanah, hukum adat, serta agama dan kepercayaan mereka di dalam lingkungan negara yang berdaulat. Aksi serupa juga dilakukan oleh pemuka agama suku Maori di Selandia Baru bernama T.W. Ratana yang memperjuangkan hak atas tanah sukunya yang diakuisisi oleh pemerintah persemakmuran Inggris.
Baca juga: Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Teruji
Persoalan tersebut masih terjadi hingga sekarang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Muara dari persoalan yang berkepanjangan ini salah satunya pada kondisi ketimpangan untuk memperoleh layanan kesehatan terutama di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Sebagai contoh, komunitas Indian di Amerika Serikat yang berusia antara 20 hingga 50 tahun mengalami risiko kematian akibat Covid-19 sepuluh kali lipat lebih tinggi dibanding dengan penduduk non-adat. Kondisi serupa terjadi di Kanada, penularan antar anggota komunitas adat 40 persen lebih tinggi dibanding masyarakat biasa.
Keadaan ini disebabkan karena kendala akses layanan kesehatan berupa pengetesan, perawatan, hingga vaksinasi. Di negara maju seperti AS dan Kanada, kendala yang dihadapi adalah dari aspek geografis untuk menjangkau masyarakat di pedalaman. Namun, kondisi ini masih lumayan baik karena tersedia data untuk memantau kondisi kesehatan kelompok adat.
Lain cerita dengan komunitas adat di wilayah Afrika seperti Kenya. Karena berada di lokasi yang terpencil, tidak ada laporan kesehatan terhadap penduduk adat di Kenya termasuk laporan data kasus korona. Tidak ada data angka penularan, kasus aktif, hingga kematian oleh otoritas kesehatan setempat.
Jangankan mendata secara rutin, layanan kesehatan untuk pengobatan pun tidak bisa dilakukan karena keterbatasan kemampuan negara untuk menjangkau seluruh penjuru negeri.
Karenanya, ajakan PBB untuk “tidak meninggalkan siapapun”, sangatlah relevan di situasi saat ini. Krisis bidang kesehatan akibat pandemi memunculkan kesulitan lain, yakni dalam hal ekonomi yang tentu berdampak parah bagi komunitas terpencil dan terpinggirkan, termasuk masyarakat adat.
Kesejahteraan
Dampak pandemi Covid-19 yang dialami sejumlah masyarakat adat tercermin dalam laporan International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA) The Indigenous World 2021. Masyarakat adat di Vietnam dan Thailand banyak yang kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka bekerja di kota atau di pusat industri untuk menghidupi keluarga yang hidup di desa. Akibat pukulan pandemi, para pekerja dari komunitas adat terpaksa pulang dan mencari penghasilan lain.
Sesampai di kampung halaman masih ada persoalan yang dihadapi. Pasar tradisional banyak yang ditutup untuk menekan penularan Covid-19. Selain itu ada juga aturan pembatasan perjalanan terutama antarwilayah.
Keluarga komunitas adat yang bergantung dari penjualan hasil bercocok tanam, berburu, dan beternak kehilangan kesempatan untuk dapat menjual dagangannya. Demikianlah kondisi yang dihadapi, di kota tidak ada pekerjaan, di desa tidak bisa berjualan.
Pandemi bisa berdampak jangka panjang terhadap kelangsungan komunitas adat. Covid-19 telah merenggut nyawa tetua-tetua adat yang menjadi pegangan hidup dan rujukan hidup komunitas adat. Selain itu terdapat kekayaan budaya tidak berbentuk, misalnya bahasa, yang punah karena kematian anggota komunitas adat.
Hingga sekarang, belum ada pemetaan yang komprehensif tentang dampak pandemi terhadap kelestarian dan kesejahteraan komunitas adat. Padahal, tanpa adanya data yang memadahi akan sulit untuk merumuskan program khusus yang ditujukan bagi komunitas adat.
Indonesia
Di Indonesia, upaya menyapa kelompok adat dapat difasilitasi melalui Undang-Undang Masyarakat Adat yang rancangannya sudah diajukan sejak 2013. RUU masyarakat Adat masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2014. Namun hingga tahun ini RUU belum disahkan.
Jaminan hak warga negara dalam undang-undang ini diperlukan mengingat potensi kasus penularan Covid-19 dan dampak sosial ekonomi yang dapat dialami di lingkungan tinggal komunitas adat. Tanpa perlindungan hukum dan akses mendapat identitas dari Negara, hak-hak masyarakat adat mendapatkan layanan kesehatan dan bantuan sosial selama pandemi dapat terancam.
Terlebih kasus penularan Covid-19 di Indonesia saat ini tidak hanya didominasi di wilayah kota, tapi mulai merata masuk ke pelosok-pelosok desa. Selama Juli 2021, angka kematian akibat Covid-19 di sejumlah desa di Pulau Jawa meningkat 10 kali lipat (Kompas, 4 Agustus 2021). Risiko kematian masyarakat perdesaan disebabkan oleh keterbatasan kemampuan layanan kesehatan. Mayoritas kematian terjadi pada pasien yang menjalani isolasi mandiri di rumah.
Lonjakan kasus dipicu dari kluster keluarga, hal ini tidak dapat ditangani secara optimal karena jauh dari jangkauan layanan faskes. Selain itu, data epidemologi terkait penularan, perawatan, dan kematian belum dapat disediakan karena tidak dapat dilakkukan pengetesan dan pelacakan di daerah terpencil.
Kebijakan Pemerintah Indonesia yang melonggarkan syarat vaksin Covid-19 dengan memberikan vaksin kepada penduduk yang tidak memiliki NIK serta KTP menjadi bentuk sapaan Negara bagi masyarakat terpencil seperti komunitas adat. Karena identitas penerima vaksin harus tercatat, maka vaksinasi warga tanpa KTP didampingi oleh petugas dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk sekaligus diuruskan berkas kependudukannya (Kompas, 5 Agustus 2021).
Kebijakan ini dapat diteruskan dengan berbagai bentuk sapaan lain bagi masyarakat terpinggirkan, seperti memberikan bantuan sosial berupa sembako, bantuan sosial tunai, atau beragam bantuan pemberdayaan masyarakat.
Baca juga: Tanpa Masyarakat Adat
Sebagaimana bantuan UMKM, kartu prakerja, atau Program Keluarga Harapan yang diterima masyarakat umum, harapan pemberdayaan keluarga di komunitas adat dapat juga dilakukan melalui program serupa.
Melalui peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia, semua pihak kembali diingatkan untuk melipatgandakan upaya untuk menyejahterakan penduduk komunitas adat di dunia. Kondisi semakin memaksa dengan adanya pandemi dan terancamnya keberlangsungan komunitas akibat krisis kesehatan dan ekonomi. Sapaan hangat ini akan membuat komunitas adat agar tetap berdaulat dan sejahtera di masa pandemi Covid-19 dan di masa-masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Negara dan Masyarakat Adat